"Gawat, aku terlambat!" Rani berlari ke ruang briefing, dengan map tebal di tangan.
Di ujung lorong, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya.
Arka.
Untuk sesaat, langkah gadis itu terhenti. Kenangan semalam menghantam begitu keras, tentang hujan, pelukan, ciuman, dan desahan serta erangan mereka berdua.
Wajah Rani memanas dan memerah. "Bodoh! Dasar bodoh!" batinnya memaki diri sendiri.
Arka juga melihat Rani. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum ramah seolah malam panas itu tidak pernah terjadi. “Pagi, Ran.”
Rani menunduk, mencoba menutupi gemetar di suaranya. “Pa–pagi, Kapten.”
Hening.
Mereka saling menahan kata-kata yang ingin keluar tapi tak berani diucapkan.
Arka akhirnya merogoh tas, mengeluarkan sesuatu lalu menyerahkannya kepada Rani. “Ini buat kamu.”
"Makasih." Rani menerima benda itu dan menatapnya. Sebuah undangan pernikahan, namanya jelas tertera di bawah nama Arka dan Elma. Tangannya refleks mencengkeram erat, seakan undangan itu lebih berat daripada map tebal di lengannya.
“Semoga kamu bisa datang,” ucap Arka pelan.
Rani tersenyum kaku, meski matanya berkaca-kaca. “Iya ... aku pasti datang.”
Arka mengangguk, lalu melangkah pergi. Punggungnya menjauh, semakin kecil, hingga akhirnya hilang ditelan keramaian bandara.
Rani berdiri mematung, kembali menatap undangan itu. Hati terasa sakit, berdenyut nyeri, seperti luka yang baru saja robek lalu ditaburi garam. "Bodoh, Ran. Kamu sudah jatuh terlalu dalam pada seseorang pria yang tidak pernah menoleh ke arahmu."
***
Hari itu, ballroom hotel mewah dipenuhi tamu undangan. Lampu kristal berkilauan, musik lembut mengalun, dan aroma bunga segar memenuhi ruangan. Arka berdiri gagah dalam balutan jas hitam, sementara di sampingnya ada Elma yang tampak anggun dengan gaun pengantin putih. Senyum bahagia terpampang di wajah keduanya.
Semua orang memberi selamat, semua kamera menyorot, semua doa dilantunkan. Tapi ada satu wajah yang tidak muncul.
Wajah Rani.
Gadis itu memilih berdiam diri di kamar sempitnya yang sepi. Undangan itu masih tergeletak di meja, tak pernah tersentuh lagi. Sambil memeluk lututnya, Rani hanya bisa menatap kosong ke arah jendela, mendengarkan suara hujan yang turun seperti malam ketika ia menyerahkan segalanya.
Setelah pesta usai dan tamu-tamu pulang, Arka dan Elma diantar menuju kamar hotel yang sudah dihias khusus untuk pengantin baru. Koridor hotel mewah itu sepi, hanya suara langkah kaki mereka berdua yang terdengar. Elma menggenggam lengan Arka erat, wajah wanita itu berbinar dengan senyum yang tak pernah lepas sejak siang.
“Capek, ya?” tanya Elma manja, kepalanya bersandar di bahu sang suami.
Arka menoleh, tersenyum tipis. “Iya ... tapi senang, karena semua berjalan lancar.”
Sesampainya di kamar, pintu terbuka menyingkap ruangan luas dengan ranjang bertabur kelopak mawar merah, lilin aromaterapi yang menyala, dan sebotol sampanye di meja kecil.
Elma berdecak kagum. “Cantik sekali. Kamar ini persis seperti yang aku impikan.”
Wanita itu melepaskan sepatu, lalu duduk di tepi ranjang. Gaun putih panjangnya berkeresek ketika ia bergerak. “Arka,” panggilnya pelan, jemarinya meraih tangan suaminya. “Mulai malam ini, tubuhku sepenuhnya milikmu.”
Arka menatap wajah Elma. Dia cantik, sempurna, dan sah menjadi istrinya. Tapi di balik senyum ramah itu, hatinya justru berdenyut aneh. Kilasan lain menembus pikirannya. Sosok Rani yang basah kuyup di tengah hujan, aroma gurih mie rebus, dan kehangatan gelap dalam kamar sempit yang sederhana.
“Arka?” Elma menepuk pelan tangan suaminya, membuatnya kembali sadar.
“Iya,” jawab Arka cepat, menyembunyikan kegamangan dengan senyum.
Ia duduk di samping Elma, menepuk lembut pipi dan mengecup kening istrinya. “Mulai malam ini, kita resmi jadi suami istri.”
Elma tersipu, lalu meraih wajah Arka untuk mencium bibirnya.
Namun, di balik balasan ciuman itu, hati Arka bergetar, karena di setiap pejaman mata, ia masih melihat bayangan seorang gadis yang tak hadir di pesta, tapi justru hadir di relung hatinya.
Elma menyingkap gaun perlahan, matanya menatap Arka dengan binar penuh cinta dan gairah. Ranjang pengantin itu menjadi saksi malam yang seharusnya hanya diisi kebahagiaan.
Sementara Arka justru sedang berusaha fokus pada istrinya. Ia membalas setiap sentuhan, setiap ciuman, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini memang seharusnya. Namun, saat tubuh mereka semakin dekat, naluri Arka mendadak tersentak.
Ada sesuatu yang tidak sama.
Pengalaman malam itu — sentuhan pertama yang dulu ia rasakan bersama Rani, getaran ragu dan kepolosan yang begitu nyata — berbeda jauh dengan apa yang kini ia jalani bersama Elma. Rani dulu gemetar, gugup, menangis dan ia kaget saat menyadari gadis itu masih perawan. Tapi bersama Elma, Arka tidak merasakan itu. Tidak ada tembok penghalang, tidak ada keraguan. Semuanya mengalir terlalu mudah, sangat mudah.
Arka menutup mata rapat, seolah ingin menepis pikiran itu. Namun, bayangan wajah Rani di malam hujan itu kembali hadir, seakan menegaskan perbedaan yang jelas di hadapannya sekarang.
“Elma ...?” bisik Arka pelan.
“Ya, Sayang?” Elma menatap Arka dengan senyum lembut, tak menyadari kegelisahan di hati suaminya itu.
Arka hanya menggeleng, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk. Ia tetap melanjutkan kegiatan itu, meski hatinya terasa hampa.
Malam itu akhirnya berlalu. Elma terlelap di pelukannya, dengan wajah berseri-seri tampak bahagia. Sementara Arka terjaga lama, menatap langit-langit kamar hotel dengan d**a sesak. Ia tahu, ada hal yang tidak pernah bisa ia ucapkan. Ada rahasia yang akan tetap ia pendam. Rahasia terlarang tentang satu-satunya gadis yang sebenarnya lebih dulu menyerahkan segalanya padanya, dan tentang luka di hati yang semakin perih setelah mengetahui kebenaran malam ini.
***
Pagi itu, ruang briefing ramai bukan main. Topiknya sama, yaitu pernikahan megah Arka dan Elma. Semua pramugari sibuk menunjukkan foto-foto yang tersebar di media sosial.
“Lihat deh, dekorasinya! Kayak di film-film luar negeri.”
“Gaun Elma indah banget. Dan Kapten Arka … aduh, gantengnya jadi dobel!”
Rani duduk di kursi, pura-pura sibuk menandai jadwal penerbangan. Namun, telinganya tak bisa menolak mendengar. Setiap kali nama Arka disebut, dadanya seperti diremas. Ia menghela napas panjang, menunduk, berusaha menahan diri agar expresinya tidak berubah muram.
Di tengah keramaian itu, suara berat seorang pria menyapanya. “Pagi, Rani.”
Rani mengangkat wajah.
Yang menyapanya adalah Kapten Gavi — salah satu pilot muda yang terkenal tampan, ramah dan sering jadi bahan obrolan para pramugari. Dari dulu, Gavi sudah mencoba mendekati Rani. Tapi gadis itu selalu menjaga jarak, selalu punya alasan untuk menolak ajakan pria itu dengan halus.
“Pagi, Kapten.” Rani mencoba tersenyum ramah.
Gavi menatap Rani sejenak, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Gimana kalau malam ini kita makan malam bareng?”
Biasanya, Rani akan langsung menolak. Dengan alasan lelah, atau ada acara lain. Tapi pagi itu, setelah semua bisik-bisik tentang pesta megah Arka dan Elma menusuk hatinya, ia merasa tidak punya tenaga lagi untuk menolak ajakan Gavi.
“Baiklah. Saya terima undangan makan malam dari Kapten Gavi,” ucapnya mantap.
Senyum Gavi melebar, seolah tidak percaya akhirnya mendengar jawaban itu. “Oke, nanti aku jemput kamu jam tujuh, ya?”
Rani hanya mengangguk. Sementara di dalam dadanya, ada rasa aneh yang berdesakan. Ia tidak tahu apakah keputusannya benar atau salah. Tapi satu hal pasti — ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari Arka.
Briefing pun berakhir. Rekan-rekan pramugari masih asyik dengan gosip pengantin baru, tapi Rani memilih cepat-cepat membereskan mapnya. Begitu keluar ruangan, ia menghela napas panjang, menatap langit biru dari jendela bandara.
“Apa aku benar-benar siap?” batinnya ragu. Tapi suara hatinya menjawab dengan mantap, “Ya, Ran. Kamu harus mencoba! Kamu harus berhenti mencintai Arka. Dia udah jadi suami orang sekarang!”