Penantian Anjani berakhir di Guna Persada Hospital cabang Surabaya. Akhirnya ia dipercaya bertugas di IGD. Pahanya yang menerima delapan jahitan masih nyeri. Namun, pilihan apa yang Anjani punya di hadapan Robert?
Memasuki hari keempat, John Doe masih terbaring di ICU. Tanda vitalnya stabil. Pria itu belum berkenan kembali ke dunia nyata. Akhirnya Anjani pasrah pada keputusan Robert. Polisi turun tangan. Mereka melakukan investigasi tertutup. Identitas John Doe masih abu-abu. Tidak ada yang melapor kehilangan anggota keluarga. Anjani ikut diinterogasi. Hasil visum forensik pun sudah polisi kantongi.
Anjani bergegas mengganti sarung tangan steril. Di depannya terbaring seorang pasien kecelakaan tunggal. Motornya menabrak pembatas jalan karena ketiduran saat berkendara. Tangannya patah. Pelipisnya sobek dan mengucurkan darah segar. Setelah luka dibersihkan dan diberi anestesi, Anjani mulai menjahit.
Laki-laki bermata teduh itu menatap Anjani intens, sesekali mengedip pelan. Bila tidak teringat profesionalitas kerja, agaknya Anjani sudah baper dibuatnya.
"Dok, sudah punya pacar?" Lirih lelaki itu bertanya.
"Belum. Kenapa?" Mata Anjani tidak beralih dari curved needle dan klem hecting di tangannya. "Kamu punya kakak laki-laki untuk dijodohkan dengan saya?" kelakarnya.
"Bukan kakak saya, Dok, tapi saya."
"Saya lebih tua dari kamu lho," kekeh Anjani.
"Saya tahu. Saya masih mahasiswa semester enam."
"Belajar yang rajin. Sebentar lagi skripsi, kan? Hati-hati mengendarai motor."
"Siap." Lelaki itu meringis. "Dok ..."
"Ya?"
"Dokter mau nggak nungguin saya?"
Anjani tersenyum. "Kamu memang random begini anaknya?"
"Saya serius. Dokter nikahnya sama saya aja, ya?"
Anjani menyambut lamaran edan tersebut dengan tertawa kecil. Bukan main isi kepala anak muda ini. Macam plot sinetron! "Anestesi bikin kamu oleng, ya?"
"Saya waras, Dok. Sumpah!"
"Siapa namamu?"
"Dody." Ia membaca ID card Anjani. "Kalau kita pacaran, saya boleh manggil Anjani saja, kan?"
"Jahitanmu sudah selesai. Ada alergi makanan? Nanti dicantumkan dalam catatan menu kamu."
"Saya orang susah, Dok. Mana sempat punya alergi? Semuanya diembat, yang penting kenyang."
"Tulangmu yang patah akan ditangani dokter ortopedi." Anjani menyuruh keluarga Dody mendekat. Ia menjelaskan kondisi Dody yang masih harus dirawat inap dalam dua atau tiga hari ke depan karena ada beberapa luka lain di tubuhnya. "Sampai jumpa lagi," pamitnya pada Dody.
"Dok!" panggil Dody. "Jahitannya rapi, kan?"
Anjani mengangkat kedua jempolnya. "Rapi. Gak bakalan mengurangi ketampananmu, kok," godanya sambil mengerling. Pipi laki-laki itu sontak memerah.
"Baru hari pertama kerja sudah dilamar saja ya, Dok? Di IGD lagi," kata perawat pendamping Anjani terkikik menjauhi tempat tidur Dody.
"Banyak ya pasien random kayak dia?" Anjani menyeringai geli. Baru kali ini dilamar pasiennya sendiri.
"Untungnya nggak banyak, Dok. Oh, ya, pasien yang dirawat di ICU kemarin sudah sadar. Kabarnya sudah dipindahkan ke ruangan beberapa menit yang lalu."
"Benarkah?" Mata Anjani melebar. "Bagaimana kondisinya?"
"Secara umum bagus, Dok."
"Pasien sudah bisa bicara? Sudah tahu identitasnya?"
Perawat itu menggeleng. "Dia bungkam seribu bahasa."
"Waduh! Kenapa, ya?" Anjani melirik jam tangannya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum pergantian shift malam itu. Meskipun ingin, terpaksa Anjani menahan diri. Pasien di IGD sedang banyak-banyaknya.
***
Pukul sembilan malam shift Anjani berakhir. Ia mengemas barang-barangnya ke dalam tas dan beranjak ke ruang rawat inap John Doe. Sebelumnya Anjani berpesan agar pria itu dirawat di ruangan VIP.
Setibanya di sana, pria itu masih menutup mata. Anjani memeriksa bedside monitor. Sang perawat benar, kondisinya bagus.
Tatapannya pindah ke wajah pria itu. Wajahnya yang bengkak tak berbentuk saat pertama kali ditemukan sudah mengempis. Secara garis besar, bentuk mukanya panjang. Alisnya lebat. Hidungnya mancung. Anjani menebak ada beberapa persen darah blasteran membentuk wajah itu. Dagunya mulai menghitam ditumbuhi rambut-rambut halus. Selain dari bekas luka yang menghiasi wajahnya, kulit pria itu cerah dan bersih. Anjani sontak membandingkan dengan kulitnya sendiri yang kini 'eksotis'. Butuh waktu cukup lama untuk mencerahkannya kembali.
"Apakah kita pernah bertemu?" gumamnya lirih. Sungguh, wajah pria itu cukup familiar di mata Anjani.
Sembari menunggu pria itu bangun untuk menuntaskan rasa penasarannya, Anjani mengeluarkan laptop. Perkuliahan sudah dimulai dan Anjani langsung ditimpuk dengan berbagai tugas. Bila ia langsung pulang, sudah pasti sampai di rumah ia langsung tewas di tempat tidur.
Pukul sebelas menjelang, Anjani masih berkutat dengan laptop di pangkuannya. Terdengar erangan lirih. Anjani mengangkat kepala. John Doe tengah meliriknya dengan sudut mata.
"Halo ...." Anjani menyingkirkan laptopnya ke atas meja, lalu berdiri. Saat menatap pria itu lagi, sekelebat ingatannya tiba-tiba kembali. Kacamata hitam yang dikenakan John Doe di bandara mengaburkan memorinya. Anjani tersenyum. "Hai, pemilik koper pink. Bagaimana perasaanmu? Ada keluhan?"
Sudut bibir pria itu bergerak-gerak, lalu terlontarlah jawaban lemah, "Saya ... di mana?" Pupilnya bergerak pelan menyapu seluruh ruangan.
"Kamu dirawat di rumah sakit. Surabaya, lebih tepatnya. Kamu ingat apa yang terjadi?"
Pria itu mengerang lagi dan menjawab dengan terbata-bata, hingga Anjani harus membaca gerak bibirnya. "Sedikit. Terakhir kali saya di Banyuwangi."
"Seseorang menemukanmu pingsan di pinggir pantai."
Hening.
"Siapa?"
Anjani mengangkat bahu. "Seseorang."
"Anda siapa?"
"Saya dokter jaga."
"Apakah dokter menunggui pasiennya di kamar?"
"You're VIP. Anggap saja saya dokter pribadimu."
"VIP?"
Anjani mendekati pria itu. "Kamu punya keluarga yang bisa dihubungi?"
Pria itu diam saja. Tatapannya menilai Anjani dengan hati-hati. Gerak-gerik perempuan yang mengaku dokter di hadapannya cukup janggal. Jas putihnya tidak ada, begitu pun tanda pengenalnya. Ditambah lagi dia tidak berbicara dengan gaya formal.
"Siapa namamu?"
Beberapa detik Anjani menunggu, pria itu masih membisu.
"Kamu gak hilang ingatan, kan?" kelakar Anjani. "Kami butuh identitas dan keluarga yang bisa dihubungi. Kamu gak sadar selama empat hari. Mungkin saat ini keluargamu cemas memikirkanmu."
Lagi-lagi pria itu hanya menatap Anjani. Gadis itu menyerah. Ia mengerti mungkin kesadaran pasiennya belum sepenuhnya pulih.
"Baiklah, mungkin kamu butuh waktu dan punya alasan tersendiri. Saya hanya bisa bilang, apa pun yang telah kamu lewati, kamu sudah aman sekarang. Di luar ada petugas keamanan yang berjaga. Kasus kamu juga sudah dilimpahkan kepada pihak berwajib."
Anjani melihat jam tangannya. "Jam kerja saya sudah berakhir. Sebentar lagi kamu akan diperiksa oleh dokter jaga yang lain. Selamat malam."
"Anda bukan dokter," gumam pria itu menatap Anjani curiga.
"Saya punya SIP dan STR kalau kamu ingin tahu." Anjani memasukkan laptop ke dalam tas, kemudian beranjak pergi.
Baru dua langkah Anjani berjalan, terdengar pria itu memanggil lemah nyaris berbisik, "Dok ..."
Anjani membalikkan badan. "Ya?"
Pria itu menarik napas panjang sebelum bicara, "Saya ... Kai." Dengan hati-hati dia menyebutkan namanya. "Kai William Harald."
***
Nah lho, ada yang ingat dengan Kai?
Penggemar keluarga Nashid mana suaranya? ☝️☝️☝️