Satu

1618 Words
Bila ibumu melarang anak perempuannya—tolong dicatat—menikah sebelum usia tiga puluh tahun, sudah sepatutnya kau bertanya-tanya, dia ibu kandungmu atau bukan. Bermacam alasan Mami Irene kemukakan saat Anjani mengatakan akan membawa pacarnya, Arya, ke rumah. Pria itu sudah tidak sabar berkenalan dengan keluarganya. Dan kalau bisa setelahnya mereka langsung membicarakan langkah serius. "Nanti saja nikahnya. Selesai kamu PPDS. Kan repot harus belajar, harus mengurus suami juga. Apalagi kalau kamu hamil. Energimu bisa tekor," begitu jelasnya. "Makanya aku ngambil patologi klinik, Mam. Gak terlalu menguras tenaga. Kebanyakan cuma nongkrong di lab. Lagian, banyak kok dokter yang nikah saat PPDS. Rumah tangga mereka baik-baik aja." "Akan lebih baik mendahulukan pendidikanmu, toh?" "Tapi kelar PPDS umurku udah akhir 30, Mam." "Ya ndak apa. Masalahnya di mana?" "Sel telurku sudah jelek, Mam. Berdasarkan penelitian, sebaiknya perempuan melahirkan anak pertamanya sebelum usia 30 tahun," jelas Anjani membela diri. "Halah!" Irene mencibir. "Kesehatan secara biologis bisa diperlambat asalkan pola hidupmu sehat, uangmu banyak, makananmu bergizi, jauh dari stres, dan lifestyle–mu bagus. Di negara maju, rata-rata usia pernikahan perempuan di atas 30 tahun dan mereka tetap melahirkan anak-anak yang berkualitas. Dan Mami bisa pastikan, kamu ndak stunting di waktu kecil. Gizimu sangat cukup. Kamu lihat saja budemu. Beliau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun. Tapi kamu lihat si Attar. Otaknya jenius!" Anjani terpaksa tutup mulut. Kalau diteruskan, ibunya sudah macam agen MLM yang menyerocos dari Miangas sampai Pulau Rote. Kaki Anjani mengayun gontai keluar dari laboratorium patologi klinik. Ia mengikuti rangkaian tes kesehatan untuk keperluan seleksi PPDS sejak tadi pagi. Pikirannya bercabang ke sana kemari. Setiap ibu di Indonesia malah cemas anaknya belum jua menggandeng pacar di usia dua puluhan, terlebih di kebanyakan desa usia tersebut sudah tergolong rawan. Akan tetapi, rupanya Mami Irene agak lain. Bisa-bisanya? "Jo mana?" Anjani terperanjat. Tita muncul tiba-tiba sebelahnya. "Belum keluar kayaknya." "Mikirin apa? Serius amat? Tenang aja, half blood kayak elo pasti lulus, kok." "Sok tahu!" Anjani menjitak kepala Tita. "Gak mikirin tes. Mikirin kapan kawin." Gelak tawa Tita sontak membesut. "Cuma lo doang di antara kita yang kebelet kawin, Jani." "Kalian sih jones. Mana kepikiran kawin? Kapan terakhir kali kalian punya pacar!" dengus Anjani sebal. Memangnya salah bila ia memikirkan pernikahan? Tita dan Jonathan, dua orang teman dekat Anjani, sama-sama ber-KTP Jakarta Selatan. Keduanya tersesat di fakultas kedokteran UGM. Mereka dekat sejak awal kuliah. Kedua makhluk itu pulalah yang menyebabkan Anjani terkontaminasi bahasa Jak-Sel yang terkenal dengan panggilan lo-gue, serta mixing bahasa antara Indonesia dan Inggris itu. Tita menyeringai. "Gue lagi malas punya pacar. Enakan jomlo begini. Weekend bisa tidur sepuasnya." "Elo sih, sudah puas pacaran, Ta. Waktu kuliah aja pacar lo nggak terhitung banyaknya. Wajar lo bosan." "Oh iya, gue lupa." Tita menutup mulutnya yang terkikik. "Mas Arya pacar pertama lo, ya? Pantes lo bucin." "Sialan!" Anjani mendelik. "Ngejomlo nggak bikin lo kesepian?" "Kan ada lo sama Jo." "Gue bentar lagi nikah." "Masih ada Jo." "Kalau Jo juga udah nikah?" "Memangnya kalau kalian nikah, kita nggak bisa nongkrong bareng lagi?" Tita balik bertanya. Tepat sebelum Anjani buka mulut, ponselnya bergetar di dalam saku. "Halo, Mas?" katanya buru-buru mengangkat panggilan itu. "Cie, ditelpon yayang," Tita meledek. "Sayang, kamu lagi di mana?" "Barusan aja keluar dari lab, Mas. Mau brunch dulu. Tadi nggak sarapan." "Sedang bersama siapa?" "Ini ada Tita." "Mana?" Seperti biasa Anjani mendekatkan ponselnya ke telinga Tita. "I'm here, Mas Arya," sapa Tita. Ia memutar bola matanya saat Anjani menjauhkan ponselnya kembali. "Nongkrong sampai jam berapa rencananya, Jan?" "Nggak lama kok, Mas." Anjani melirik jam tangannya. Masih ada waktu dua jam sebelum ia menjemput Chelsea. "Oke. Jo juga ikut brunch?" "Iya." Terdengar Arya menghela napas panjang. "Kamu nggak punya teman lain selain Tita dan Jo? Mas nggak suka kalian keseringan nongkrong." Anjani segera menjauh dari Tita. "Mas kok ngomong begitu?" Berulang kali Arya menyatakan ketidak nyamanannya atas keberadaan Jonathan, satu-satunya pria dalam circle Anjani. Berulang kali pula Anjani menegaskan bahwa tidak satu pun di antara mereka yang diam-diam menyimpan perasaan tersembunyi. Lama-kelamaan Anjani jengah juga mendengar kecemburuan Arya yang tidak beralasan itu. Ia berusaha menebalkan telinga saat Arya menasihatinya. Arya tipe orang yang makin menjadi ketika dibantah. Jadi, Anjani diam saja agar aman. "Udah?" tanya Tita ketika Anjani kembali mendekat. "Lo nggak risih, saban nelpon dia selalu nanya elo lagi di mana? Sedang apa? Sama siapa? Sampai kepingin denger suara gue segala. Posesif amat. Kalian pacaran kayak anak SMP aja," cibirnya. "Itu tandanya sayang," sahut Anjani sekadarnya. "Bukan sayang, tapi posesif." "Mas Arya takut kehilangan gue." "Ya udah, kekepin aja di rumah. Ikat sekalian pakai rantai." "Udah ah. Nggak usah dibahas," elak Anjani. *** "Apa perlu gue tes DNA?" "Kebangetan lo, Jan," Jonathan menyentil kening Anjani. "Mana mungkin Tante Irene bukan ibu kandung lo. Kalian sama-sama sipit." "Lha iyalah sipit, namanya juga warga keturunan," Anjani balas mendelik. Mereka nongkrong di kafe dekat kampus. Hitung-hitung nostalgia mengenang masa-masa nugas jadi mahasiswa dulu. Ketiganya memesan menu yang sama, es kopi serta roti bakar keju. "Kemungkinan lo bukan anak kandung keluarga Gunardi itu sangat tipis." Jonathan menyeruput kopinya. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh hanya karena Tante Irene keberatan lo pacaran sama Mas Arya." "Tauk, ah!" Anjani mendesah. Semenjak ketahuan dekat dengan seorang duda, ibunya sudah menunjukkan raut tidak suka. Mami Irene juga menghasut sang kakak, Angga, agar bicara dengannya. Masalahnya, cinta datang begitu saja. Anjani tidak merencanakannya. Di matanya, Arya tidak punya cacat yang tidak bisa ditolerir. Menjadi duda beranak satu bukanlah keinginan Arya. Semata karena takdir menginginkan demikian. "Mami baru membolehkan gue bawa cowok ke rumah kalau kami sudah sama-sama serius. Mas Arya sudah serius. Makanya ngebet ingin kenalan dengan orang tua gue." "Lo sendiri udah serius?" "Udah dong." "Ngapain sih buru-buru nikah?" sela Tita. "Belum juga setahun kalian pacaran." "Siapa sih yang nggak kepingin nikah kalau sudah ada calonnya? Kalian mau gue kebablasan? Sementara Mami minta gue nikah setelah usia 30. Aneh! Lo berdua tahu, di usia segitu udah susah nyari jodoh. Kebanyakan pria udah sold. Sisanya kalau bukan suami orang, ya pemuja batangan." "Minta dijodohin aja, kayak Mas Angga." Tiba-tiba Tita cemberut. "Sayang, jodohnya Mas lo bukan gue. Padahal gue udah ngantri dari kapan hari." "Mas Angga nggak mau punya istri bocah kayak elo," Anjani mendelik. "Iya, kalau jodoh gue baik kayak Mas Angga. Kalau enggak? Apes gue!" "Mungkin masalahnya bukan perkara usia, Jani. Tapi perkara siapa yang lo nikahi. Makanya Tante Irene mengulur waktu melulu," serobot Jonathan. "Elo, sih, kayak nggak ada bujangan aja. Gue, misalnya." "Dang!" Anjani menjengit. "Gue bilang kan misalnya," Jonathan terkekeh. "Dengerin, ya. Duda hot dan keren itu cuma ada di w*****d. Tanya aja sama Tita, dia sering baca. Di dunia nyata, lo tahu sendirilah. Red flag bertebaran di mana-mana. Apalagi duda cerai. Pasti ada yang salah dengan dia." "Cerai bukan aib. Kalau memang pernikahan sudah tidak bisa dipertahankan, cerai adalah exit–nya. Bukan berarti secara pribadi dia gak baik, kan? Mas Arya cerai karena kesalahan istrinya," balas Jani mulai defensif. "Dia bilang begitu?" Tita mengangkat alis. "Mas Arya bilang mantan istrinya keras kepala." Bahu Anjani mengedik. Sifatnya yang masa bodoh membuat kedua temannya leluasa menghujat lelaki pilihannya. "Dan lo percaya? Udah coba cek dulu ke mantan istrinya?" "Ngapain?" "Ya, elo harus mendengar cerita dari kedua belah pihak, dong. Mas Arya bisa aja bilang mantannya begini dan begitu buat nyari selamat. Biar dia kelihatan baik di mata lo. It takes two to tango. Besi nggak bisa bunyi sendiri kalau nggak dipukul." "Bisa. Dipukul hantu," Jonathan menyela. Tita memelotot. "Lo percaya hantu? Buang aja gelar lo!" "Ya kali gue nemuin mantan istrinya?" Anjani menampakkan raut enggan. "Kepo dengan tujuan survei buat masa depan itu nggak dilarang. Malah harus kepo sebanyak-banyaknya. Jangan sampai lo beli kucing dalam karung. Nanti lo menyesal. Coba lo tanya-tanya lagi sama Mas Arya, alasan dia cerai dari istrinya karena apa. Tanya yang detail, jangan kulit luarnya aja." "Nantilah. Gue cari waktu yang tepat." "Buat nanyain alasan dia cerai sama istrinya aja lo kayaknya enggan. Gimana, sih?" "Mbuh!" Anjani mendelik. Hidangan roti bakar miliknya tak lagi menggugah selera. Sedangkan isi piring kedua temannya sudah ludes. Ia melirik jam tangannya. "Matilah! Gue telat jemput Chelsea!" Buru-buru Anjani mencangklongkan tas ke bahu. "Duluan, ya. Jo, lo bayar dulu. Nanti gue transfer ke OVO!" Tita dan Jonathan saling berpandangan mengiringi kepergian Anjani. "Jani cocok sih jadi ibu sambung. Dia dekat banget sama Chelsea," gumam Tita. "Kita doakan saja yang terbaik." Jonathan mengibaskan tangannya. "Yuk, cabut!" *** Chelsea keluar dari kelasnya tepat pukul dua belas siang. Hanya tersisa sepuluh menit lagi menjelang itu. Sialnya, jalanan sedang ramai. Anjani tidak bisa menginjak pedal gas sesuka hati. Jemarinya mengetuk-ngetuk tidak sabar di roda kemudi. Kalau sampai ia terlambat menjemput Chelsea, habislah ia diomeli. Anjani pertama kali bertemu Chelsea saat bertugas menggantikan temannya menjadi asisten dokter anak. Gadis kecil itu datang dengan ayahnya. Badannya gatal dan merah-merah. Rupanya Chelsea alergi kacang tanah. Hampir setiap hari—kecuali akhir minggu atau mendapatkan shift siang—Anjani bertugas menjemput Chelsea dari sekolahnya. Anjani tidak keberatan. Gadis kecil itu manis sekali. Hitung-hitung pendekatan agar ia bisa diterima sebagai ibu sambung. Mobil Anjani memasuki pelataran parkir. Puluhan anak berseragam TK serta guru-guru mereka berpencar di berbagai tempat menunggu jemputan. Anjani turun dari mobilnya, bergegas menghampiri kelas Chelsea. Guru kelas gadis itu berdiri di dekat pintu bersama tiga anak lain. "Siang, Bu," sapa Anjani. "Maaf, Chelsea–nya ada, Bu?" "Siang, Mbak. Wah, barusan aja Chelsea pulang." Jantung Anjani mencelus. "Chelsea pulang dengan siapa, Bu?" "Neneknya, Mbak." "Terima kasih, Bu." Anjani buru-buru menyingkir. Sembari berjalan ia melihat jam di ponselnya. Terlambat sepuluh menit. "Aduh, mati aku!" Anjani menepuk keningnya. Tangannya bergegas mengangkat ponsel ke telinga. Ia perlu mengonfirmasi kepulangan Chelsea. Benarkah gadis itu dijemput oleh neneknya? Padahal semalam ia sudah berjanji pada perempuan itu bahwa dirinya yang akan menjemput Chelsea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD