Dua

1886 Words
Anjani pulang dengan kepala ditekuk. Air mata mengambang di pelupuk matanya. Kepalanya sakit sekali. Semalam ia berjaga di bangsal sampai pagi. Setelah itu langsung ke laboratorium menjalani pemeriksaan kesehatan. Satu hari sebelumnya juga demikian. Ia menjalani tes akademik dan baru bisa tidur setelah makan siang. Sesungguhnya ia mengantuk berat, tetapi jantungnya berdebar kencang. Perasaannya tidak tenang. Arya akan sulit memaafkannya kali ini. Bila itu menyangkut putri semata wayangnya, Arya benar-benar tidak bisa dibujuk dengan gampang. "Baru pulang, Nduk?" Irene menyapa dari ujung sofa, dari jarak tidak terlalu jauh memperhatikan raut keruh putrinya. "Eh, Mam?" Anjani menoleh dan berhenti berjalan. "Sejak kapan Mami di situ?" "Sejak tadi. Kamu aja yang pikirannya entah di mana. Mami segede ini masa ndak kelihatan?" "Maaf, Mam. Lagi banyak pikiran," kilah Anjani. "Berantem lagi?" Anjani mengedikkan bahu. "Mami nonton apa?" sambungnya mengalihkan perhatian. Belakangan ibunya keranjingan berlangganan layanan media streaming. Perempuan itu menghabiskan waktu siangnya dengan tersedu-sedan di depan televisi. Aneh. Entah apa nikmatnya menonton film-film melodramatis. "Everything Everywhere All at Once. Bagus loh. Yang main artis favorit Mami." "Siapa?" Irene berdecak. "Itu, Michelle Yeoh. Kamu ndak asik, sukanya nonton India," katanya merundung tontonan kesukaan anaknya. "Jadi ndak bisa nonton bareng, deh " "Film India sekarang bagus-bagus lho, Mam. Banyak kritik sosial. Bukan kayak zaman dulu yang sukanya joget-joget di kebun anggur," ujar Anjani membela diri. Siapa bilang film India senorak itu? Irene mencebik. "Jadi gimana? Apa masalahnya sampai kalian berantem lagi?" Anjani mengembuskan napas kasar. Meskipun tahu ibunya tidak menyukai Arya, ia tetap tidak sungkan mencurahkan isi hatinya kepada perempuan itu. "Aku terlambat menjemput Chelsea, Mam. Mas Arya marah." Anjani menceritakan kronologi pulangnya Chelsea dari sekolah. Setelah menelepon Arya, pria itu langsung menelepon ibunya untuk mengkonfirmasi. Benar saja, Tante Inggit menjemput Chelsea. "Kamu memang salah. Bila lain kali kamu terlambat, langsung saja hubungi guru kelas Chelsea dan memberitahukan keterlambatanmu. Kalau kamu punya anak nanti, kamu bakalan tahu bagaimana paniknya bila ada sesuatu yang terjadi pada anakmu." Anjani menunduk. "Iya, Mam. Aku memang salah." "Tapi apa yang dilakukan neneknya Chelsea juga salah. Awalnya kamu sudah berjanji menjemput cucunya, seharusnya dia mengkonfirmasi kepadamu terlebih dahulu. Bukan ujug-ujug dibawa kabur begitu saja. Wajar kamu panik." "Mungkin beliau lupa ngasih kabar, Mam." "Lalu sekarang bagaimana? Arya mendiamkanmu lagi?" "Begitulah." "Ndak sewajarnya Arya mendiamkanmu karena ibunya juga turut bersalah." Irene mendekati Anjani. "Ngomong-ngomong, kamu yakin sanggup menghabiskan sisa hidupmu dengan pria seperti Arya? Yakin tahan menghadapi mertua seperti Inggit?" "Jangan terburu-buru berprasangka buruk, Mam. Mereka baik kok. Aku yakin Tante Inggit lupa ngasih tahu aja. Aku ke kamar dulu, Mam. Ngantuk," kata Anjani memutus pembicaraan itu. "Ndak makan siang dulu?" "Gak laper, Mam." "Ya sudah. Kamu istirahat sana." Dua ekor kelinci gendut menyapa Anjani di depan pintu kamar. Mila dan Milo namanya. Dahulu ia memiliki seekor kucing betina dan patah hati karena kucing tersebut mati dimakan usia. Anjani kapok memelihara kucing dan beralih pada kelinci. Mila sudah beranak berulang kali. Selepas disapih, Anjani memberikan anak-anak Mila kepada rekan-rekannya untuk diadopsi. Ia kewalahan memelihara binatang sebanyak itu. Kelinci jenis hewan yang sangat produktif. Lain kali—kapan sempat—ia berjanji mensterilkan Mila. Baru saja membaringkan tubuhnya di tempat tidur, ponselnya bergetar. Telepon dari Ningsih, asistennya di toko. "Ya, Mbak?" "Jani, pesanan terakhir yang kamu kerjakan sudah selesai belum? Dua hari lagi tenggat waktu kirim atau toko kita bakalan kena penalti. Kalau kamu sibuk, biar dikerjakan karyawan lain saja." "Aduh, baru selesai separuh, Mbak. Gimana dong?" Anjani memijat keningnya yang berdenyut-denyut. "Ndak apa-apa. Nanti saya alihkan ke Bu Risma. Beliau yang paling ngebut kerjanya." "Oke, Mbak. Jangan lupa dicatat jam lemburnya Bu Risma, ya. Sebentar lagi saya minta Pak Didin mengantar kainnya ke toko." "Baik, Jan." Semenjak kuliah Anjani mengelola bisnisnya sendiri. Ia menyukai dunia seni. Awalnya Anjani membeli kain polos di toko tekstil, kemudian menghiasinya dengan sulaman tangan. Kain tersebut ia potong dan jahit menjadi gaun pesta menawan. Tita menghasutnya agar hasil karyanya dijual saja. Memang namanya rezeki tidak ke mana, gaun buatan Anjani laku keras. Ia kewalahan mengerjakannya sendirian. Suatu hari ia nekat menyewa toko. Kini karyawannya sudah delapan orang. Di waktu senggang, ia masih mengerjakan sulaman dengan tangannya sendiri. Bukan demi uang, tapi demi hobi. Itu pula sebabnya Anjani tidak punya banyak waktu untuk kehidupan pribadi. Selain bisnis yang berawal dari keisengan itu, belajar kedokteran sangat menguras tenaganya. Anjani bukanlah Airlangga yang memiliki otak cerdas. Peringkat kelasnya bahkan tidak pernah menembus angka dua puluh besar. Ia lolos di kedokteran UGM semata-mata karena keberuntungan. Itu pun jalur mandiri. Walaupun ayahnya sering berkata tidak pernah campur tangan dalam penerimaan mahasiswa kedokteran, ia tetap meragukannya. Teman-temannya berkata keturunan half blood seperti dirinya memiliki privilese khusus. Sering Anjani merasa tidak percaya diri karenanya. "Mas, aku minta maaf." Penuh harap Anjani mengirimkan pesan tersebut. Ketika pesannya hanya ditandai dengan centang satu, harapannya amblas. Nomornya diblokir lagi. *** "Pa," Irene membantu melepas dasi yang melilit di leher suaminya, "menurut Mami, sudah saatnya Papa bicara dengan Jani." "Soal apa? Kenapa dengan Jani?" "Tadi pulang dari kampus dia nangis lagi, Pa. Sudah sering begitu. "Lagi?" Rama mengangkat alisnya. "Aduh, itu anak bucin banget," Irene mulai mengomel. "Kalau Papa perhatikan, semenjak punya pacar tingkahnya ndak bisa diprediksi. Tiba-tiba murung, lalu tahu-tahu berubah ceria. Mendadak nangis, lalu tersenyum bahagia. Mami ndak suka dengan pacarnya. Si Arya itu membawa pengaruh buruk bagi mental Jani. Padahal dari penyelidikan Mami, laki-laki itu terkenal baik di kantornya. Tapi, kok anak kita diperlakukan seperti itu? Katanya sayang? Katanya cinta?" "Biarlah dulu, Mi. Semoga Jani bisa belajar. Seumur-umur baru kali ini Jani punya pacar, kan?" "Memang, Arya cinta pertama Jani. Mami khawatir, Pa. Jani sudah usianya menikah. Mami ndak mungkin mengulur waktu melulu untuk memberi dia izin." "Orang yang sedang jatuh cinta sulit dinasihati, Mi. Namanya juga anak muda. Kita sewaktu muda juga pernah naif, to? Kala dihadapkan dengan yang namanya cinta, percayalah, Sigmund Freud pun angkat tangan, Mi." Irene merengut. "Papa ndak asik!" Rama terkekeh. "Ya, nanti Papa bicara dengan Jani." Ia mengusap kepala istrinya dengan lembut. "Tapi perlu Mami ingat, tugas kita sebagai orang tua bukan menghakimi keputusan dan tindakan anak kita, tetapi membimbing dan mengajaknya berpikir logis. Alon-alon saja. Nikmati prosesnya." Terpaksa Irene mengangguk. Padahal ia sudah gemas setengah mati. *** "Kalau gue perhatiin, kulit lo udah bening lagi, Jan. Lo ganti skin care, ya?" selidik Tita seraya mengisikan detail rekam medis pasien ke komputer. "Spill dong. Coba lo lihat, kulit gue butek banget. Padahal udah pakai macam-macam skin care. Serum, ampul, booster, sheet mask. Kinclong kagak, kere iya." "Ebuset, banyak banget? Pantesan lo kere," Anjani tertawa. "Nggak usah ikutin seluruh step ala influencer. Asalkan merek dan kandungannya cocok di kulit, step dasar aja cukup." "Apa sebaiknya gue konsul ke dokter kulit, ya?" "Boleh. Dokter Meli aja, gimana?" "Tapi antriannya panjang," keluh Tita mengingat dokter kulit paling laris di rumah sakit itu. "Bilang aja sama asistennya. Soal antrian bisa diatur kok." "Benar juga, ya." Tita manggut-manggut. "Gue nabung dulu." "Dasar!" "Ngomong-ngomong, lo nggak pernah surfing lagi? Biasanya lo sering pergi bareng Jo. Kapan sih, terakhir kalinya elo ke laut?" "Kapan ya?" Anjani ikut terpikir. Tidak lama kemudian ia baru sadar, ia belum berselancar lagi setelah punya pacar. Waktunya habis tersita untuk Arya dan Chelsea. Belakangan Arya sering memuji kulitnya yang kian bersih. Itu sebabnya ia enggan ke laut lagi. Sungguh, sengatan matahari itu kejam sekali. "Beberapa bulan yang lalu kayaknya." "Masih berantem dengan Mas Arya? Udah berapa hari?" Anjani menghela napas panjang. "Tiga hari kayaknya." "Orang yang memblokir nomor pasangannya ketika berantem, baik laki maupun perempuan, itu tandanya orang tersebut belum dewasa. Red flag besar. Kebayang nggak kalau kalian nikah? Komunikasi nggak bakalan jalan. Ujung-ujungnya lo stres sendiri." "Jangan dikit-dikit red flag dong," protes Anjani. "Gak ada satu pun manusia yang sempurna." "Tapi mendekati sempurna ada, kan?" "Mas Arya memang begitu. Tapi kalau dia udah tenang, dia bakalan menghubungi gue lagi, kok." "Tenangnya berapa lama? Ini sudah tiga hari, lho." "Biasanya bentar lagi, sih. Mungkin dia masih marah karena gue telat menjemput Chelsea lagi." Tita menatap Anjani dengan raut gemas sekaligus kasihan. Temannya itu bodoh sekali. Dalam satu bulan terakhir, sudah tiga kali Arya mendiamkan Anjani gara-gara Anjani terlambat menjemput anaknya. Padahal itu bukan kewajiban Anjani. "Jani, dengerin gue. Watak seseorang itu nggak akan berubah. Elo baru kenal dia hampir setahun ke belakang, sementara sikap dan wataknya terbentuk selama puluhan tahun, hasil dari didikan keluarga dan lingkungannya. Kalau memang dari awal bentukannya kayak rubah, selamanya bakalan kayak rubah, nggak bakalan berubah jadi Jungkook BTS hanya karena lo nikahi." Anjani diam-diam menghela napas panjang, menebalkan telinga mendengarkan ocehan Tita. Ingin ia merajuk sebab tidak seorang pun mendukung hubungannya dengan Arya. Shift malam mereka pun berakhir. Tita dan Anjani mengoper jam jaga serta laporan medis pasien kepada dokter jaga berikutnya. Keduanya berjalan gontai menuju tempat parkir. Dari kejauhan, Tita menyipitkan mata. Sesosok pria tampak bersandar di samping mobil Anjani. "Eh, siapa tuh? Mas Arya?" Anjani ikut menyipitkan matanya. "Bukan. Itu asistennya." Ia bergegas menghampiri sosok tersebut. Tita mengikuti dari belakang. "Pagi, Mbak. Maaf mengganggu. Ini ada kiriman dari Bapak," ucap lelaki itu seraya menyodorkan buket besar bunga tulip segar berwarna merah muda pada Anjani. "Ini ada kartunya, Mbak. Bapak berpesan akhir minggu ini tidak bisa bertemu karena masih ada pekerjaan di luar kota." "Oh ya?" Mendung di wajah Anjani seketika bersibak. "Makasih, Pak." "Aigoo! Lemah amat, disogok bunga doang langsung luluh." Tita geleng-geleng kepala selepas lelaki itu pergi. "Eh, bulan depan jadi cuti, kan? Awas kalau enggak!" ancamnya. Sejak jauh-jauh hari mereka bertiga sudah membeli tiket konser seorang penyanyi ternama yang akan manggung di Singapura. Mereka juga mengatur jadwal cuti dan sudah mengajukannya ke HRD. Itu sebabnya Tita tidak ingin gagal berangkat. Mengingat posesifnya Arya, ia sering berfirasat buruk. Mengajak Anjani pergi tidak lagi semudah biasanya. "Jadilah. Kan, udah beli tiket, masa dibatalin?" Anjani menghidu aroma wangi dari buketnya. Hatinya berbunga-bunga membaca pesan Arya yang mengajaknya makan malam berdua akhir bulan nanti. *** "Buat apa nonton konser sejauh itu, Sayang? Apa nggak capek?" komentar Arya lembut setelah Anjani menyebutkan niatnya menonton konser di telepon. "Mendingan kamu pakai waktumu buat istirahat." "Sebenarnya aku sudah mengajukan cuti di tanggal itu, Mas. Gak bakalan kecapean, kok. Namanya juga bersenang-senang. Jarang-jarang penyanyinya tampil di Asia Tenggara. Cuma Singapura yang kebagian jatah." "Lagunya nggak bagus-bagus amat," dengus Arya. "Tapi aku suka, Mas." "Atau begini saja. Karena kamu sudah telanjur minta cuti, mendingan pakai waktunya buat main sepuasnya bersama Chelsea. Lumayan, kan, biar kalian semakin dekat? Nanti Mas bilang pada Chelsea kalian akan liburan bersama. Kamu mau liburan ke mana, Sayang? Mas siapkan tiket dan penginapan. Chelsea pasti senang." Anjani terdiam. Sepertinya memberi tahu Arya perihal konser adalah kesalahan besar. Selalu saja begini. Setiap kali Anjani mengatur rencana dengan teman-temannya, seringkali acara tersebut batal karena Arya keberatan. Tita dan Jonathan sudah sering bersabar. Bila ia harus membatalkan acara ke Singapura kali ini, ia yakin Tita ngambek tujuh turunan. "Ya, Sayang? Nggak usah nonton konser, ya? Kamu mau apa, nanti Mas belikan sebagai gantinya. Atau nonton tahun depan saja bersama Mas? Gimana?" "Tahun depan belum tentu ada lagi, Mas," bisik Anjani lesu. "Nggak harus ke Singapura. Misalnya ada di Australia atau di Eropa. Gampang, itu bukan masalah besar." "Tapi, Mas—" "Sayang, kita baru saja berbaikan. Masa harus berantem lagi gara-gara konser? Nggak lucu!" Suara Arya terdengar mulai gusar. "Ya, Mas. Maaf." "Nah, gitu dong." Bermenit-menit berikutnya Anjani tak ubahnya burung beo. Ia hanya mengangguk dan menggumam menanggapi ocehan Arya. Semangatnya lucut bersama angin petang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD