Anjani terseret dalam pusaran badai di kepalanya sambil menunggu koper di depan conveyor belt. Dalam novel romansa, ada adegan yang cukup sering dipakai para penulis. Koper yang tertukar antara penumpang laki-laki dan perempuan, berujung pada perkenalan, pertemuan tidak disengaja, janji berkencan, lalu tidur bersama dalam beberapa waktu kemudian.
Anjani pun mengharapkan hal yang sama, kecuali bagian tidur bersama. Ia butuh plot klise seperti itu dalam hidupnya. Putus cinta tidak membuatnya kapok mengenal lawan jenis. Mami Irene berkata Anjani bisa menikah kapan saja setelah bertemu pria yang tepat. Arya adalah pengecualian karena Mami hanya berniat mengulur waktu. Entah Anjani harus bersyukur atau mengumpat mendengar kejujuran sang ibu. Kali ini ia berharap, jodoh datang kala menunggu luggage tidak terjadi dalam novel semata.
Kegagalannya menempuh pendidikan spesialis sudah membuatnya patah hati. Malam itu Anjani menangis sampai menjelang pagi. Kegagalannya ditenggarai karena banyak hal. Salah satunya karena ia sibuk ngebucin pada Arya, juga sibuk mengambil hati Chelsea. Tes akademik ia lakoni dengan persiapan seadanya. Namun Angga malah menyebutkan faktor lain yang belakangan Anjani pikir ada benarnya juga.
"Mas tahu, kamu itu sebenarnya ndak terlalu berminat jadi dokter. Makanya saat kamu masih SMA, Mas sering bertanya, kamu benar-benar ingin jadi dokter atau ndak? Kamu selalu bilang iya. Padahal kalau Mas pikir-pikir, kamu dan Athalia sama saja, sama-sama menentang tradisi keluarga. Bedanya, Atha berani melawan arus, sedangkan kamu ndak," begitu omelan Angga di telepon kala Anjani mengabarkan kegagalannya. Sebuah omelan panjang lebar yang mau tidak mau membuat Anjani menyusun sejumlah rencana.
Satu, ia bersabar menunggu tes PPDS intake berikutnya sambil belajar ekstra keras.
Dua, ia akan melupakan gelar spesialis, mengambil pendidikan magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, kemudian merintis jabatan administratif di rumah sakit. Jangan usulkan rencana sekolah ke luar negeri karena Anjani sama sekali tidak berminat.
Tiga, ia harus pasrah turun kasta menjadi pebisnis fashion, menyeriusi usaha sampingan yang selama ini memberinya uang saku lumayan untuk membeli beberapa slot saham blue chip setiap bulan.
Empat, Anjani menggunakan kemampuannya bermusik dan memberi les piano sebagai sampingan. Hei, uangnya lumayan, bukan? Kebanyakan orang kaya membiasakan anak-anak mereka belajar musik sedari dini.
Belakangan ini bahasa Mandarin semakin diminati. Gaji seorang fresh graduate yang pandai berbahasa Mandarin kabarnya mencapai dua digit per bulan. Dalam keluarganya, Anjani satu-satunya yang fasih berbahasa Mandarin dan ia cukup bangga akan hal itu. Jadi, Anjani memasukkan opsi menjadi guru les bahasa Mandarin sebagai rencana kelima. Yang penting tetap menghasilkan cuan karena gaji dokter umum tidaklah banyak.
Perhatiannya tersedot kembali ke conveyor. Di tikungan sebelah kanan, koper milik Anjani bergulir pelan. Sayang sekali, tidak akan ada pria tampan tersesat mengambil koper itu dan membawanya pergi karena warnanya cukup mencolok. Merah muda.
Namun, asumsi itu terpatahkan. Seorang pria mengenakan kemeja flanel dan berkacamata hitam mengambil kopernya, meletakkannya ke atas troli dan mendorongnya pergi. Dahi Anjani seketika mengkerut.
Pria gila mana yang bepergian dengan koper berwarna pink? Dia sedang memperingati pride month atau apa?
Tepat sebelum Anjani berlari mendekati pria itu, sudut matanya menangkap koper berwarna sama di atas conveyor. Bahu Anjani langsung turun. Kesempatannya berkenalan dengan pria asing yang sekelebat wajahnya lumayan tampan itu langsung buyar. Mungkin koper mereka hanya mirip.
Anjani memindahkan kopernya ke atas troli. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada rencana kedua, kuliah di Unair, mengikuti jejak Angga yang berjibaku dalam manajemen. Penyebab Anjani hijrah ke Surabaya karena bosan hidup di Yogyakarta, juga ketakutan diteror Arya yang minta rujuk sampai sang ayah menyewa bodyguard untuk menjaganya. Jadi, selamat tinggal PPDS!
Di area kedatangan, ia melihat sosok Dyota, sepupunya, dari jauh. Anjani melambaikan tangan. Dyota balas tersenyum riang.
Sebelum Dyota tiba di dekat Anjani, seseorang berdeham di sampingnya. Anjani seketika menoleh.
"Maaf Mbak, sepertinya koper kita tertukar," kata pria itu.
Wow! Anjani melongo sejenak. Serius? Ini bukan sihir, kan? Demi apa akhirnya mereka bertemu hadap-hadapan. Walaupun kaca mata hitam pekat menutupi matanya, Anjani tahu secara keseluruhan wajah pria itu lumayan. Hanya saja ekspresinya terlalu kaku dan serius.
"Ini bukan koper saya. Seharusnya Anda cek dulu tag-nya."
"Eh?" Senyuman Anjani langsung surut. "Masa, sih?"
Anjani memeriksa bag tag miliknya dan benar saja koper itu bukan miliknya. Namun, nada menuduh dari pria itu membuatnya mengingat-ingat kembali adegan di conveyor belt tadi. "Perasaan Anda duluan lho yang ngambil kopernya. Gak dicek dulu tag-nya sebelum dibawa pergi?"
"Anda juga nggak cek tag koper Anda, kan? Buktinya Anda nggak lapor ke petugas."
"Dih, kok nyolot?"
Pria itu tidak menanggapi sepatah kata pun. Ia menukar trolinya dengan milik Anjani, lalu pergi.
"Hei, kita belum berkenalan!" tukas Anjani setengah berteriak. Ah, sial! umpatnya kesal sendiri.
"Ada apa, Mbak?" tegur Dyota mendekat.
"Koper Mbak tertukar," ujar Anjani sebal. "Tapi dia malah nyolot. Padahal Mbak lihat sendiri dia yang ngambil koper duluan. Jarang-jarang kan orang pakai koper warna pink?"
Tawa Dyota membesut. "Serius, Mbak?"
"Serius. Kamu lihat tuh!" Anjani menunjuk pria yang baru saja pergi. "Pink, kan? Yuk, pulang. Kamu bawa mobil?"
"Bawa, Mbak."
"Wah, sudah punya SIM kamu?"
"Sudah dong, Mbak. Tahun depan aku udah kuliah, lho." Dyota memuat koper Anjani ke bagasi mobilnya. "Cuma satu ini aja, Mbak?"
"Iya. Barang-barang Mbak yang lain kan sudah dikirim duluan." Anjani sengaja mengirim barang-barang keperluannya terlebih dahulu ke kediaman Om Robert. Sementara dirinya singgah ke Jakarta terlebih dahulu selama beberapa hari dan menginap di rumah kakaknya. "Papamu mana? Ada di rumah?"
"Enggak, Mbak. Makanya aku yang menjemput Mbak." Dyota membukakan pintu mobil untuk Anjani. "Papa lagi otopsi di Soetomo. Kapan hari ada kasus pembunuhan dan mayatnya baru ketemu. Yuk Mbak, cabut!"
***
"Ini ID card kamu," Robert menyerahkan kartu karyawan rumah sakit kepada Anjani. "Jam kerja diatur setelah kamu sesuaikan dengan jadwal kuliahmu."
"Lho?" Anjani terperangah. "Aku masih harus kerja, Om?"
"Nggak usah manja," decak Robert. "S2 itu gampang. Sambil merem-merem juga kelar. Jadi, kamu tetap harus praktik. Daripada ilmu kamu menguap begitu saja. Ilmu kedokteran terus berkembang tiap hari."
Anjani langsung lemas. Baru dua hari ia bernapas di Surabaya, Robert datang membawa tugas tambahan. Ia pikir bisa fokus pada pendidikannya sambil leyeh-leyeh, bergaul, cari pacar, atau paling mentok nongkrong bersama kedua sepupunya.
"Kamu yakin tinggal bareng Om Robert?" tanya Attar sangsi. "Saranku, kamu sewa apartemen aja. Kalau tinggal bareng Om Robert, bernapas pun kamu nggak sempat."
Benar kata Attar tempo hari. Tinggal bersama Om Robert harus siap-siap kerja keras. Pria lulusan Jepang itu benar-benar menerapkan prinsip romusha!
"Tapi sebelum praktik aku mau ke Banyuwangi dulu, Om," kata Anjani menawar. Memang, ia baru pulang dari Sumba sebulan yang lalu, tetapi itu belum cukup. Anjani rindu mampir ke Pantai Plengkung.
"Oke." Robert mengangguk. Ia memberi isyarat agar Anjani mengikutinya ke garasi. Setiba di sana, ia memberikan kunci motor kepada gadis itu.
"Hai, Cepot." Anjani mengelus motor racing kesayangannya, hadiah dari Om Robert kala Anjani berulang tahun ke delapan belas. Om Robert merawatnya dengan baik. Setiap kali mampir ke Surabaya, Anjani menyempatkan diri mengendarai Cepot berkeliling kota.
"Om sudah booking sirkuit. Kalau kamu menang, jatah liburmu extend dua hari."
"Cuma dua hari? Pelit amat!" Anjani mendengus seraya berjalan menghampiri lemari. Berbagai perlengkapan balap tersimpan di sana. Ia mengambil helm, pakaian balap, sarung tangan, pelindung siku dan lutut, kemudian mengenakannya.
"Kalian mau ke mana?" Tiba-tiba Martha datang menghampiri suaminya sambil berkacak pinggang.
"Ke sirkuit sebentar, Sayang. Sudah lama nggak balapan dengan Jani," jawab Robert sekenanya. "Barangkali dia menang."
"Eling, Mas. Sadar. Keponakanmu itu perempuan. Mbok ya jangan diajari hobi ala preman," protes Martha gemas.
Seketika Robert menatap Anjani tak berkedip, seolah-olah meragukan jenis kelamin keponakannya itu. "Iya ta kamu perempuan?"
Anjani mengangkat bahu. "Coba dicek dulu, Om. Barangkali aku punya lato-lato."
"Cuangkemmu!" Robert memelotot. Sayangnya, orang yang dipelototinya hanya bersiul-siul mengelus si Cepot.