Bagian Satu
Gulir waktu terasa begitu cepat bagi Lintang. Senin sudah tiba kembali padahal rasanya baru kemarin ia melaksanakan upacara bendera dan saat ini juga kegiatan rutin itu tengah berlangsung.
Kepala sekolah yang tengah berdiri diatas podium sambil mengatakan hal-hal yang sudah beberapa kali disampaikan pada setiap kesempatan. Apalagi di langit yang sedang terik-teriknya ini membuat Lintang ingin kabur saja. Namun hal itu tak mungkin dilakukan karena disetiap barisan dibelakangnya ada anak OSIS yang berjaga.
"Jadi, dikhususkan untuk para anak kelas dua belas untuk lebih ditingkatkan lagi belajarnya. Jangan membuat waktu kalian selama bersekolah disini menjadi sia-sia karena kalian terlalu lalai dalam belajar dan mengakibatkan nilai kalian hancur diujian nanti.
"Ingat anak-anakku semuanya, selalu ingat apa mimpi dan cita-cita kalian! Terus perjuangkan apa yang harus kalian perjuangkan demi masa depan. Gak boleh ada kata pesimis dalam diri kalian untuk segala sesuatunya. Karena dimasa yang akan datang kalian akan menyesal karena tidak melakukan apa yang harus dilakukan.
"Waktu terus berjalan, nak! Waktu gak akan nunggu kalian untuk bangkit dan berjuang. Jadi, saya harap untuk murid-murid SMA Bina Unggulan ini, untuk terus berusaha meski banyak rintangan yang harus dilalui. Demi masa depan kalian dan jangan sampai ada kata penyesalan di masa yang akan datang.
"Mungkin cuma itu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu'alaikum."
•
bab 1
k a n t i n
Waktu istirahat telah tiba. Perut Lintang yang sudah meronta-ronta untuk diisi membuat gadis itu segera melesat ke kantin dan memesan mi ayam bakso serta minuman dingin. Ia memilih untuk duduk didekat konter bu Denok—penjual mi ayam.
"Pesanannya, Neng." Bu Denok menyimpan pesanan Lintang dan kembali ke konternya untuk melayani pembelinya yang lain.
Baru saja Lintang hendak menyendokkan mi ke dalam mulut, tiba-tiba sebuah suara menghentikan pergerakannya. Ia mendongak, menatap tiga orang gadis yang bertampilan seksi tengah menatapnya sambil menyilang tangannya di depan d**a.
"Hei, sorry to say, for your information kalo meja ini tuh, tempat gue." Cewek berambut sedikit pirang agak bergelombang bersuara. Lintang yakini jika dia adalah bos dari geng tersebut.
"Emang ini tempat punya nenek moyang lo?" tanya Lintang membuat tiga orang itu terbelalak.
"Oh, seriously lo gak tau siapa kita?"
Alis Lintang terangkat. Memangnya mereka siapa sampai-sampai ia harus tahu? Ia berdecih. Dan tanpa memedulikan tiga orang itu, Lintang melanjutkan kegiatan mengisi perutnya.
"Wah, benar-benar ya, lo! Emang suka cari masalah."
"Pantes punya julukan si Badung dari SMA kita. Bikin malu aja."
Anjir! Lintang menatap ketiga orang itu dengan pandangan datar namun dengan bibir yang tertarik menciptakan senyum sinis. "Ternyata gue seterkenal itu, ya?"
"Idih, narsis lo!" ujar cewek berkucir kuda. Yang setelah diperhatikan dari name tag nya bernama Rumi. Sedangkan yang satunya lagi bernama Tania dan si ketua geng bernama Luna.
Sialan, ternyata anak kelas dua belas, batin Lintang setelah tak sengaja melihat logo 12 diseragam mereka. Ia sungguh tak ingin memiliki masalah dengan anak kelas dua belas. Cukup sekali saja dalam seumur hidupnya.
"Ya udah, pilihan lo cuma dua. Pindah tempat dengan baik-baik atau terpaksa kita seret," ujar Lina angkuh.
Karena tak ingin berurusan dengan trio i***t itu, Lintang berdiri seraya mengangkat nampan makanannya. Dan saat itu ia baru sadar, jika seluruh mata kini tengah memandang ke arah mereka.
Luna dkk. tersenyum miring.
"Oh iya, gue cuma mau bilang," ujar Lintang dengan suara rendah. "Bersikap seolah-olah kalian ratu disini ...," Lintang tersenyum kecil. "Gak akan membuat orang-orang takut sama kalian. Dan gue baru inget, ternyata gue tau kok sama lo bertiga, trio tingting yang hobinya suka bully k***********n yang memanfaatkan jabatan orangtua dan—"
Byur! Luna mengguyur wajah Lintang dengan minuman yang ada di nampan tersebut. "Jaga mulut lo!"
Hening. Seluruh atensi penghuni kantin kini benar-benar menatap mereka.
Lintang terkejut. Ia mengusap wajahnya kasar dan menatap mi ayamnya sudah tercampur dengan es teh gara-gara perbuatan Luna. Setengah dibanting, ia menyimpan nampan dan mengambil mangkuk mi ayam dan melempar isinya pada Luna.
Semua orang terkesiap.
Lintang menatap datar tiga orang itu. "Lo udah tahu, kan, siapa gue? Jadi, kalo apa yang kalian perbuat, gue bisa melakukan hal yang lebih." Ia mengibaskan rambutnya yang basah dan berjalan meninggalkan mereka.
"ANAK JALANG AJA KELAKUAN BANYAK TINGKAH! NGACA! LO YANG MEMANFAATKAN KECERDASAN LO BUAT MENUTUPI BETAPA BURUKNYA SIKAP LO, IDUP LO, DAN KELUARGA LO!" seru Luna membuat tubuh Lintang kaku.
"Jangan bawa-bawa keluarga gue!" tandas Lintang seraya mengepalkan tangannya.
"KENAPA? MALU KALO FAKTANYA LO ANAK DARI w***********g—"
Plak! Lintang mendekat ke arah Luna. "Jangan bicara sok tahu kalo lo gak tau kebenarannya!" ujarnya dingin. "Kehidupan lo juga sama berantakannya," lanjutnya dengan bisikan.
"Sialan!"
PLAK! Luna balas menampar pipi Lintang dengan sangat keras sampai-sampai sudut bibir gadis itu sobek dan mengeluarkan darah segar dari sana.
"WOY, KALIAN APA-APAAN, SIH?!"
Lelaki berkacamata mendekat ke arah mereka. Lelaki yang sama dengan orang yang Lintang temui di perpustakaan.
Sakti Anggara.
"Tan, bawa Luna pergi dari sini," titah Sakti yang langsung diangguki Tania.
"Lepasin gue! Urusan gue belum selesai sama nih, cewek!" Luna meronta ketika kedua temannya menggiringnya untuk keluar kantin.
"Iya, Lun. Tapi liat baju lo kotor banget. Mending ganti dulu, ya?" Rumi membujuk yang akhirnya membuat Luna berdecak dan akhirnya pergi setelah memberikan tatapan urusan-kita-belum-selesai pada Lintang.
Luna mendengus. Ia menepuk baju seragamnya yang basah kuyup oleh air teh. Rasanya dingin sekali.
"Lo ... sebaiknya gak usah berurusan sama mereka," ujar Sakti.
Lintang tak menanggapi dan memilih untuk pergi juga.
"Lo juga harusnya menjaga nama baik lo sebagai si Juara Paralel. Jangan sampai orang-orang nanti ngira kalo murid genius ternyata—"
"Apa?! Ternyata berandalan kayak gue?!" seloroh Lintang. Ia mendekati Sakti dan menatap lelaki itu tajam. "Jangan pernah ikut campur sama urusan gue," ujarnya sebelum ia melangkah keluar dari kantin.
"SETIDAKNYA KALO BUKAN UNTUK MENJAGA NAMA BAIK ANAK-ANAK PARALEL, LO JAGA BUAT NAMA BAIK DIRI LO SENDIRI."
•
bersambung