3. Pagi yang Terlambat

1637 Words
Pagi-pagi sekali, Amira sudah bergegas hendak meninggalkan rumah. Hari ini, dia ada urusan mendadak dengan orang yang akan dijumpainya tak lama lagi. Mengingat si orang ini merupakan tipikal manusia yang anti jam karet alias harus disiplin waktu, maka Amira pun berupaya datang ke tempat yang digunakan mereka berjanjian dalam waktu yang secepat-cepatnya. Amira tidak mau memberikan kesan buruk bagi orang yang hendak ditemuinya ini. Sebab, Amira bisa dicap tidak disiplin seandainya ia terlambat datang meski hanya semenit saja. "Non Mira, mau kemana tho sepagi ini?" tegur Mbok Tarsih yang dilihatnya baru muncul memasuki ruangan tengah di saat Amira sendiri baru menuruni tangga. Melirik, wanita itu pun menjawab, "Mau ketemu sama temen, Mbok. Pagi ini gak usah masak ya, Mbok. Aku mau langsung ke galeri kok setelah ketemu sama temenku ini...." urai Amira memberi tahu. "Baik, Non. Padahal, rencananya Simbok mau bikin omelet sosis pagi ini," tukas Mbok Tarsih melenguh. Melihat lenguhan itu, Amira pun mengulum bibirnya seraya berkata, "Besok aja, Mbok. Atau, nanti pas aku pulang dari galeri aja. Masakan Mbok kan gak pernah bikin kecewa, jadi ... Kapan pun Mbok Tarsih masakin buatku, itu pasti aku makan kok." Sontak, mendengar hal itu pun Mbok Tarsih tersenyum senang sekaligus tersanjung. "Non Mira ini memang paling bisa kalo sudah memuji Simbok. Padahal, masakan Non Mira sendiri rasanya jauh lebih lezat dibanding masakan Simbok yang alakadarnya!" tutur wanita berdaster lusuh itu berkomentar. "Beda dong, Mbok. Antara dimasakin sama masak sendiri, itu kenikmatannya gak akan sama. Kalo masak sendiri, itu antara udah capek masak tapi harus tetep makan. Nikmatnya setengah-setengah. Tapi kalo dimasakin, aku tinggal duduk menunggu terus pas masakan jadi aku langsung santap dan itu tuh kenikmatannya dua kali lipat lebih mantap dibanding opsi yang pertama...." tutur Amira beranalogi. Spontan, membuat Mbok Tarsih terkekeh kala mendengar majikan mudanya itu bertutur kata seriang saat ini. "Yo wes, Non. Bukannya Non Mira ada janji sama temannya? Kalau ngobrol terus sama Simbok di sini, apa nanti ndak telat?" ujar Mbok Tarsih yang seketika mengingatkan kembali Amira tentang janji temunya hari ini bersama sang teman. "Astaga," desis Amira menepuk dahi. "Mbok Tarsih sih malah ngajakin aku ngobrol, kan jadi lupa kalo aku lagi buru-buru. Ya udah, aku berangkat dulu ya, Mbok!" seru wanita itu sembari tergesa-gesa melangkah meninggalkan pembantunya yang tengah bergeleng kepala sambil melengos pergi kembali ke dapur. Sementara itu, Amira sudah berada di dekat mobilnya yang hendak ia kendarai sendiri. Ya, semenjak tumbuh dewasa, seperti sudah menjadi suatu keharusan bagi Amira berkemudi sendiri. Selain Amira yang memiliki keinginan untuk hidup mandiri, rasanya lebih enak berkemudi sendiri dibanding diantar oleh sopir atau berketergantungan pada pihak lainnya. Bukan apa-apa, Amira hanya berusaha untuk belajar dari pengalaman saja. Dulu, saat Amira sudah menggantungkan segala sesuatunya pada pria yang diyakininya akan selalu berada di sisinya kapan pun ia butuh, justru yang terjadi pria itu malah pergi menjauh dan tak kembali. Maka sejak saat itu, Amira pun mencoba untuk melakukan segala sesuatunya dengan sendiri. Alasannya sederhana, agar ia tidak perlu repot membiasakan hidup mandiri lagi ketika orang yang diandalkannya tiba-tiba pergi lagi seperti yang sudah ia alami bertahun-tahun ke belakang. Bunyi dering ponselnya tahu-tahu menginterupsi pergerakannya. Padahal, Amira baru saja akan memasuki mobilnya. Tapi, ketika ponsel dalam sling bagnya berdering, mau tak mau ia pun mengurungkan niatannya dan memilih untuk memfokuskan dulu perhatiannya pada si benda yang menjerit-jerit ingin dilirik tersebut. Sampai tak lama kemudian, Amira lantas merogoh benda itu dari dalam tasnya.  Lalu pandangannya ia tujukan ke arah layar ponsel yang berkedip-kedip dengan deringnya yang belum mereda. "Loh, Emily...." gumam wanita itu dengan dahi berkerut. Meraih pintu mobil dan dirinya bergerak masuk ke belakang kemudi, Amira lekas menggeser ikon hijau di layar seraya menempelkan benda itu ke telinga kanannya. "Ya, Em!" sambut Amira menjawab panggilan. "Amiiiiiiiii." Refleks, Amira pun menjauhkan ponselnya tersebut dari telinga. Sejenak, ia pun mendecak sembari menekan lubang telinganya yang mendadak terasa pengang. "Kenapa sih ni anak. Tau-tau main teriak aja. Kalo gendang telinga gue pecah apa dia mau tanggung jawab?" gerutu Amira misuh-misuh. Sementara itu, suara Emily masih memanggil-manggil Amira di dalam ponsel sana. Hingga beberapa saat kemudian, karena Amira tak juga menyahut, tiba-tiba panggilan itu berubah menjadi tanda panggilan video. Membuat Amira lantas menjawabnya serta langsung mengarahkan layar ponselnya lurus dengan posisi wajahnya. "Ami, kok lo gak nyautin gue sih?" protes Emily yang terlihat masih rebahan di ranjang dengan piama tidur yang melekat di tubuhnya. Untuk sesaat, Amira mendecak. "Suruh siapa lo telepon sepagi ini dan ngejerit kayak barusan? Emang lo pikir telinga gue ini anti teriakan, ha?" omel wanita itu tak segan. Menyadari akan kesalahannya, Emily pun nyengir lebar. "Sori, gue kan kelewat seneng gitu loh. Makanya gue teriakin nama lo. Lagian, teriakan gue gak ada apa-apanya lo nya aja yang lebay!" ujar Emily merengut. Kontan, Amira pun mendengkus pasca dibilang lebay oleh teman karibnya itu. "Lebay pala lo gepeng! Orang suara lo nyaris bikin gendang telinga gue pecah kok pake acara bilang gak ada apa-apanya. Coba sini gue bales. Mana tau, gendang telinga lo yang bermasalah," tutur Amira mendelik sebal. Lagi-lagi, Emily pun terkekeh seraya tercengir semakin lebar. "Iya deh sori. Yang penting, telinga lo masih sehat walafiat kan. Gak sampe keluar kotoran juga dari sana." "Ya, ya, serah lo deh! Dari dulu, lo emang gak pernah mau mengakui kesalahan. Selalu aja berkelit walaupun lo tau lo salah pake banget," ujar Amira mengkritik, sedangkan Emily hanya cengengesan tak jelas sembari memamerkan deretan giginya yang dipagari behel. "Btw, lo ada apaan nelepon gue sepagi ini?" tanya Amira mengganti topik pembicaraan. "Oh iya gue sampe lupa sama tujuan gue telepon lo," jawab Emily menepuk jidat. Lalu, gadis itu pun berdeham sejenak. "Jadi gini ... Setelah gue praktikin tips yang lo kasih. Akhirnya, doi mau juga penuhin permintaan gue. Ya, walaupun itu belum kejadian sih. Tapi dia udah bilang bersedia. Dan gue yakin itu berkat lo juga, Mi!" cerocos Emily penuh keyakinan. Mendengar penuturan cerita yang belum sempurna, Amira lantas mengernyit bingung. "Maksud lo apa? Kok tiba-tiba aja berkat gue?" Emily berdecak. "Aduh, Amiraa ... Gue gemes deh. Kalo deket, udah gue cubit tuh pipi lo yang makin cubby itu!" seru si gadis terlihat gregetan. "Ya kan gue gak paham maksud lo apaan." "Tempo hari kan lo pernah kasih gue tips jitu buat taklukin cowok yang gue suka tuh. Terus, kemarin gue praktikin tips itu ... Dan ternyata berhasil. Itu artinya, berkat tips dari lo, gue jadi sedikit punya keberanian buat bikin bos gue jadi mau menuhin permintaan gue. Misalkan lo gak kasih tips, belum tentu juga kan gue punya keberanian buat labrak bos gue kayak gitu!" papar Emily menjelaskan. Sejenak, Amira menatap Emily melongo. "Gue gak lagi salah denger? Lu ngelabrak bos lu?" pekiknya memelotot. Emily mengangguk penuh semangat. "Iya, Mi. Lagian, gue juga gemes tuh sama si bos. Gak ada badai yang menerpa, tau-tau ninggalin gue gitu aja di tengah gue lagi b*******h. Dia pikir itu kondisi yang bikin enak apa! Sebel deh gue jadinya," decak Emily menggembungkan kedua pipi. Amira tidak habis pikir. Ia pikir Emily tidak akan seberani itu dalam bertindak. Melabrak bosnya? Yang benar saja! Dia tidak takut kena pecat apa? Batin Amira sungguh tercekat. Sampai beberapa detik berlalu, tiba-tiba Emily kembali bersuara, "Anyway, lo mau ke mana pagi-pagi begini. Kalo gue gak salah lihat, lo sekarang lagi di dalam mobil kan?" tebak Emily menyipitkan kedua matanya. Lalu, Amira kembali teringat pada tujuannya pagi ini. Membulatkan kedua matanya sempurna, Amira pun refleks melempar ponselnya ke atas jok sebelah dan mulai menyalakan mesin mobilnya guna melajukan kemudi tersebut menuju ke tempat di mana orang yang hendak ditemuinya pasti sudah datang lebih dulu. *** Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari rumah, kini mobil yang dikendarai oleh Amira pun sudah tiba di sebuah kafe cozy yang beberapa tahun silam ia berikan kepada sepupunya. Ya, tampaknya hanya kafe itu saja yang sudah beroperasi di pagi buta seperti ini. Sejak dulu, pengelola kafe tersebut seolah suka dengan udara dingin di pagi seperti ini. Membuat kafenya selalu didatangi oleh para manusia yang sedang mencari menu sarapan di kala mereka malas memasak di rumahnya masing-masing. Lalu kini, Amira pun sudah bergegas keluar dari mobilnya. Mulai berlari kecil menuju kafe cozy Mirami diiringi dengan rasa takutnya kalau-kalau orang yang hendak ditemuinya ini malah marah dan enggan diajak untuk bekerja sama lagi setelah tahu bahwa Amira tak bisa datang di waktu yang tepat. Selagi Amira masih berlari di luar kafe, tepat di dalam kafe tersebut seorang pria bersetelan kerja lengkap sedang duduk di salah satu meja yang berada di dekat jendela besar sembari melirik terus arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Nisa, di mana sepupumu?" lontar pria itu melirik ke arah Venisa yang kebetulan sedang menemaninya sejak pria itu datang beberapa menit lalu. "Duh, Mas, aku juga gak tau. Mungkin Amira kejebak macet kayaknya...." terka Venisa menggaruk telinganya yang tak gatal. Pria itu mendecak. Mendelik sebal selepas mendengar alasan klasik yang diutarakan gadis itu. "Setahuku, pagi-pagi seperti ini jalanan belum dipadati banyak kendaraan. Itulah sebabnya aku memilih waktu sepagi ini untuk membicarakan soal bisnis dengan sepupumu." Venisa menggigiti bibir bawahnya. Tidak tahu juga alasan sepupunya terlambat. Namun selang beberapa detik, tiba-tiba pintu kafe di depan sana pun terbuka. Menampilkan sosok wanita yang sedang ditunggu kehadirannya oleh mereka sedari tadi. "Nah, itu Amira!" seru Venisa menunjuk ke ambang pintu. Di sana, Amira memang sedang berdiri sembari terengah-engah dengan posisi sebelah tangannya menyentuh pinggang dan satunya lagi ia tumpukan di permukaan pintu berbahan kaca tebal tersebut. Melihat kedatangan Amira yang sudah terlambat dari jam mereka membuat janji, pria itu lekas berdiri. Lalu seolah ia tak mau menunggu lama lagi, si pria itu pun mulai berjalan menghampiri Amira yang bahkan masih menundukkan pandangannya di tengah deru napasnya yang belum stabil. "Kamu terlambat 7 menit lebih 5 detik, Amira!" seru pria itu setibanya ia di hadapan si wanita. Sontak, membuat Amira menaikkan pandangannya disertai oleh sorot yang membelalak kala bertatap muka dengan pria bernama lengkap Antares Adiwijaya tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD