Jason membuka matanya ketika cahaya matahari yang menyusup melewati celah tirai mengusik tidurnya. Pria bersurai kecokelatan itu mengerjap pelan lantas bangkit dari posisi terlentangnya.
Jason berjalan menuju jendela kaca besar di kamarnya, menyibak tirainya hingga membebaskan sinar matahari menyinari dan menghangatkan seisi kamar. Pria berusia 33 tahun itu menatap deretan gedung pencakar langit yang memang menjadi pemandangan sehari-hari di apartemennya.
Pria itu termenung, mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. Kedatangan Jason ke mansion keluarga menjadi bencana baginya. Meski sudah berusaha melupakan kejadian buruk itu, tetap saja Jason masih tak kuasa melawan ketakutannya. Tak sadarkan diri dengan tubuh lemah penuh keringat dingin adalah sesuatu yang sudah tidak pernah Jason alami selama 15 tahun terakhir. Pengobatannya berhasil dan kepergiannya ke Amerika semakin membuatnya melupakan semua kenangan buruk itu. Namun, kemarin semuanya seolah kembali lagi. Jason sadar bahwa rumah memang bukan tempat yang aman baginya.
Lamunan Jason buyar ketika ponselnya berbunyi menandakan panggilan masuk. Ia pun mendudukkan diri di tepian ranjang kemudian meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Jason mendesah pelan ketika membaca nama yang tertera di layar ponselnya.
"Iya, Bunda," ujar Jason setelah menggeser tombol hijau di layarnya.
"Sudah baikan? Mau Bunda panggilkan dokter?" Suara Aira terdengar cemas di seberang sambungan. Membiarkan Jason pulang setelah sadar dari pingsannya, membuat hati wanita paruh baya itu tak tenang. Putranya baru kembali setelah belasan tahun. Tentu saja ia ingin melepas rindu. Namun, ia tidak boleh egois. Jason tidak bisa tinggal di rumah. Meski enggan, Aira pun akhirnya mengizinkan Jason pulang ke apartemennya.
"Jason baik-baik saja. Bunda tidak usah cemas." Jason mencoba menjawab setenang mungkin agar bundanya tidak terlalu cemas.
Terdengar helaan napas lega dari seberang telepon. "Syukurlah ... Bunda lega mendengarnya."
"Bunda sendiri bagaimana? Sudah baikan?" Jason balik bertanya.
"Tidak usah cemas. Bunda kembali sehat ketika kau datang. Rasanya sangat lega melihatmu tumbuh dengan baik."
"Jason juga senang melihat Bunda sehat."
Hening sejenak. Jason seperti tengah memikirkan sesuatu, begitu pula bundanya yang ada di seberang telepon. Sebelum Jason sempat membuka mulutnya untuk mengakhiri panggilan, bundanya justru menawarinya sesutau yang tidak bisa Jason tolak.
"Mau sarapan bersama? Kita makan di luar jika kau tidak mau di rumah. Bagaimana? Bunda ingin melepas rindu."
Jason menghela napas beratnya. Meski enggan, Jason tidak bisa menolak permohonan bundanya. Jason adalah anak penurut. Ia sangat menyayangi keluarganya. Tentu saja ia tidak sanggup untuk menolaknya.
"Kita makan di luar," ujar Jason pasrah. "Bunda tentukan tempatnya. Jason akan bersiap."
"Kita tidak pergi bersama? Bunda dan Jordan akan menjemputmu."
"Tidak perlu, Bunda. Sangat merepotkan," tolak Jason cepat. "Akan lebih cepat jika Bunda dan Jordan langsung pergi."
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon. "Baiklah. Bunda akan pergi bersama Jordan."
"Ya. Sampai jumpa di sana, Bunda."
Jason menutup panggilannya kemudian menghela napas panjang. Tampaknya, ia tidak akan mudah kembali begitu saja ke Amerika. Bundanya mulai terlihat posesif. Jason memahami hal itu. Berpisah dengan seorang putra selama belasan tahun memang tidak mudah. Sekarang Jason sudah pulang, tentu saja bundanya tidak akan melepasnya begitu saja seperti dulu.
***
Jason berjalan menuju mobilnya yang terparkir di basement apartemen. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seorang pria bertubuh tegap menghadangnya. Jason menautkan alis, menatap tajam pria itu.
"Maaf, Tuan Jason," ujar pria tegap itu sopan sembari membungkukkan kepala sekilas. "Anda sudah ditunggu di dalam mobil."
Jason mengerutkan dahi, menatap sekitar, mencoba mencari tahu. Di sana—sekitar lima mobil jauhnya—ada sebuah sedan mewah berwarna hitam terparkir dengan dua orang pria bertubuh tegap di sampingnya. Jason melirik sekilas pria yang ada di hadapannya, kemudian menghela napas panjang.
"Ayah menungguku?" tanya Jason yang langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh pria di hadapannya.
Sekali lagi, Jason menghela napas panjangnya, mencoba mengatasi debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Ia pun akhirnya pasrah, menuruti apa yang diinginkan ayahnya.
Seorang pria tegap di dekat sedan mewah itu, langsung membukakan pintu mobil sebagai isyarat agar Jason memasukinya. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis Jason. Jujur saja, ia belum siap untuk bertemu ayahnya sekarang.
"Masuklah, Ayah ingin bicara sesuatu." Sebuah suara bariton yang dalam menegur Jason dari dalam mobil ketika pria itu hanya berdiri mematung di depan pintu mobil.
Mendengar perintah tegas ayahnya, tubuh Jason langsung bereaksi. Tubuhnya bergerak sendiri seolah jiwanya terlepas dari raganya. Jason pun memasuki mobil, pasrah dengan apa yang akan terjadi.
***
Jason menatap kosong gelas wine yang sama sekali belum disentuhnya. Pertemuan dengan sang ayah membuat hatinya gundah. Jason tidak bisa berpikir jernih. Karena itulah, ia menghubungi Jordan dan membatalkan janji sarapan bersama dengan alasan ada pekerjaan mendadak. Di sinilah Jason sekarang. Duduk sendiri di ruang VVIP sebuah bar milik kenalannya.
"Kau mengundangku untuk ini? Berniat mengajakku minum di tengah hari?"
Lamunan Jason buyar ketika mendengar suara ringan yang sangat dikenalnya. Kedua sudut bibirnya terangkat meski tipis.
"Aku tahu kau akan segera datang begitu aku memanggilmu." Jason berujar lirih. "Thanks, Van."
Lelaki bernama Jovan itu mendesah pelan. Ia sudah sangat hafal sifat Jason. Teman sekamar ketika kuliah dulu itu memang tidak sekuat kelihatannya. Orang yang tidak benar-benar mengenal Jason Adams akan menganggap bahwa Jason adalah pria sempurna dengan segudang bakat dari keluarga konglomerat terkenal. Namun, di balik itu semua, Jason adalah pria rapuh yang hatinya lembut. Karena itulah, Jovan sangat nyaman berteman dengan Jason bahkan hingga sekarang.
"Ada apa?" Jovan mengambil tempat duduk di tepat di hadapan Jason.
Ruang VVIP itu berukuran lumayan luas dengan sofa memanjang yang diatur berhadap-hadapan. Interiornya dirancang modern minimalis dengan dinding dan lantai berlapis karpet import. Di salah satu sudut ruangan juga terdapat set karaoke lengkap, menambah kesan mewah dan mahalnya tempat ini.
"Kau sibuk?" tanya Jason tanpa menatap Jovan. Maniknya menatap lurus jemari yang tengah memainkan gelas wine di tangan.
"Iya," jawab Jovan cepat. "Tapi sesibuk apa pun, jika kau memanggil maka aku akan datang."
Jason tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya. "Terkadang, aku merasa menjadi beban untuk orang-orang di sekitarku."
Jovan menautkan alisnya, menatap Jason bingung. "Hey, what's going on, Bro?"
Jason mengangkat wajahnya. Matanya sembab dengan wajah yang mulai memerah. "Kau masih ingat naskah drama yang pernah kutunjukkan ketika kuliah?"
Jovan mengerutkan dahi, tetapi menganggukkan kepala meski ragu. Ia sangat ingat naskah drama musikal yang dikatakan Jason itu. Dulu, Jason sering sesumbar bahwa naskah itu adalah masterpiece yang akan ia wujudkan di akhir karirnya. Jovan tahu jika Jason mengerjakan naskah itu sepenuh hati demi mewujudkan pertunjukan impiannya. Namun, ada sesuatu yang salah di sini. Jovan menyadari ada hal yang tidak berjalan sesuai semestinya.
Jason menarik kedua sudut bibirnya dengan kaku. Senyumnya tampak mengerikan dengan mata sembab dan hidung memerah. "Aku ingin mementaskan drama musikal itu dua bulan lagi. Maukah kau membantuku?"
Jovan menegakkan posisi duduknya, menelan ludahnya tak nyaman. Pria itu tidak sanggup berkata-kata. Ia bisa menarik benang merah dari apa yang dikatakan Jason. Mementaskan naskah drama musikal itu sama halnya pengumuman pengunduran diri Jason dari dunia panggung selamanya. Jovan masih tidak percaya dengan kesimpulan gilanya ini.
"Are you sure, J?" tanya Jovan memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. "Kau serius ingin melakukan itu? Bukankah dulu kau bilang jika naskah itu akan dipentaskan—"
"Di akhir karirku," sambung Jason cepat sebelum Jovan menyelesaikan kalimatnya. Jason tersenyum kepada sahabatnya itu. Senyum tulus yang selama ini ia tunjukkan kepada pria yang telah bersedia menjadi sahabatnya selama ini, menerima semua kekurangan dan kelebihannya. "Untuk itulah aku meminta tolong padamu, Van. Aku ingin membuat kesan di akhir karirku."
Tubuh Jovan lemas mendengar penuturan Jason. Apa-apaan itu? Meski harus Jovan akui bahwa naskah itu sangat luar biasa, tetapi ia benar-benar tidak pernah menyangka bahwa naskah itu akan benar-benar ditampilkan sekarang.
"Aku tidak harus berkomentar apa. Hanya saja ... just give me a reason, J. For real!"
Jason tersenyum tipis sembari menatap Jovan dengan mata sendu. "Ayah datang menemuiku."
Seketika itu, tubuh Jovan menegang. Meski Jason tidak dengan terang-terangan mengatakan alasannya, hanya dengan menyebutkan nama ayah Jason, otaknya akan langsung mencerna semua informasi dadakan ini dengan cepat.
"Kapan aku harus memulainya?"
Jason kembali menyunggingkan senyum. Kali ini penuh kelegaan. "As soon as possible."
***