Terminal 3 kedatangan luar negeri Bandara Soekarno Hatta tampak ramai. Jordan dengan setelan formalnya tampak menyunggingkan senyum ketika melihat papan tampilan informasi penerbangan. Orang-orang mulai keluar dari pintu kedatangan di depan Jordan. Ia sudah tidak sabar menunggu kakak satu-satunya yang telah pergi hampir selama lima belas tahun.
Di sana. Jordan melihat tubuh tegap yang sangat ia rindukan. Sebuah kemeja putih yang dilapisi mantel cokelat panjang tak serta merta menutupi kesempurnaan posturnya. Senyum Jordan semakin lebar ketika pria itu mengenalinya lantas melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi dikenakan.
"Kakak ...," gumam Jordan dengan mata berkaca-kaca. Haru.
Pria itu menghampiri Jordan dengan mendorong trolinya. Ia pun berhenti tepat di hadapan Jordan kemudian memeluknya erat. "Kau jelek sekali dengan air mata itu," bisiknya lembut.
Jordan tidak tahan lagi. Ia pun semakin membenamkan wajahnya ke dalam pelukan pria itu. "Kakak ... Kakak ...."
Pria yang dipanggil kakak oleh Jordan itu terkekeh mendengar ucapan Jordan di sela isaknya. Meski sudah tumbuh sebesar dan setinggi ini, Jordan tetaplah adik kecil baginya. Ia tidak bisa berkata-kata. Jujur saja, ia juga merasa terharu dengan sambutan yang diberikan Jordan. Pria itu hanya memberikan usapan lembut di punggung adiknya.
***
Jason Altair Adams—putra sulung CEO Adams Group—akhirnya menapakkan kaki di tanah kelahirannya setelah lima belas tahun. Jason sama sekali tidak pernah menyangka akan pulang lagi setelah sekian lama. Sejujurnya, ia berencana menetap di Amerika tanpa berniat untuk kembali. Namun, sebuah telepon seminggu lalu mengubah pikirannya. Malam itu, Jason menerima telepon dari Jordan yang mengabarkan bahwa bunda mereka tengah sakit parah. Dengan pikiran kalut, Jason mengurus kepulangannya secara kilat.
Setelah adegan mengharu-biru di bandara tadi, kini Jason berada di dalam mobil yang mengantarnya bersama sang adik ke mansion orang tuanya. Di dalam mobil, Jason sibuk dengan ponselnya. Ia masih harus menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkannya. Meski begitu, ia tidak serta merta mengabaikan sekitarnya. Buktinya, ia tahu jika Jordan tengah menatapnya sejak beberapa saat lalu.
"Mengakui ketampananku?" ujar Jason tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel pintarnya.
Jordan tersenyum tipis. "Bukankah aku selalu mengatakan bahwa aku adalah penggemar nomor satu seorang Jason Adams? Melihatmu dari jarak sedekat ini membuatku tak percaya. Aku takut jika sedikit saja mengalihkan pandangan, kau akan menghilang, Kak."
Jason menghela napas panjang, lantas mengalihkan perhatiannya kepada Jordan. "Bukankah kita sering berkomunikasi? Jangan terlihat menyedihkan seperti itu."
"Rasanya berbeda," ujar Jordan lirih. "Lima belas tahun ternyata mengubah segalanya."
Tatapan Jason berubah sendu. "Lima belas tahun memang bukan waktu yang singkat hingga membuat semuanya berubah, kecuali satu, Ayah."
Hening. Tidak ada obrolan lagi di antara keduanya. Mereka seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Ayah merupakan topik sensitif bagi Jason. Keputusan besarnya untuk pergi dari rumah juga karena ayahnya. Entah apa yang akan terjadi jika ia bertemu ayahnya hari ini. Yang pasti, Jason belum siap bertemu pria paling keras kepala dan berhati dingin itu.
Jordan menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang. "Bunda sudah membaik?" tanya Jason mencoba mencairkan suasana. Tujuannya pulang adalah sang bunda. Jadi, memang tidak seharusnya ada topik pembicaraan selain bundanya.
"Nanti Kakak lihat saja sendiri," jawab Jordan menatap Jason sendu. "Ayah sedang ke luar kota jika itu yang Kakak cemaskan."
Jason tidak menanggapi. Ia hanya membuang pandangannya ke sisi jendela, melihat pemandangan jalan tanpa minat.
"Aku hanya ingin memastikan keadaan Bunda. Setelah itu, aku akan kembali."
"Kakak tidak tinggal?"
Pandangan Jason masih menerawang jauh ke pemandangan di sisi jendelanya. "Di sini bukan tempatku. Untuk apa aku tinggal?"
Jordan diam. Jujur saja, rasanya sakit mendengar pernyataan kakaknya. Kejadian waktu itu begitu membekas di ingatan sang kakak hingga membuatnya enggan pulang. Meski masih berkirim kabar dengan dirinya dan sang bunda, kakaknya itu benar-benar memutus kontak dengan sang ayah. Meski begitu, Jordan yakin jika ayahnya tidak sekejam itu. Diam-diam, ayahnya selalu mencari kabar tentang Jason dari orang kepercayaannya.
***
Tangan Jason terhenti sesaat sebelum membuka pintu mobil. Hatinya kembali ragu menatap mansion keluarga yang sudah lima belas tahun ia tinggalkan. Dadanya terasa sesak karena tiba-tiba kilasan masa lalu berkelebat begitu saja di benaknya. Keringat dingin mulai terlihat di pelipis dan lehernya. Sungguh, Jason tidak ingin ini terjadi. Ketakutan itu kembali terasa begitu nyata setelah ia kembali pulang.
"Kenapa, Kak? Kakak sakit?"
Jason mengangkat wajahnya. Ia tidak menyadari jika pintu mobilnya terbuka. Wajah cemas Jordan menyambutnya hingga membuatnya tergagap.
"Tidak apa-apa," kilah Jason. "Aku hanya belum terbiasa saja."
Jason keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Pria bersurai kecokelatan itu berusaha mengatur napasnya. Ia tidak ingin hari pertamanya pulang menjadi bencana karena tidak bisa mengatasi rasa panik.
"Bunda sedang di kamar, menunggu kedatangan Kakak."
Jason tidak menjawab ucapan Jordan. Ia juga mempercepat langkahnya, berusaha mengabaikan kasak-kusuk dan tatapan heran para pelayan. Jason masih hafal letak kamar bundanya. Ia pun meminta Jordan untuk tidak mengikutinya. Meski dengan berat hati, Jordan akhirnya menuruti keinginan kakaknya itu.
Jason berdiri di depan pintu lebar berwarna putih. Pria bersurai kecokelatan itu menghela napasnya perlahan untuk menenangkan diri. Setelah merasa keberaniannya kembali, Jason mulai membuka pintu besar itu perlahan. Pemandangan yang pertama Jason lihat adalah seorang wanita bersurai hitam tengah duduk memunggunginya menghadap jendela kamar yang terbuka.
Jason melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Ia pun memberanikan diri mendekati wanita bergaun putih yang seolah tengah menikmati angin sore yang menerobos masuk melalui jendela besar kamar. Jason meletakkan tangannya ke bahu wanita itu, mengabarkan eksistensinya.
Wanita paruh baya yang masih terlihat ayu di usianya sekarang itu, menengadahkan wajahnya ketika merasakan sentuhan Jason. Senyum cantiknya terbit ketika menatap pria tampan yang kini menjulang di sampingnya. Matanya sedikit berkaca-kaca. Bibirnya yang kering dan pucat memanggil nama yang sudah lama tidak ia temui. "Jason."
"Bunda." Sungguh hati Jason sakit melihat keadaan bundanya saat ini. Wanita yang dulu begitu b*******h dan selalu ceria, kini terlihat sangat rapuh dan tak berdaya. Jason berjongkok di hadapan bundanya untuk menyamakan posisi dan bisa menatap mata wanita yang telah melahirkannya itu. "Bunda ...."
Tangan rapuh itu menyentuh pipi Jason. Senyum lembut tak pernah luntur dari bibir pucatnya. "Kau pulang, Nak," ujarnya parau. "Bunda yakin kau pasti pulang."
"Bunda ... ." Jason mengutuk lidahnya yang kelu. Ia hanya bisa memanggil bundanya berkali-kali tanpa bisa mengatakan apapun.
"Bunda mohon jangan pergi lagi," ujar Bunda dengan air mata yang telah jatuh membasahi pipi tirusnya. "Bunda tidak kuat menahan kerinduan selama ini. Maafkan bunda, Nak. Bunda mohon maafkan kami."
Hati Jason sakit melihat deraian air mata bundanya. Jason sangat menyayangi wanita yang telah melahirkannya itu. Hati anak mana yang tidak tersentuh dengan permohonan memilukan ibunya?
"Tolong lepaskan Jason. Jangan sakiti Jason. Jason mohon!"
"Lepaskan? Kau akan kulepaskan setelah membayar semua dosa keluargamu!"
"Jason tidak bisa, Yah. Jason takut. Kenapa Ayah selalu memaksa Jason? Bukankah ada Jordan? Kenapa kami berbeda? Bukankah kami sama-sama anak Ayah?"
"Tidak ada musik lagi, Jason! Bukankah sudah Ayah katakan untuk tidak menyentuh atau memainkan biola ini?"
"Jason akan ke Amerika. Di sana Jason akan belajar musik. Jason janji akan membuat Ayah dan Bunda bangga."
"Baiklah. Setelah ini, jangan anggap kami sebagai keluargamu lagi."
Jason menarik rambutnya kuat-kuat. Kepalannya terasa sakit seolah ada ribuan paku yang ditancapkan di sana. Keringat dingin juga mulai keluar dari pelipisnya. Dadanya terasa sesak dengan napas yang memburu. Suara-suara dari masa lalu itu tiba-tiba kembali terdengar di kepalanya. Ingatan buruk yang coba ia kubur dalam-dalam kembali menyeruak dan membuatnya kesakitan. Bundanya yang melihat keanehan pada Jason langsung mendekap putranya itu ke dalam pelukannya. Ia tahu apa yang dialami Jason. Meski telah bertahun-tahun berlalu, ternyata Jason belum bisa lepas dari penderitaannya.
"Ada Bunda di sini," ujar Aira—bunda Jason—lembut, menenangkan putranya. "Jangan biarkan hati dan pikiranmu jatuh lagi. Jason adalah anak Bunda yang kuat."
Aira dapat merasakan jika putranya mulai tenang. Napasnya sudah tidak memburu seperti tadi dan tarikan pada rambutnya pun sudah ia lepaskan. Wanita cantik itu kembali mengusap punggung Jason sembari membisikkan kata-kata penenang.
"Bunda menyayangimu, Nak. Maafkan Bunda yang terlalu lemah hingga tidak bisa melindungimu. Setelah ini, Bunda berjanji akan melindungimu meski nyawa Bunda menjadi taruhannya," bisik Aira lembut sembari mengeratkan pelukannya.
***