PART 4
Seminggu berlalu dengan sangat cepat. Aku sudah berubah jabatan dari seorang staff administrasi pembelian menjadi sekretaris Hans. Sedangkan sekretarisnya yang sebelumnya telah dipindahkan ke kantor cabang.
Semua rekan kerja terkejut dengan pernikahan kami—karena kami tidak terlihat seperti orang yang berpacaran sebelumnya. Namun rentetan pertanyaan dari rekan-rekan kerja hanya kutanggapi dengan senyum tipis tanpa mau bercerita lebih banyak. Tentu saja alasan pernikahan ini menjadi rahasia kami berdua.
Seminggu menjadi istri Hans membuatku lebih mengenal kepribadiannya. Hans ternyata tidak sedingin dan se-workaholic yang dikatakan rekan-rekanku, atau yang kupikir selama ini. Sekarang ia sangat jarang lembur seperti dulu saat kami belum menikah.
Hingga hari ini, pernikahan kami bisa dibilang lancar. Sarapan bersama, mengobrol dan berbagi cerita. Dan tentu saja, bagian Hans meminta haknya sebagai suami tidak terlewatkan. Aku mengerti bahwa dia pria normal, dan sebagai istrinya, tidak lucu bila aku menolak, walau pada kenyataannya sampai saat ini tidak ada kata cinta yang terucap dari bibir kami.
Mungkin aku berharap terlalu banyak pada Hans bila mengharapkannya mencintaiku. Bagaimana mungkin aku bisa berbicara tentang cinta sedangkan usia pernikahan kami baru satu minggu? Kuakui, aku telah tertarik padanya sejak lama, mungkin sejak pertama kali aku melihatnya. Walau saat itu aku sudah berpacaran dengan Jose, aku tidak bisa mengenyahkan debar di dadaku setiap kali melihatnya. Sekarang, saat telah menjadi istrinya, rasa itu tumbuh semakin subur.
Aku melirik ponselku yang berkedip-kedip menandakan ada panggilan masuk.
Jose memanggil ...
Aku menghela napas bosan. Jose belum tahu bahwa aku sudah menikah karena aku tidak mengundangnya ke pesta pernikahanku. Dia juga tidak terlalu akrab dengan orangtuaku, itulah mengapa hingga saat ini dia tidak tahu perihal pernikahanku dam Hans. Selama kami berpacaran, Jose hampir tidak pernah ke rumah untuk mengobrol akrab dengan orangtuaku.
Sudah semingguan ini Jose terus mengajakku kembali. Tapi kembali bagaimana? Beberapa waktu lalu aku sangat mengharapkan ajakan berbaikan darinya, tapi sia-sia. Sekarang semuanya sudah tidak ada arti lagi. Aku sudah menikah dan tidak mungkin diam-diam selingkuh di belakang suamiku.
“Ada apa?”
Aku tersentak dan mengangkat wajah saat mendengar suara Hans. Secepat kilat aku menggeleng pelan sambil mengambil ponselku yang terus berkedip tanpa suara di atas meja, karena selama ini aku memang mengatur mode ponsel tanpa suara agar tidak berisik.
Hans mengerut kening sambil menatap tanganku yang sedang memegang ponsel.
“Siapa?” tanyanya ingin tahu.
Aku menggeleng kaku. “Teman.” Di dalam hati, aku berharap Hans tidak terus bertanya.
Akan tetapi harapanku sia-sia. Hans mengulurkan tangan untuk melihat ponselku.
Aku menggeleng pelan dengan wajah pucat. Aku tidak mau Hans salah paham, apalagi di ponselku Jose masih terus mengirim pesan padaku dengan panggilan “Sayang”.
Seketika kulihat wajah Hans berubah dingin saat aku masih berkeras tidak mau memberi ponselku padanya.
“Berikan padaku,” perintahnya dingin.
Dengan perut melilit menahan cemas, aku mengulur ponselku pada Hans. Dan seketika kilat amarah terpancar dari mata hitam itu. Napasnya memburu.
“Jose?” gumamnya tidak suka.
“Teman,” jawabku malas. Sungguh aku tidak suka bila Hans mulai posesif seperti ini. Aku menunduk, tidak kuat menatap wajahnya yang sudah berubah sangat dingin. Untung saja setelah menjadi sekretarisnya, aku punya ruang pribadi sendiri, yaitu sebuah ruangan yang bersebelahan dengan ruangannya. Jika masih bersama yang lain, pastinya malu sekali bila dilihat oleh mereka kami bersitegang seperti ini.
“Dia memanggilmu ‘Sayang’,” kata Hans dingin dengan nada tak suka.
Ia terlihat sibuk mengutak-atik ponselku. Bisa dipastikan dia sedang membaca pesan-pesan di ponselku.
“Hans ….”
“Aku akan membelikanmu ponsel baru.” Hans memasukkan ponselku ke dalam saku celananya.
Aku mendesah kesal. “Tapi, Hans ….”
Hans menatapku tajam. Aku menghela napas pendek. Sulit bernapas melihat sikap Hans yang tiba-tiba saja menjadi posesif seperti ini.
“Aku tidak suka istriku bermain di belakangku. Ini kali terakhir aku melihatmu berhubungan dengan pria lain.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hans meninggalkanku. Ia kembali ke ruangannya tanpa peduli bahwa aku tidak terima dia membawa pergi ponselku.
Aku menghela napas kesal. Ini keterlaluan. Menjadi istrinya bukan berarti harus dikekang seperti ini. Namun aku hanya bisa protes di dalam hati tanpa bisa bersuara.
Apa Hans segitu berwibawa hingga aku tak berkutik? Atau diam-diam dia sudah berhasil menaklukkanku?
***
bersambung ...
Follow i********:: Evathink