2

814 Words
PART 2   Aku menatap Hans dengan gelisah. Ia baru saja berpamitan pada kedua orangtuaku, dan sekarang sedang berdiri di depanku di teras rumah. Lidahku kelu untuk memulai obrolan dengannya. Masih terpampang jelas di benak, bagaimana dia dengan percaya diri melamarku pada kedua orangtuaku dan disambut dengan sangat baik oleh Mama, yang pastinya tahu bahwa calon menantunya ini orang kaya dari mobil mewah yang dikendarainya. Sedangkan Papa memilih bersikap biasa-biasa saja. “Pak …, saya rasa ….” Hans mengangkat sebelah alis dan menatapku tanpa berkedip membuatku serba salah. Aku ingin membatalkan semua ini. Tadinya aku menerima tawarannya karena berpikir kami akan melakukan pendekatan lebih dulu. Tapi siapa sangka, Hans langsung melamar pada orangtuaku. Dan Mama, tanpa berpikir panjang, menyetujui begitu saja permintaan Hans agar kami menikah dua minggu lagi. Sungguh ini sangat gila dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi istri dari pria yang selama ini kukenal sebagai atasanku? Aku tak habis pikir, apa yang membuat Hans melakukannya? Dia sama sekali belum mengenal kepribadianku, tapi sudah dengan sangat yakin ingin menjadikanku istrinya. Lagi pula, bukankah pria tampan dan kaya seperti dirinya sangat mudah untuk mendapatkan wanita mana pun? Kenapa memilih aku? Mungkin benar prasangka awalku saat membaca pesan itu, bahwa pengirimnya tidak waras. Pria waras tidak akan melakukan hal seperti ini, bukan? “Saya …, saya rasa ….” “Aku pulang dulu, Vin, pernikahan kita akan dilangsungkan dua minggu lagi, siapkan dirimu,” tukas Hans lembut tapi tegas. Aku terpaku. Aku ingin membatalkankan rencana pernikahan ini, tapi bagaimana mengatakannya? Mungkin kali ini aku harus menyesal dengan sikap terburu-buruku. Hanya karena desakan Mama, aku buru-buru mencari calon suami, bahkan berani menerima tawaran pria yang kuterima lewat pesan tak jelas di akun sosial media yang ternyata pengirimnya atasanku sendiri. Seketika wajahku memanas saat merasaan sapuan hangat di sudut bibirku. Lamunanku buyar. Hans tersenyum tipis setelah mencium sudut bibirku. Tanpa bersuara ia berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Dan aku, dengan jantung yang berdegup dua kali lebih cepat, terdiam dan terpaku, hanya bisa menatapnya sambil meraba sudut bibirku yang dicium olehnya tadi.   ***   Aku menjejakkan kaki mungilku yang beralas sepatu hak tinggi ke lantai gedung perusahaan Hans Stefanus Vlenzo, calon suamiku. Dengan semangat yang sudah menurun sampai tingkat terendah, aku berjalan menuju meja kerjaku. Sudah enam bulan aku berkerja di perusahaan yang bergerak di bidang distribusi segala jenis sembako ini. Aku menghenyakkan b****g di kursi empuk kantor, menyimpan tasku ke dalam laci yang ada di bawah meja, lalu memijit kecil kepala yang terasa berat dan berdenyut-denyut. Tadi malam bisa dibilang aku hanya tidur beberapa jam saja. Frustrasi memikirkan pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi. Mungkin bila aku menikah dengan pria yang telah berpacaran denganku selama bertahun-tahun, aku akan senang sekali. Namun kenyaataannya, dua minggu lagi aku akan menjadi istri dari pria yang selama ini bahkan hampir tidak pernah berbicara denganku. Aku selalu berusaha menghindar bila melihatnya sedang lewat di koridor menuju ruangannya. Bukan karena aku takut, tapi sejak awal melihatnya enam bulan lalu, dadaku selalu bergemuruh. Adrenalinku berpacu bila mencium wangi parfumnya yang sangat menggoda. Lamunanku buyar saat mendengar suara rekan-rakanku memberi sapaan selamat pagi. Sesosok tampan dan gagah berjalan di koridor menuju ruangannya. Saat melewatiku, dia menoleh tapi tidak tersenyum. Wajahnya datar dan cenderung dingin. Tiba-tiba saja wangi parfumnya menyeruak masuk ke rongga hidungku, memacu jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Aku tersenyum kecut. Ternyata, hingga hari ini, efek wangi parfumnya padaku sama sekali tidak berubah. Jantungku masih saja setia berolahraga saat menghidunya. Pria yang baru saja berlalu itu begitu tampan dan memesona. Dia Hans Stefanus Vlenzo, calon suamiku. Ya. Calon suamiku. Dua minggu lagi aku akan di-stempel sebagai Vinsa Vlenzo. Mungkin mulai sekarang aku harus menyiapkan jantungku untuk terus menerima kejutan. Setelah kejutan lamaran Hans yang tanpa meminta pendapatku lebih dulu, tadi pagi aku dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang terpakir rapi di halaman rumah lengkap dengan sopirnya. Ternyata Hans mengirim sopir untuk menjemput dan mengantarku pergi dan pulang kerja, atau ke mana saja. Rasanya aneh sekali. Apa Hans tidak berpikir tindakannya akan mengudang pemikiran negatif dari rekan kerjaku? Aku hanya seorang staf administrasi, bukan anak orang kaya. Aku jelas tidak mampu membeli mobil mewah dan menggaji sopir. Aku menolak ikut dengan Pak Ucup, sopir yang dikirim Hans. Namun Pak Ucup berkeras aku harus ikut dengannya atau ia akan dimarahi Hans. Karena tidak mau menyulitkan pria paruh baya itu, akhirnya aku menurut. Mungkin seharusnya aku tidak perlu berlebihan memikirkan tanggapan rekan kerjaku, bukankah dua minggu lagi, semua akan tahu tentang pernikahan kami? Semua pasti akan terkejut karena selama ini di kantor, kami bahkan tidak pernah bertegur sapa. Aku melirik punggung Hans yang sudah hilang ke dalam ruang kerjanya yang mewah. Aku tahu, dari dinding ruangannya yang tembus pandang satu sisi dari ruangannya, dia bisa bebas melihatku dari dalam sana. Aku segera membuang muka untuk menatap laptop dan bersiap untuk bekerja. Tidak mau dipergoki kalau sedang memerhatikannya.   ***   bersambung ... Follow i********:: Evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD