1

949 Words
PART 1   “Vinsa, umurmu sudah dua puluh tiga tahun, kapan lagi mau menikah?” Terdengar suara Mama menggema ke seluruh penjuru rumah. Aku menguap dan duduk di sofa di depan TV tanpa sempat mencuci muka lebih dulu. Di pagi Minggu yang cerah ini, saat baru bangun tidur, aku sudah diserang dengan pertanyaan yang satu itu, pertanyaan yang dalam setengah tahun ini sudah hampir seribu kali kudengar. Ah, ini kedengaran berlebihan. Tidak sampai seribu kali. Namun bagaimana jika setiap Minggu pagi, aku terus-menerus dihadapkan dengan pertanyaan itu? Rasanya membosankan dan membuatku stres tingkat tinggi. Umurku baru dua puluh tiga tahun, masih terlalu muda untuk menikah, tapi Mama selalu menganggap usiaku ini sudah terlalu tua, katanya, dulu, di usia Mama yang seumuranku, aku dan adikku sudah lahir. Uff …. Itu kan dulu .… Mama masih saja berpikiran kuno seperti itu, padahal zaman sudah modern. Tadinya aku sudah cukup lega karena Jose melamarku. Itu artinya impian Mama akan segera terwujud. Akan tetapi mimpi tinggalah mimpi. Sekarang aku harus kembali pusing oleh desakan Mama. Haruskah kukatakan pada Mama, calon tunggalku telah menendangku? “Vinsa!” Lamunanku buyar saat merasakan tepukan Mama di pahaku. “Jadi kapan mau menikah? Kalau pacarmu tidak serius, Mama ada banyak calon untukmu,” kata Mama dengan mata berbinar. Oh tidak! Jangan sampai itu terjadi! Aku tahu siapa calon-calon yang Mama maksud itu. Paling si Joko, anak Tante Yati yang kerjanya jualan ikan di pasar. Kata Mama walau tampangnya pas-pasan, tapi uangnya banyak. Ah, mana mungkin gadis muda secantik diriku mau sama Si Joko yang lebih mirip om-om daripada anak muda yang penuh gaya. Atau bisa juga anak Om Arto yang sangat pintar menggombal dan selalu pamer kekayaan orang tuanya tanpa mau bekerja. Atau Si A, Si B, C, D …. Ah bikin pusing. Tentu saja aku tidak mau. “Vinsa sudah ada calon, Ma,” tukasku cepat sebelum Mama mengambil keputusan sepihak. Mata Mama langsung berbinar senang. “Ayo, ajak ke rumah, kenalkan pada Mama dan Papa. Sekalian cepat suruh dia melamar. Mama sudah tidak sabar melihatmu menikah.” Mendengar rentetan kalimat Mama yang panjang lebar dengan wajah berseri membuatku hampir menjerit frustrasi. Mengapa harus secepat ini? Aku tidak punya calon sama sekali. Aku dan Jose sudah putus. Dan tadi aku hanya berbohong agar Mama tidak menjodohkanku dengan pilihannya. Namun kebohongan ini sepertinya akan menjadi bencana untukku. Tidak lama kemudian Papa muncul sambil membawa satu kantong kresek di tangan, yang kutahu pasti, kantongan itu pasti berisi kue-kue untuk sarapan. Melihat Papa, Mama langsung euforia bercerita bahwa aku sudah punya calon suami. Rasanya saat ini juga aku ingin pingsan agar tidak mendengar suara Mama yang terdengar menggebu-gebu. Akhirnya, karena tak kunjung pingsan, aku memilih bangkit dan kabur ke kamar mandi. Meninggalkan Mama dan Papa yang bercerita dengan heboh. Sebenarnya Papa tidak seheboh Mama. Papa selalu bersikap santai dan tenang,  berbeda sekali dengan Mama yang menurutku selalu berlebihan.   ***   Dua minggu telah berlalu dengan cepat. Tidak seperti biasanya, hingga hari ini, Jose sama sekali tidak mengajakku berbaikan. Akhirnya karena pusing mencari calon suami dalam waktu singkat seperti ini, aku memilih untuk menerima tawaran Si Prince Charming untuk mengisi lowongan menjadi istrinya. Seorang pria yang katanya sudah berusia tiga puluh satu tahun. Mungkin aku terbilang terlalu nekad. Bagaimana mungkin aku memilih pria yang sama sekali tidak kukenal untuk menjadi calon suamiku dan dikenalkan pada kedua orangtuaku? Pasti waktu mengambil keputusan ini, akal sehatku benar-benar sudah tidak berfungsi. Sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat wajah dan menatap mobil sport mewah berwarna putih yang telah terparkir rapi di halaman. Dadaku tiba-tiba saja berdebar. Sejak tadi aku duduk di teras menunggunya. Setelah melakukan pembicaraan dan persetujuan dengan Si Prince Charming lewat ponsel, aku memberinya alamat rumahku. Dan di sinilah dia sekarang. Aku yakin yang ada di dalam mobil itu dia. Karena selama ini aku tidak pernah punya teman yang memiliki mobil semewah itu. Seketika wajahku terasa panas dan jantungku berdegub kencang tatkala seorang pria berperawakan tinggi besar dengan kulit sedikit gelap, keluar dari mobil itu. Hidungnya mancung mencuat dengan sepasang alis tebal yang sangat rapi yang membuat wajahnya makin terlihat sempurna. Sedangkan kedua matanya masih bersembunyi di balik kacamata hitam. Aku yang sedari tadi duduk di teras sontak berdiri dengan kaki gemetar. Jadi dia Prince Charming itu? Tampan dan sangat memesona. Seketika rasa gugup menyelimutiku. Aku bingung harus bersikap bagaimana? Tetap diam atau menyapanya dengan senyum manis? Aku menggigit bibir dan menggerutu dalam hati saat menyadari satu hal yang sangat vital, aku tidak tahu namanya. Bukan tidak bertanya, tapi dia yang tidak mau menjawabnya. Dia melangkah mendekatiku membuat jantungku hampir melompat keluar …. Dan aku hampir pingsan di tempat saat ia berdiri tepat di depan mataku dan melepas kacamatanya …. Dia, Hans Stefanus Vlenzo, CEO perusahaan tempatku bekerja. Pria yang selama ini sangat dikenal sebagai pria workaholic …. Aku menelan ludah yang terasa sepahit empedu. Rasanya aku ingin kabur dan bersembunyi saat ini juga, tidak sanggup bertatap muka dengannya. Aku tak ingin menikah dengannya. Bagaimana mungkin aku menjadikan pria dingin ini sebagai calon suamiku? Aku berani mengatakan dia dingin karena selama ini dia hampir tidak pernah bertegur sapa dengan bawahannya. “Malam, Vinsa,” sapanya lembut dan pelan. Dan aku benar-benar hampir pingsan. Aku bahkan sudah tidak bisa bernapas. Dia begitu dekat. Wangi parfumnya begitu menggoda …, aku …, tolong …. “Sudah siap untuk menjadi istriku?” Kali ini jantungku benar-benar keluar dari tempatnya. Napasku terasa berhenti. Suaranya …. selama ini aku hampir tidak pernah mendengar suaranya karena pekerjaanku yang hanya sebagai staf administrasi, sangat jarang berhubungan langsung dengan bos besar. Dan belum sempat aku mengeluarkan suara dari bibirku yang gemetar, Mama keluar dan langsung tersenyum lebar menyambut calon menantunya.   *** bersambung ... Follow i********:: Evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD