Part 7

889 Words
"Gue..." Devan semakin mendekati Fanya sampai dia tidak memberikan space sedikitpun untuk Fanya. Perasaan Fanya semakin menjadi-jadi, dia takut Devan hilang kendali karena sekarang taman sekolah sangatlah sepi. Fanya mulai berani buka suara. "STOP!" Teriak nya geram lalu mendorong tubuh Devan hingga dia hampir tersungkur. "Gue ga dapet jaketnya." Ucapnya sinis. Devan tersenyum tanpa melihat Fanya. "Dasar Modus! " "Bilang aja kalo lo mau terus deket sama gue kan?" Umpat Devan. "Hah? Sorry lo bilang apa tadi? Gue modus?" "Haha, yang ada jijik gua sama lo!" Tukas Fanya pedas sambil menunjuk jari telunjuk nya ke hadapan muka Devan. "Sekarang lo mau apa hah? gue males lama-lama disini bareng cowok songong kaya..."  "Selama seminggu ini lo harus kerjain semua pr gue tanpa cacat sedikitpun." Balas nya cepat. Cowok gila! "Tapikan lo itu kel..."  ucapnya terpotong lagi. "Sayang nya, gue ga mau dengar penolakan dari lo." Ucap Devan lalu pergi dengan santainya meninggalkan Fanya. Fanya berdecak kesal. Menggeram sejadi-jadinya.Tadi itu benar benar mimpi buruk yang tak seharusnya terjadi. Fanya berjalan gontai untuk menuju kelasnya. Setelah tidak melihat punggung Devan di hadapannya lagi. Di sepanjang jalan melewati koridor sekolah tak henti-hentinya dia merutuki nasib nya yang sial itu. Sampai-sampai ia tak merasa dari tadi dia sudah menendang apapun yang ia temui. "Ini sepatu lo bukan?" Tanya seseorang pada Fanya sembari membawa sepatu pantofel tanpa tali. Fanya tersadar, lalu menundukkan wajahnya untuk melihat kakinya. Ternyata benar saja, itu adalah sepatu nya. Tapi mengapa sepatunya bisa sampai ikut-ikutan terbang si? Ah.. Bodoh. Fanya malu sekarang. "Ehh, iya itu sepatu gue. Thanks ya" balas nya menahan malu, lalu mengambil sepatu kanannya yang ada di tangan seseorang itu. "Iya sama-sama, ngomong-ngomong lo siapa?" Tanya lelaki itu. "Fanya." Balas Fanya. "Oh... Gue Fareen." balas Fareen tersenyum yang memperlihatkan deretan gigi putih nya. Fareen yang melihat Fanya hanya bengong tak menanggapi nya pun langsung buka suara lagi. "Lo kelas berapa Fanya?"Tanya Fareen lagi "Fanya?" "Ehh iya, gue kelas 10 IPA 3." "Gue ke kelas duluan ya. Bye." Balas Fanya sambil melambaikan tangannya sekilas. ****** 3 jam pelajaran terakhir yang dihabiskan murid di kelas 10 IPA 3 untuk mendengarkan penjelasan guru berlalu begitu membosankan Sampai akhir nya jam pelajaran berakhir, Fanya tak sengaja beradu pandang dengan lelaki yang ia temui tadi di koridor sekolah. Lelaki itu melangkah dengan cepat menuju kearah nya. "Eh, lo Fanya yang tadi kan?" Tanya Fareen, yang sudah ada dihadapan Fanya. "Iya." Nada yang ada di pinggir  Fanya berdecak kesal. Rasanya sekarang dia seperti kambing conge yang terabaikan. "Lo sekarang pulang bareng siapa?" Tanya Fareen. Fanya melirik kearah Nada, untuk  mengisyaratkan agar sahabatnya itu pulang duluan. "Gue" "Fanya pulang bareng gue." Sambar seseorang, yang langsung mencengkeram tangan mungil Fanya dan membawa nya secara paksa. Fanya sudah tahu bahwa itu adalah Devan, orang yang pertama Fanya sangka adalah orang baik karena sudah mengembalikkan earphonenya yang jatuh saat itu.  Fanya hanya pasrah, dan dia menatap kearah Fareen, sebagai isyarat meminta maaf. Fareen mengerti, diapun akhirnya mengalah karena percuma saja dia mencegah Devan yang dikenal sebagai cowok yang sangat keras kepala itu. Yaa meskipun Devan itu dikenal seantero sekolah sebagai murid yang cerdas tapi tetap saja Devan ya Devan. Tidak ada yang berani menentang Devan karena jika ada salah satu yang berani mereka akan menanggung akibatnya sendiri. "Lepasin gua, tangan gua sakit bodoh!" Teriak nya sambil berusaha melepaskan cengkraman Devan. "Lo kecentilan banget si jadi cewek! Udah tau seminggu ini lo bakal jadi babu gua! Masih aja deketin cowok lain, mau ngadu lo? Hahh?" Tanya Devan bertubi-tubi, dan tidak melepaskan cengkraman nya itu. "EMANG SIAPA YANG BILANG GUA MAU JADI BABU LO?" Fanya mengomel sejadi-jadinya, dia sangat marah sekarang sampai tidak bisa mengontrol emosi nya yang sudah sampai puncak itu. Fanya tak perduli jika sekarang dia sedang di perhatikan oleh murid- murid yang berlalu lalang di parkiran sekolahnya. "GUA NYESEL NERIMA JAKET YANG LO PINJEMIN BUAT GUA ITU! GUA BENCI SAMA LO DEVANN!!!!!" Fanya sangat marah, matanya memerah dan muka nya memanas, dia berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya karena dia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang lemah. "Udah ngomel nya?" Balas Devan singkat. Fanya masih mengatur napasnya yang masih  memburu, karena tadi dia berbicara dengan suara beroktav tinggi. Kemudian dia menyingkirkan telunjuk Devan dengan kasar. "Lo ga cape dari tadi marah-marah?" devan bertanya dengan tampang polos. Fanya menatap Devan sangat tajam. "Lo laper ga?" Tanya Devan lagi "Lo emang udah gila." Ejek Fanya. "Gua mau pulang! Minggir Lo!" Ketusnya sambil menyingkirkan badan Devan yang besar itu dihadapan nya. "Tadi gue kan udah bilang, sekarang lo pulang bareng gua." Fanya tidak menghiraukan perkataan Devan. "Fanyaa!" Teriaknya. Fanya tetap tidak menghiraukan Devan yang memanggil namanya. Seolah-olah sekarang telinga Fanya sedang tidak bisa mendengar. Devan mencegah Fanya dengan langsung memakai helm nya dan menaiki motornya untuk mengejar Fanya yang sudah lumayan jauh darinya. Setelah jarak nya yang lumayan dekat dengan Fanya, akhirnya Devan turun dari motornya untuk membujuk Fanya agar segera naik kemotor Devan. "Buruan naik udah mau hujan" titah Devan. "Gausah munafik, lo takut kan kalo pulang sendiri?" Fanya kembali menatap mata Devan sinis. Bagaimana dia tahu kalo Fanya selalu takut untuk pulang sendiri, apalagi dengan keadaan langit yang sudah gelap. Mengerikan! "Gausah kebanyakan mikir, cepet naik" titahnya lagi. Meskipun malu, mau tak mau Fanya harus menerima ajakan Devan, karena dia sangat takut jika harus pulang sendiri. Setelah Fanya menaiki motor, Devan dengan sengaja menggas motor nya dengan kecepatan diatas rata-rata, reflek saja tangan Fanya langsung melingkari pinggang Devan dan Fanya menenggelamkan wajahnya ke punggung Devan saking takutnya. Devan yang sedari tadi memperhatikan tingkah lucu Fanya melalui kaca spion nya hanya tersenyum geli karena Fanya sangat menggemaskan sekali. "Rasa itu hadir lagi Fan." Batin Devan yang tanpa Fanya sadari dia sudah mengukir senyuman tipis nan tulus, yang baru lagi Devan tampilkan di kehidupannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD