Pertandingan pada babak pertama telah selesai, kedudukan sementara ini SMA Harapan Bangsa lah yang memimpin dengan perbedaan point yang sangat tipis. Masing-masing tim pun kembali pada coach untuk pemberian arahan mengenai strategi yang akan dimainkan pada babak berikutnya. Di sisi lain, Devan selaku leader pada tim basket di sekolahnya itu tiba-tiba meminta izin pada coach nya untuk pergi ke kamar mandi dan diizinkan dengan syarat harus kembal lagi tepat waktu.
Devan berjalan dengan langkah kaki panjang agar segera sampai, keadaan koridor sekolah saat ini sangatlah sepi, karena memang semua murid sedang menonton pertandingan basket . Devan sangat menikmati keadaan sunyi ini. Namun dari arah berlawanan ada seorang perempuan yang membuat Devan menghentikan langkahnya. Devan mengenali perempuan itu. Ya, sangat. Bahkan cara perempuan itu berjalan pun Devan tahu.
Devan mematung, kakinya mendadak kaku. Degupan jantungnya sangat tak teratur. Devan diam, menatap lekat lekat perempuan berambut panjang yang sedang berjalan. Saat perempuan itu sudah dekat, Devan berusaha untuk menormalkan kembali dirinya. Tak mungkin juga jika ia terus diam seperti itu. Ah... rasanya kaki Devan sulit sekali untuk melangkah. Kini, perempuan itu sudah berada tepat di hadapan Devan dan melewatinya begitu saja tanpa ada satu patah kata pun yang perempuan itu ucapkan.
Devan kembali terdiam, ia menoleh ke belakang untuk melihat punggu perempuan itu lagi. Namun matanya tak sengaja menangkap benda berwarna biru langit itu tergeletak di lantai. Tanpa berpikir panjang Devan mengambilnya dan berlari ke arah perempuan tersebut.
"Tunggu." Teriak Devan. Perempuan itu menghentikan jalannya, karena di koridor sedang sepi, dan hanya ada mereka berdua saja yang melintas.
"Punya lo kan?" Tanya Devan sembari memberikan earphone berwarna biru langit.
Perempuan itu tampak kaget, dan langsung mengecek saku rok nya, dan ternyata memang benar itu adalah earphone miliknya. Dengan cepat perempuan itu mengambilnya dan kembali memasukkan ke dalam sakunya.
"Tadi jatuh. Mungkin pas lo ngambil handphone." Ujar Devan.
Lagi, perempuan itu tak menghiraukannya, ia lanjut jalan tanpa mengucapkan kata terimakasih.
Devan yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa diam sambil terus menatap punggung yang perlahan menghilang.
“Fanya. Makasih lo kembali. Meskipun dengan sifat yang jauh berbeda.” Lirih Devan.
***
“Prok...prok...prok...” suara tepuk tangan dan teriakan mendominasi di lapangan, saat pertandingan selesai dan berakhir dengan skor yang diperoleh SMA Harapan Bangsa jauh lebih tinggi dibanding lawan.
Tanpa aba aba, kaum perempuan langsung turun ke lapangan untuk sekedar mengerumuni Devan. Entah mereka meminta foto, mengucapkan selamat, memberikan minum bahkan sampai ada yang berusaha memeluk Devan. Memang selain tampan, Devan memilik banyak point plus yang membuat dia terkenal seantero sekolah.
Iwh, Fanya memutar bola matanya malas saat melihat beberapa perempuan yang berebut untuk memberikan Devan minuman, menjijikan sekali kelakuan mereka. Pikir Fanya.
Kini, Ia lebih memlih untuk tetap duduk di kursi tribun sambil mendengarkan lagu.
“Fanya. Ke sana yuk, minta foto sama Ka Devan.” Ajak Nada.
“Ga.”
“Ayolah plisssssss.”
“Gamau Nad. Udah lo aja.”
Nada mengerucutkan bibirnya kesal. “Yauda deh gue sendiri ke sananya, tapi janji ya lo stay di sini.” Fanya mengangguk sebagai jawaban.
Beberapa menit kemudian Nada kembali lagi dengan wajahnya yang ditekuk. Membuat Fanya menatapnya heran seolah bertanya ada apa.
“Fanya fotonya masa burem. Huaaaaaaaaaaaaa...” Rengek Nada.
“Yaudah minta fotbar aja lagi.” Fanya memberikan saran namun Nada semakin menekuk wajahnya.
“Lo ga liat apa itu rame banget. Huaaaaaaaaa...”
“Huaaaaaaaaaaaaa...”
“Berisik. Ikut gue.” Fanya menarik tangan Nada dan membawanya ke bawah.
Meskipun bingung, Nada tetap mengikuti arahan Fanya.
Ah, tak bisa dipercaya ternyata Fanya membawakan Nada ke hadapan Devan. Bak di film-film, Fanya sudah seperti artis papan atas yang kemampuan actingnya patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Fanya berhasil menyingkirkan banyaknya perempuan yang mengerumuni Devan dengan mudahnya.
“Misi, gue mau lewat.”Ujar Fanya sambil mengibaskan tangannya untuk menyingkirkan kerumunan itu.
“Lo Devan kan? Dia Nada, temen gue. Gue males denger dia nangis cuma gara gara pengen foto sama lo. Jadi gue ke sini mau fotoin lo sama temen gue.” Ujar Fanya sinis. Membuat beberapa perempuan di sana melong.
Sungguh, Nada masih tak percaya Fanya seberani itu. Bahkan Nada tak sadar saat Fanya menarik tangannya agar ia bisa pindah posisi di sebelah Devan.
“Senyum Nad.” Titah Fanya yang kini sedang memposisikan diri sebagai fotografer dadakan.
“Udah selesai. Balik kelas Nad.” Ucap Fanya lalu meninggalkan lapangan.
“Ka Devan makasih banyak. Maafin kelakuan Fanya ya ka.” Kata Nada pada Devan yang sedari tadi hanya diam membeku. Nada pun menyusul Fanya dengan berlari sambil meneriaki nama Fanya.
“Fan, yang tadi itu lo hebat banget. Gue sampe speechless.” Kata Nada, badannya condong ke wajah Fanya. Membuat si empu nya merasa risi.
“Gue ganyaman Nad, lo bisa agak jauhan ga?” Balas Fanya jutek. Otomatis Nada segera menjauhkan dirinya dari wajah Fanya.
“Hehehe, iya maafin gue ya.”
***
“Ko bapak yang jemput? Mamah kemana?” Tanya Fanya lewat kaca mobil yang terbuka pada supir mobil pribadi keluarganya yang bernama Burhan.
Burhan meggaruk tengkuknya yang tak gatal “Anu Non... Ibu Iren lagi ada urusan.” Balas Burhan.
“Duluan aja Pak, Fanya pulang sediri.” Ketusnya.
“Mmm... jangan Non, nanti Nyonya bisa bisa marah sama saya.” Keluh Burhan
“Bapak gausah khawatir, Fanya bakalan bilang ke mamah kalo Pak Burhan udah jemput Fanya dan Fanya udah di rumah.”
“Non Fanya, tidak baik berbohong seperti itu. Kalau Nyonya tahu, saya bisa dipecat.”
“Oh gampang, Fanya bisa pastiin kalo mamah ga bakalan bisa pecat bapak. Sekarang bapak bisa pergi.” Ucap Fanya kemudian berjalan menjauh dari kaca mobilnya.
“Non... Non Fanya...” Teriak Burhan, namun tak Fanya hiraukan. Fanya terus berjalan. Hingga akhirnya mobilnya sudah tak tampak lagi. Mungkin Burhan sudah menyerah dan menuruti Fanya untuk pergi.
“Argh...” Erang Fanya. Botol di hadapannya yang menjadi sasaran kekesalannya itu ia tendang dengan kencang.
“Bohong aja terus.”gerutunya.
Fanya yang masih berjalan dikejutkan dengan sebuah motor berwarna hitam yang tiba-tiba berhenti di sampingnya.
“Lo cewek yang tadi kan?” Ujar Laki-laki berhoodie merah maroon.
Fanya memutar mola matanya malas.
“Bisu?” Tanya Devan
“Eh gue lupa, tadi kan lo bisa ngomong.” Lanjut Devan.
Fanya masih tak menggubrisnya. Ia malah mengibas-ngibaskan tangannya karena cuaca sedang panas.
“Jago juga ya acting lo tadi, gue sampe speechless.” Sarkas Devan.
“Gue ga ngerti. Lo mau apa si?” Fanya kini membalasnya dengan nada ketus.
“Nah gitu dong nanya.” Sahut Devan diakhiri dengan kekehan. Ia membuka tasnya dan mengambi sesuatu dari dalam tas itu.
“Nih minum, liat tuh kening lo keringetan.” Kata Devan seraya memberikan minuman botol dingin.
“Gausah so perduli. Lo mau apa?”
Devan tertawa. “Lo tenang aja, niat gue baik ko. Tadi gue ga sengaja liat lo jalan sendiri yaudah gue berhenti.” Jelas Devan.
“Terus minuman ini? Oh gue tau, lo modus ngasih minuman yang udah lo campurin obat bius biar gue pingsan dan lo bisa culik gue kan?” Celoteh Fanya, meskipun dengan nada jutek ia terlihat sangat menggemaskan sekarang.
Devan kembali tertawa. “Hahahaha...”
“Di sini keliatan mana yang otak penjahat dan mana yang bukan.” Sarkas Devan lagi.
Fanya membuang napasnya kasar.
“Nih minum.” Devan kembali menyodorkan minuman itu namun Fanya tetap saja menolaknya.
“Gak. So baik banget si.” Tukas Fanya, kemudian melanjutkan perjalanan nya kembali untuk meninggalkan Devan.
Namun Fanya berhenti lagi karena Devan dengn motornya terus mengikuti Fanya. “Lo bisa ga si engga ngikutin gue terus?” kata Fanya menoleh dengan tatapan kesal.
“Lo nanya lagi?” Balas Devan,
“Menurut lo?”
“Lo lucu ya kalo lagi ngambek.” Goda Devan menyunggingkan senyumnya.
“Iya gue lucu. Lo gila.”
Devan terbahak “Hahaha... Bisa ngelawak juga ternyata.”
Karena kesal, Fanya menginjak kaki Devan yang Devan gunakan untuk menahan motornya dengan keras.
“Au...” Ringis Devan memperlihatkan ekspresinya yang merasa kesakitan.
“Sukurin lo.”
Ingin Devan tertawa sekarang juga, sejujurnya ia hanya pura-pura merasa kesakitan. Injakan kaki Fanya tadi tak berarti apa-apa baginya. Devan malah sering mendapatkan hal yang lebih dari itu.
“Pak kiri pak.” Teriak Fanya saat ada angkot yang melintas. Fanya dengan segera menaiki angkot tersebut.
“Fanya... Fanya...” Ucap Devan tersenyum, Ia mengikuti angkot yang dinaiki Fanya tadi dari belakang hingga Fanya turun di depan gerbang perumahan yang tak asing bagi Devan.
Saat Fanya berjalan untuk menuju rumahnya tanpa ia sadari Devan masih tetap mengikutinya. Hingga Fanya berhenti pada sebuah rumah bernomor 9 dan memasuki rumah tersebut.
Devan pun berhenti juga tak jauh dari rumah yang Fanya masuki.
”Nyampe juga.” Kata Fanya dengan suara kecil lalu menutup pintu kamarnya.
Tok...tok...tok...
“Arghh... Siapa lagi si?” Batinnya seraya mengacak rambutnya kesal kemudian bangkit dari tepat tidurnya untuk membuka pintu kamar.
Ya, orang yang mengetuk pintu adalah Iren, mamahnya.
“Kenapa?” Tanya Fanya dengan muka lesu.
“Tadi kenapa kamu nolak dijemput Pak Burhan?” Tanya Iren, membuat Fanya tambah kesal saja.
“Harusnya Fanya yang nanya, kenapa bukan mamah yang jemput Fanya tadi? Mamah ga lupa kan sama janji mamah tadi pagi?” Ujar Fanya tak mau kalah.
“Fanya, jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Fanya ga ngalihin mah, Fanya cuma nanya.”
“Mamah ada urusan lain, sayang.” Tangan Iren berusaha untuk membelai wajah anaknya itu namun dengan cepat Fanya menepisnya.
“Mamah tau mamah salah, mamah mohon sama kamu maafin mamah ya.”
“Sebelum mamah minta maaf juga udah Fanya maafin ko.”
“Fanya capek mah, nanti lagi ya. Fanya mau istirahat.” Ucap Fanya mengakhiri percakapan dan menutup pintu kamarnya.
Kini Fanya sudah berbaring lagi di spring bed queen size nya “Huft...”
“Gaada yang menarik. Semuanya sama aja.” Katanya sambil melihat langit lagit kamarnya.
Beberapa menit kemudian matanya tertutup, Fanya terlelap damai. Hembusan napasnya pun terdengar teratur.