Interupsi yang Elegan
Ruang VIP di lantai dua The Velvet Lounge dirancang untuk kerahasiaan. Kaca satu arah menghadap ke panggung utama di bawah, sementara dindingnya dilapisi peredam suara yang tebal. Namun malam ini, ketegangan di dalam ruangan itu terasa lebih pekat daripada asap cerutu yang menggantung di udara.
Oliver Armani duduk dengan kaki menyilang di sofa kulit hitam. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, namun matanya yang gelap memancarkan aura d******i yang membuat lawan bicaranya sulit bernapas. Di sisi kirinya, Erik tangan kanan sekaligus pengawal pribadinya, berdiri tegak seperti patung, tangannya bersiaga di balik jas, siap menarik senjata jika negosiasi berubah menjadi ancaman.
Di hadapan mereka duduk Mr. Russo, pemilik klub yang sedang mempresentasikan denah gudang bawah tanahnya dengan tangan gemetar.
"Seperti yang Anda lihat di dokumen, Tuan Armani," ujar Russo, suaranya sedikit tercekat. "Gudang penyimpanan minuman kami memiliki akses langsung ke lorong belakang. Truk pengiriman Anda bisa masuk tanpa terdeteksi CCTV jalan raya. Ini... ini lokasi yang sempurna untuk transit barang 'khusus' Anda sebelum disebar ke kota."
Oliver menyesap bourbon-nya perlahan, membiarkan cairan amber itu membakar tenggorokannya. Ia bosan. Bisnis ini membosankan. Orang-orang seperti Russo, serakah tapi penakut, selalu membuatnya muak.
"Persentasenya?" tanya Oliver datar.
"Ehm, saya mengajukan dua puluh persen dari total nilai barang yang transit," jawab Russo hati-hati.
Erik mendengus remeh. Oliver meletakkan gelasnya dengan denting keras yang membuat Russo terlonjak. Sebelum Oliver sempat membuka mulut untuk menjatuhkan mental mitra bisnisnya itu, suara musik mengalun menembus celah pintu balkon yang sedikit terbuka.
Bukan musik EDM bising yang biasa diputar di klub malam. Itu suara kontrabas yang dipetik dalam nada rendah, diikuti denting piano yang melankolis.
Lalu, seorang wanita mulai bernyanyi.
Oliver terdiam. Kalimat ancaman yang sudah ia siapkan tertahan di ujung lidah.
Suara itu berat, bertekstur velvet, dan memiliki kedalaman emosi yang ganjil. Wanita itu tidak bernyanyi dengan teknik pamer nada tinggi yang memekakkan telinga. Ia bernyanyi seolah sedang berbisik langsung ke telinga setiap orang di ruangan, menceritakan sebuah rahasia kelam yang indah.
"Erik," panggil Oliver tanpa menoleh. "Buka pintu balkonnya."
"Tapi Tuan, keamanan..."
"Buka."
Erik menurut. Pintu kaca digeser terbuka. Suara jazz itu kini memenuhi ruangan VIP sepenuhnya, menyingkirkan atmosfer bisnis kotor yang tadi mendominasi.
Oliver berdiri, berjalan perlahan menuju pagar kaca balkon, menatap ke bawah.
Di sana, di tengah panggung yang bermandikan cahaya sorot keemasan, berdiri Dalia. Ia mengenakan gaun malam emerald green berbahan satin yang jatuh sempurna di tubuhnya. Tidak ada kulit yang terlalu terekspos, namun caranya berdiri tegak, anggun, dengan dagu sedikit terangkat, memancarkan karisma yang jauh lebih memikat daripada sekadar sensualitas fisik.
Dalia tidak tersenyum genit. Ia memejamkan mata, memegang tiang mikrofon dengan satu tangan seolah itu adalah satu-satunya pegangan hidupnya, dan melantunkan lirik tentang cinta yang hilang.
"Siapa dia?" tanya Oliver, matanya terkunci pada sosok wanita itu.
Russo buru-buru menyusul ke balkon, tampak gugup karena fokus bisnisnya teralihkan.
"Oh, itu Dalia. Penyanyi tetap kami setiap Jumat malam. Dia... lumayan populer di kalangan tamu tua yang menyukai musik klasik."
"Dia bukan sekadar 'lumayan'," gumam Oliver, matanya menyipit, menganalisis setiap gerakan Dalia.
"Dia profesional. Lihat caranya menguasai panggung. Dia tidak meminta perhatian, dia mencurinya."
Russo tertawa canggung, berusaha mencairkan suasana. "Yah, dia memang aset yang bagus. Sayang sekali kehidupan pribadinya berantakan. Suaminya, Hudson, bekerja di firma akuntan di blok sebelah. Pria malang itu pecandu judi. Saya sering melihat Dalia menjemput suaminya yang mabuk di kasino seberang jalan dengan wajah lelah."
Informasi itu masuk ke telinga Oliver, namun ia tidak berkomentar. Ia hanya terus menonton sampai lagu berakhir.
Ketika Dalia selesai, ia membuka mata, memberikan senyum tipis yang sopan kepada penonton, membungkuk anggun, dan turun dari panggung.
"Kita lanjutkan negosiasinya, Tuan Armani?" tanya Russo penuh harap.
Oliver berbalik, kembali ke sofa. Wajahnya kembali dingin, namun ada kilatan baru di matanya. Rasa penasaran.
"Tinggalkan dokumennya di sini, Russo. Aku akan mempelajarinya," ujar Oliver. "Tapi aku belum bisa memutuskan malam ini."
"T-tapi Tuan..."
"Aku perlu memastikan keamanan tempat ini secara langsung," potong Oliver, beralasan. "Aku akan sering datang ke sini beberapa minggu ke depan. Untuk... observasi."
Erik melirik bosnya dengan alis terangkat, menyadari bahwa "observasi" yang dimaksud Oliver bukanlah soal gudang atau pintu belakang.
"Tentu! Tentu saja, Tuan Armani!" Russo mengangguk cepat, lega karena tidak ditolak mentah-mentah. "Anda bebas datang kapan saja. Meja VIP ini milik Anda."
"Bagus. Sekarang pergilah."
Setelah Russo keluar, Oliver memberi isyarat pada Erik. "Kita turun. Aku butuh minum di bar bawah."
"Di bar umum, Tuan?" Erik memastikan. "Itu berisiko."
"Hanya sebentar."
Mereka turun ke lantai dasar. Oliver duduk di bar yang permukaannya terbuat dari kayu mahoni gelap. Tak lama kemudian, sosok yang ia cari muncul.
Dalia berjalan mendekati bar, kini mengenakan selendang bulu palsu di bahunya untuk menahan dinginnya AC. Ia duduk dua kursi dari Oliver, memesan air mineral dengan irisan lemon.
Oliver mengamati dari samping. Dalia terlihat tenang, memeriksa ponselnya, lalu menghela napas panjang, satu-satunya tanda kelelahan yang ia tunjukkan.
Oliver memberi isyarat pada bartender untuk memberikan segelas champagne mahal pada wanita itu.
Saat gelas itu diletakkan di hadapan Dalia, wanita itu menoleh pada bartender. "Aku tidak memesan ini."
Bartender itu menunjuk Oliver dengan dagunya. "Dari Tuan di sana."
Dalia menoleh. Tatapan mereka bertemu. Oliver mengangkat gelas wiskinya sedikit sebagai salam. Ia menunggu wanita itu tersipu, atau tersenyum menggoda seperti wanita lain yang tahu siapa Oliver Armani.
Namun, Dalia justru mengambil gelas champagne itu, berjalan menghampiri Oliver, dan meletakkannya kembali di meja Oliver dengan gerakan pelan dan sopan.
"Terima kasih atas itikad baiknya, Tuan," ucap Dalia. Suaranya merdu, baku, dan sangat formal. "Tapi saya tidak minum alkohol saat sedang bekerja. Itu melanggar standar profesional saya."
Oliver menatap gelas yang dikembalikan itu, lalu menatap wajah Dalia. Dekat sekali. Ia bisa melihat riasan wajahnya yang sempurna, namun matanya menyiratkan dinding tebal yang tak tertembus.
"Satu gelas tidak akan merusak suaramu," ujar Oliver, menantang.
"Bukan soal suara, tapi soal prinsip," balas Dalia tenang, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang tidak mencapai mata. "Selamat malam, Tuan. Nikmati waktu Anda di The Velvet Lounge."
Tanpa menunggu balasan, Dalia mengangguk hormat, berbalik, dan berjalan pergi menuju ruang ganti.
Oliver terdiam. Ditolak. Dengan sopan santun yang begitu elegan hingga ia bahkan tidak bisa marah.
Erik yang berdiri di belakangnya berbisik, "Wanita yang angkuh."
Oliver tertawa pelan, suara tawa yang gelap. Ia mengambil gelas champagne yang tadi dikembalikan Dalia, lalu meminumnya sendiri.
"Bukan angkuh, Erik," koreksi Oliver, matanya menatap pintu ruang ganti yang kini tertutup rapat. "Dia berkelas. Dan itu... langka."
Oliver meletakkan gelas kosong itu dengan keras di meja.
"Siapkan jadwalku. Besok malam kita kembali lagi ke sini."
Erik menghela napas, tahu betul apa artinya. Bosnya sudah menemukan mainan baru yang menarik perhatiannya. Dan Oliver Armani tidak pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan.