Permulaan
Jacqueline Chase duduk di selnya, membungkuk di hadapan sebundel kertas. Selnya adalah penjara khusus dengan tempat tidur yang jauh lebih layak daripada penjara biasa, dengan toilet berdinding pemisah, dan sepasang meja dan kursi. Memang, tahanan yang telah diputuskan untuk dihukum mati diberikan kenyamanan lebih daripada tahanan biasa yang lepas dalam satu atau beberapa tahun. Sebuah kelayakan yang begitu ironi bagi Jacqueline, sama halnya dengan buket-buket bunga yang diantarkan saat pemakaman. Tidakkah seseorang lebih membutuhkan bunga-bunga itu saat mereka masih hidup daripada saat mereka sudah tak bernyawa? Apakah kematian hanyalah satu-satunya waktu bagi manusia untuk menunjukkan kebaikan dan rasa simpati?
Jacqueline tersenyum sinis memikirkan itu, sementara ia terus menggoreskan tinta pulpennya di atas kertas. Ia sudah menulis begitu banyak beberapa hari terakhir, sekitar empat puluhan halaman penuh tentang semua yang ia bisa susuri kembali dari kenangan hidupnya. Mungkin daripada kenangan hidup, tulisan ini berisi semua penipuan yang ia alami dan kesalahan yang ia perbuat. Ia sudah tidak punya harapan tentang keadilan, namun dia berharap keluh kesah dan kehancuran hatinya ini dibaca oleh orang terdekatnya. Satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini.
“Jackie,” panggil seorang sipir wanita dari luar jeruji. “Sudah saatnya.”
Jacqueline tersenyum sendu. “Maukah Anda menunggu sedikit lagi? Hanya lima menit?”
Sipir wanita itu mengangguk. “Baiklah.”
Dua-duanya kembali terdiam. Hanya goresan pulpen yang memecah kesunyian selama tiga menit itu. Lalu, terdengarlah bunyi kursi yang bergeser. Sipir itu menoleh.
Jackie berjalan ke arahnya dengan pasti, lalu menyerahkan bundelan kertas itu pada si sipir.
“Saya ingin meminta tolong pada Anda, sebuah permintaan terakhir.” Jackie menyodorkan kertas-kertas itu.
“Maukah Anda memberikan kertas-kertas ini pada seorang teman saya? Namanya tertera di halaman paling depan.”
Sipir itu mengarahkan bola matanya ke nama di kertas teratas. “Baiklah. Tapi saya tetap harus meminta izin resmi pada Inspektur Kepala Senior, Reginald Ross, agar permintaanmu dikabulkan. Tidak usah khawatir,” tambah sipir itu buru-buru, “Saya yakin Sir Ross akan mengabulkan permintaanmu.”
Jackie mengangguk, lalu mengikuti sang sipir wanita. Dua orang lainnya –keduanya lelaki—ikut bergabung dengan mereka menuju tempat eksekusi. Rupa-rupanya kedua sipir lelaki itu menunggu di dekat dinding luar, terhalang penglihatan Jackie. Saat rombongan itu berbelok ke kiri menuju lorong panjang, kepala polisi bertubuh besar yang awalnya tampak bercakap-cakap dengan seorang bawahannya lalu memisahkan diri dan ikut bergabung dengan mereka. Jackie bisa mendengar sipir wanita tadi membisiki beliau, yang dibalas anggukan. Tampaknya permintaan Jackie dikabulkan.
Semakin rombongan itu melewati lorong, suasana sepi, dingin dan penuh hawa putus asa, makin merasuki perasaan Jackie. Tenggorokannya sudah sama sekali kering. Tidak ada rasa sedih sedikitpun terbersit dalam hatinya, bahkan air mata pun tak ada. Rombongan itu memasuki sebuah pintu yang mengarah ke sebuah ruangan sempit, dengan dua pintu lain di sisi seberangnya.
“Ayo,” gamit sipir wanita, “Kami harus memeriksamu dulu, kalau-kalau ada senjata.”
Jackie memandang wanita itu sejenak, lalu menjawab dengan suara parau. “Anda tahu saya tidak punya apapun untuk menyerang.”
“Saya tahu,” jawabnya penuh simpati. “Ini hanya formalitas.”
Jackie menoleh sejenak pada sipir yang satunya lagi yang sama ibanya dengan sipir wanita tadi. Sang kepala polisi, sementara itu, menyimak percakapan ini dengan acuh tak acuh.
“Bapak Inspektur Ross,” kata Jackie memanggil si kepala polisi, hendak memastikan, “Apakah… apakah permintaan saya untuk menyampaikan pesan pada teman saya… dikabulkan?”
Yang dipanggil Inspektur Ross menghembus napas dengan tak sabar. “Ya, ya, tulisanmu itu akan aku berikan pada temanmu.”
Jackie menunduk. “Terimakasih.”
Sekali lagi tangan sipir wanita itu menyentuh bahu Jackie, menuntunnya pada salah satu pintu di sisi ruangan. Saat pintu itu membuka, tampak ruang kecil –ruang pemeriksaan. Di sana, pakaian Jackie akan ditanggalkan dan diperiksa seluruh tubuhnya.
Pemeriksaan tak berlangsung lama. Begitu mereka kembali ke ruang utama, rombongan memasuki pintu satu lagi di sisi ruangan tersebut.
Pintu menuju ruangan eksekusi.
Ruangan itu terbagi menjadi dua tempat yang dibatasi sekat cermin satu arah. Tempat pertama berada di sisi kanan, berisi monitor-monitor tanda vital dan alat pengukur detak jantung. Semua perangkat, masing-masing berukuran lebih dari tujuh belas inci itu terhubung melalui kabel-kabel yang menjulur ke tempat kedua di sisi kiri, yang hanya ditempati oleh satu-satunya benda – tempat tidur tipis yang pinggirannya mengikuti bentuk tubuh manusia. Ada bagian yang memanjang di kedua sisinya sebagai tempat merentangkan tangan. Di hampir seluruh bagian tempat tidur itu, terdapat sabuk-sabuk dan sebuah sensor elektroda.
Jackie dibaringkan di situ oleh sipir wanita. Kedua sipir lalu memasangkan sabuk ke sekeliling tubuh Jackie, sedangkan elektroda tepat dipasangkan di posisi jantung. Sebelum semua orang pergi meninggalkan ruangan itu, sang sipir wanita menyentuh lengan Jackie sedikit dengan lembut, menguatkan, yang dibalas Jackie dengan anggukan.
Seseorang berpakaian medis masuk ke tempat berbaring Jackie. Jackie sudah menguatkan hati. Ia memejamkan mata, menghirup udara. Udara yang selama ini tidak begitu ia hargai sampai akhirnya ia merasakan saat terakhir untuk menikmatinya.
Jackie sudah diberitahu sebelumnya bahwa akan ada tiga suntikan. Suntikan pertama adalah anestesi, kedua suntikan paralisis, dan ketiga adalah penghenti detak jantung. Jadi sebelum ia mati, ia sudah akan hilang kesadaran karena suntikan pertama.
Petugas medis itu meraba-raba lengan Jackie mencari posisi pembuluh intravena. Sesaat kemudian ia menempatkan suntikan pada posisi yang telah ia tandai dengan jempol, dan Jackie tahu itu saat terakhirnya. Saat terakhir ia menghirup napas yang sudah ia ikhlaskan.
Perlahan rasa sakit ketika cairan menembus kulit menyerang Jackie. Sementara cairan itu terus memasuki tubuhnya, otaknya bergejolak sibuk dengan pikiran-pikiran. Bagaimanapun takdir ia yang terima, ini bukanlah akhir hidup yang ia inginkan. Siapa yang ingin dihukum mati di dunia ini? Tidak ada. Lagipula ini bukan salahnya. Ia hanya korban dari kelalaian investigasi dan titik buta hukum dan bagaimanapun, keduanya mesti punya celah. Ia kesal pada hakim dan polisi, namun ia lebih kesal dan marah pada pengacara pembelanya.
Pengacara itu bisa saja mencoba meyakini pengaduannya tentang berbagai keanehan kecil itu, namun pengacara itu seakan mengabaikannya. Andai saja pengacaranya bersikeras untuk menyelidiki kesaksiannya dahulu.
Hanya karena ia tak ingin merusak citranya, Jackie geram dalam hati.
Dan ah, tentu saja lelaki itu tidak bisa dilupakan sebagai asal-muasal semua ini.
Ya, lelaki yang ‘itu’. Lelaki jahannam yang telah memulai neraka bagi kehidupannya. Jackie tidak tahu apakah karma memang benar-benar ada atau tidak, tapi bila punya kesempatan, Jackie sangat ingin menjadi orang yang membuat lelaki itu merasakan penderitaannya, atau bahkan yang lebih berat dari yang ia rasakan.
Dalam kemarahan yang mendadak itu, efek dari cairan anestesi mulai Jackie rasakan. Dari kejauhan ia bisa mendengar bunyi teratur berima dari alat pengukur detak jantung. Kebisingan otaknya mulai berkurang, digantikan oleh kelebat-kelebat lemah memorinya yang terus berpusar… Mungkin karena ia baru saja menuangkan ingatannya dalam kertas –seluruh ingatan yang ia miliki sejak tanggal itu.
***
8 Agustus, 2022.
Namaku Jacqueline Chase, seorang programmer di perusahaan teknologi yang cukup terkenal, dengan jabatan yang cukup baik, dan hari ini aku berjanji untuk pulang bersama dengan Roger Wright, pacarku, seperti hari-hari sebelumnya.
Jika kalian bertanya mengapa kami bisa pulang bersama, itu karena kami bekerja di perusahaan yang sama. Posisiku dan Roger sebenarnya sama –yaitu engineering manager—hanya saja kami berada di tim yang berbeda, karena saking banyaknya klien yang kami tangani dan mempercayakan kebutuhan teknologinya pada perusahaan kami, BlueMan Ltd. Kami memperoleh posisi tersebut bukan hanya dengan usaha minimal. Aku dan Roger sangat ahli di bagian pemrograman dan sudah beberapa kali ditunjuk memimpin tim temporer, sebelum akhirnya tim kami dijadikan tim yang permanen.
Sore itu, Roger memintaku untuk menunggunya di lobi bawah. Tidak seperti biasanya, karena pojokan dekat pintu lift sebenarnya adalah tempat pertemuan favorit kami. Aku duduk di sofa coklat empuk di lobi yang lapang sambil berbasa-basi dengan resepsionis dan satpam di situ. Beberapa bawahanku sudah lebih dulu keluar kantor, juga atasan-atasanku. Aku mengecek ponselku, lagi dan lagi tanpa alasan. Sebenarnya tidak ada alasan untuk menghubungi Roger ataupun menantikan notifikasi pesan darinya. Sekarang memang jam pulang, tanpa dihubungi pun ia akan turun sebentar lagi. Roger juga tak akan menyuruhku menunggu jika memang dia ada urusan penting atau lembur.
Terdengar bunyi gesekan besi halus diiringi denting lembut dari arah lift yang membuka. Roger dan Bryce –manager tim lain—keluar dari lift seraya berbincang dengan suara rendah. Mataku dan Bryce langsung bertumbukan, diiringi senyum bersahabat dari Bryce. Roger pun ikut menoleh.
Ah, ini dia, pangeran tampanku yang berambut coklat. Flynn Rider-ku. Yah, meskipun rambut pirangku tak sepanjang rambut Rapunzel.
Roger berlari kecil mendekat, diikuti Bryce.
“Hai, sudah lama?” tanya Roger dengan senyumnya yang memikat, seperti biasa.
“Belum,” sahutku pendek. Aku gugup untuk berbicara dengan kata-kata lovey-dovey saat bersama dengan orang lain, meskipun itu Bryce sekalipun. “Hai, Bryce!”
“Hai, Jackie!” balas Bryce riang. “Bagaimana kerjaan? Lancar?”
“Yeah, tried my best,” jawabku tersenyum tabah. Sebuah kode bahwa tekanan sedang bertumpuk di pundak tapi tidak bisa mengatakan secara blak-blakan karena kami masih di lingkungan kantor.
Aku, Roger, Bryce dan beberapa engineering manager lain punya ikatan khusus sejak dua tahun lalu Kami direkrut bersamaan, menjadi karyawan polos dan digosipi senior-senior dan staff untuk beberapa tahun, sebelum akhirnya satu-persatu kami dipromosikan ke jabatan sekarang pada waktu hampir bersamaan.
“Nah, kalau begitu aku tidak akan mengganggu quality time pasangan ini. Daah,” tandas Bryce secepat mungkin. Ia pun berlalu lewat pintu keluar.
“Kita akan kemana?” tanyaku langsung sembari mengangkat ponsel. “Tadi kamu bilang di chat, akan mengajakku ke suatu tempat?”
“Betul,” senyum Roger padaku, begitu perhatiannya tak lagi pada Bryce yang tergesa-gesa.
“Makan?”
“Ya! Seratus untuk Jackie-ku!”
Aku merengut kecewa. “Tapi kita memang ke tempat makan dulu setiap kali pulang bersama,” tuntutku. “Apa bedanya?”
“Ikut saja,” Roger terkekeh nakal seraya menuntunku menuju tempat parkir mobilnya. “Kau akan segera tahu, Sayang.”