Pelarian (2)

1337 Words
Sepuluh menit kemudian, Palupi berhasil melewati gerbang utama dengan cara merunduk sejajar dengan kursi. Sialan! Ini adalah adegan paling tidak nyaman yang dia lakukan sepuluh tahun terakhir. Bahkan saat tawuran, dia tidak kabur dengan cara konyol seperti ini. Sekarang, justru di hari pernikahannya, Palupi terpaksa melakukan semua trik tak menyenangkan. "Loe aman!" Lelaki itu berkata ringan, wajahnya masih datar. Palupi bangkit duduk kembali. "Apa loe punya tujuan?" tanya lelaki itu. Dia masih mengemudikan mobilnya dengan santai. Palupi linglung sekejap, kemudian menggeleng lemah. Tidak mungkin dia akan kembali ke rumah lamanya sekarang, bukan? Palupi sebelumnya tinggal di Bandung. Ia adalah seorang anak tiri dari istri kedua seorang pengusaha bernama Galang Pramudjoe. Meskipun ia hidup berlimpah materi, tetapi ia menjadi pihak yang dikucilkan dan tidak lagi dipedulikan setelah kepergian ibunya tiga tahun yang lalu. Itulah kenapa Palupi tidak tertarik kembali ke rumah lamanya. Untuk apa dia kembali ke tempat yang tidak pernah menerima? Selain itu, dia memiliki identitas lain. Sangat tak masuk akal jika ia kembali sebagai orang asing yang mengaku memiliki jiwa lain. Yang terburuk, ia akan dituduh penipu. Yang terbaik, ia akan dituduh gila. Semua kemungkinan itu tak ada yang berakhir baik. Palupi memiliki keyakinan tubuh sebelumnya telah meninggal. Dia jelas merasakan kesakitan itu, saat nyawanya dalam proses kematian. Jadi, dengan tebakan kasarnya, mungkin tubuhnya yang dulu sedang sibuk dimakamkan. Membayangkan dirinya dikubur di bawah tanah, mau tak mau membuat Palupi bergidik ngeri. Dia tak ingin melihat semua proses itu. Jika dirinya dikirim pergi ke tubuh ini, lantas bagaimana nasibnya jiwa tubuh ini? Mungkinkah ia menggantikan Palupi dalam kematian? Semua ini membuat Palupi pusing. Dia tak ingin memikirkan semua ini lebih jauh lagi. Otaknya masih belum bisa mencerna semua fakta. "Pinjemi gue duit, dong!" Palupi memelas. Dia kabur, tanpa uang, tanpa bekal, hanya mengandalkan tubuh berbalut gaun pengantin. Palupi tak ubahnya seperti gelandangan. Bagaimana dia bisa bertahan hidup? Palupi menatap gaun yang ia kenakan, mulai menaksir harganya. Dilihat dari desainnya sekilas, gaun ini jelas tak sembarangan. Jika dia ingin uang tambahan, dia bisa menjual baju ini. Tapi untuk menjual, dia butuh baju lain sebagai gantinya. Untuk mendapatkan baju lain, dia butuh uang dalam membelinya. Semua berhenti pada uang. Lingkaran setan memang. Apakah di dunia ini ada sesuatu yang bisa ia lakukan tanpa uang? Tidak ada. Dunia terlalu matrealistis sekarang. "Ambil!" Sam mengangsurkan dompet kulit miliknya, keningnya sedikit berkerut. Tanpa basa-basi, Palupi membuka dompet, mengambil sebagian besar isinya, dan mengenbalikannya lagi. Mudah sekali memalak laki-laki kaya. Kenapa tidak dari dulu dia begini. Pantas teman-temannya ada yang bersedia jadi simpanan om-om. Karena uangnya mengalir sederas sungai nil. "Apa loe punya simpenan?" Sam yang tiba-tiba mendapat pertanyaan ini, segera menginjak rem secara mendadak. Dia menoleh ke arah Palupi, benar-benar tak mengerti dengan wanita ini. Sepanjang pengetahuan Sam, Palupi adalah sosok anggun, berkarakter sempurna, dingin, memiliki harga diri tinggi, manipulatif, dan penuh intrik. Kenapa wanita di belakangnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia ingat? "Simpenan? Deposito?" tanya Sam, menebak-nebak ke mana arah tujuan Palupi menanyakan hal-hal seperti ini. Samar-samar, Palupi ingat hubungan keluarganya dengan Sam tidak bisa dikatakan baik. Mungkin Sam curiga pertanyaan darinya adalah sesuatu yang akan ia gunakan untuk melawan Sam di masa depan. "Simpenan wanita." "Nggak ada!" Apa wanita ini memancing pertanyaan hanya untuk menjatuhkan dirinya suatu hari nanti? Sam benar-benar tidak mengerti pemikiran Palupi. "Oh. Gue pikir loe punya simpenan. Om-om kan biasanya gitu. Pasti beruntung wanita itu karena loe seloyal ini dalam memberikan tuntutan finansial!" Palupi mengacungkan setumpuk uang yang ia ambil dari dompet Sam, tidak lagi perlu menghitung jumlahnya. Sepertinya ini cukup untuk hidup beberapa minggu. "Om-om?" Sam menunjuk dirinya sendiri. "Loe sekitar tiga puluh lima, kan?" Merujuk pada usia Palupi yang sebenarnya dua puluh tahun, apalagi identitasnya sebagai siswi SMA, tentu saja Sam masuk dalam kategori om-om. "Selisih kita hanya sekitar tujuh tahun. Tidak buruk untuk menjadi pasangan. Tertarik untuk menjadi pasangan?" Sam menaikkan salah satu alis, membuat wajah menawannya kian menonjol. "Pasangan?" Lupakan gagasan itu. Palupi tak siap jika harus masuk ke dalam skenario murahan. Dia baru saja keluar dari drama pernikahan. Dia tak ingin terseret masalah lain. "Seandainya rumor loe melarikan diri dari pernikahan meledak, dan gue dikaitkan, kira-kira, apa spekulasi orang-orang? Mereka akan beranggapan kita sepasang kekasih yang nggak direstui orang tua, karena latar belakang keluarga kita yang bermusuhan, dan akhirnya, memilih melarikan diri karena cinta kita terlalu besar untuk menyerah begitu saja. Ini akan jadi rumor yang romantis!" Palupi saat ini rasanya ingin membenturkan kepala keras-keras Jika sampai Sam berbicara, membuka suara, maka rumor yang akan beredar pasti akan seperti itu. "Sam!" "Hm?" "Loe nggak akan membuka suara, kan?" Palupi khawatir. "Gue tergoda!" Sam menemukan hal baru. Menggoda Palupi ternyata menyenangkan. Palupi yang ia kenal sebagai wanita manipulatif, ternyata memiliki sisi lain yang menarik. "Sam!" Palupi meradang. "Gue ada tempat kosong. Loe bisa pake!" Sam mengalihkan topik. "Oh. Bagus. Gue berhutang budi sama loe!" Palupi mengangguk, tak ingin menolak secara gegabah. Sam menghentikan mobilnya di salah satu rumah yang ada dalam kawasan Thamrin. Rumah ini sangat besar, dengan desain kontemporer. Halamannya luas, penuh rerumputan. Di depan gerbang, ada seorang secutity yang menjaga. Sepasang patung Zeus dipasang di sisi kanan kiri gerbang utama. "Apa ini yang dimaksud dengan tempat kosong? Ini rumah, Sam!" Palupi mengingatkan. Sam hanya tersenyum penuh arti. Dia membimbing Palupi memasuki ruang depan, tak memperhatikan keberatan yang tercetak kuat di wajah Palupi. "Ini rumah siapa, Sam?" Palupi mulai curiga. Dia hanya butuh kontrakan kecil untuk sementara. Tempat ini terlalu mewah dan tidak efektik. "Sam!" Seorang wanita paruh baya keluar dari ruang dalam, menatap kehadiran mereka dengan bingung. Wanita ini tampak anggun dan elegan, meski usianya jelas menua. Kecantikan dan auranya yang bak bangsawan tercetak jelas dari gestur tubuhnya. Rambut gelapnya dibiarkan tergerai, seperti arus sungai dengan mengalir lembut. "Ma!" Sam mengangguk sopan, menyapa ibunya. "Ini … siapa? Kenapa bawa wanita lain? " Wanita itu jelas bingung. Sebagai seorang ibu, melihat anaknya datang dengan wanita berpenampilan kusut, lengkap dengan gaun pengantin putih yang mewah, membuat pikirannya linglung untuk sesaat. Sam dan keluarganya sudah tinggal terpisah sejak sepuluh tahun yang lalu. Meski begitu, beberapa kali dalam setiap bulan, Sam akan rutin mengunjungi orang tuanya. Terakhir kunjungannya adalah tiga minggu yang lalu. Dihadapkan pada kunjungan tiba-tiba putranya dengan wanita asing, jelas membuat ibu Sam canggung. Wanita asing. Ya Tuhan. Tidakkah Sam ingat dengan posisi dan perannya? Bukankah seharusnya dia …. Tunggu. Jika dilihat lebih seksama lagi, sepertinya wajah ini tidak terlalu asing. Mungkin, entah di mana, mereka pernah bertemu dan bertukar sapa. Palupi mematung, mulai mendapat ingatan secara samar-samar. Wanita di depannya ini adalah Renata Ganendra, istri utama dari Djani Ganendra, seorang pengusaha kawakan dalam bidang perhotelan, tekstil, dan perbankan. Dia Nyonya Ganendra yang diagung-agungkan, yang juga merupakan ibu Samuel. Lingkaran sosial Palupi sebelumnya memungkinkan ia mengenal kaum kalangan atas. Meskipun hubungan mereka tidak dekat, tetapi setidaknya mereka saling mengenal karena identitas dan latar belakang mereka. "Kamu … bukannya Palupi?" Tante Renata linglung. "Halo, Tante … apa kabar? Tante sehat?" Palupi tersenyum lugu. Di sisinya, Sam berusaha menahan senyum. Hanya dia wanita yang baru saja kabur dari pernikahan, dibantu musuh keluarganya, dan kini, dibawa ke kediaman keluarga Ganendra, masih sempat berbasa-basi tentang kabar. Menjadi rahasia umum antara keluarga Ganendra dan keluarga Hadyan telah lama terjalin perang dingin. Mereka baik di permukaan, tetapi di belakang, saling mengumpulkan informasi untuk menghancurkan masing-masing kubu lawan. "Kamu … bukannya kamu menikah hari ini?" Renata jelas dipenuhi kebingungan. Kabar tentang pernikahan Palupi dan Devano sudah menjadi buah bibir dari beberapa waktu oleh media dan kaum kalangan atas. "Dia melarikan diri, Ma! Dia nggak punya tempat kabur, uang, dan identitas. Jadi lebih aman kalau aku bawa ke rumah ini. Mama pasti bisa menjaga dengan baik!" "Terimakasih, Sam. Sudah menjelaskan semuanya panjang lebar!" Palupi tersenyum cerah, tetapi matanya menunjukkan niat membunuh. Apa tujuan dari Sam membawanya ke sini? "Kamu … kabur?" Renata memegang dadanya, sepertinya psikisnya berhasil diguncang oleh kabar ini. "Iya, Tante. Ngomong-ngomong, saya mau pinjam kamar di sini selama beberapa hari, boleh kan? Satu lagi, Tante! Pinjam baju dong! Gaun ini bikin gerah!" Tante Renata ingin pingsan saat ini juga. Ada apa ini? …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD