3

1823 Words
Selamat membaca cerita saya. Angin teman Awan yang hampir setiap hari mendatanginya, memberikan keperluannya. Ia sangat senang Angin datang. Angin tidak kaku seperti Awan, Angin orang yang ceria, Angin juga mengetahui dari mana ia berasal. Awalnya angin sangat terkejut, tapi ia percaya. Angin bertanya apa kawan tahu dari mana dia berasal, saat ia mengangguk angin berteriak tak percaya. Angin bertanya apakah Awan tetap membiarkannya tinggal di sini meskipun awan tahu ia dari segenggam matahari, saat ia mengangguk Angin kembali tak percaya. Angin memberitahukannya bahwa Awan adalah orang yang realistis, orang yang tidak akan menerima sesuatu yang tidak bisa dicerna oleh akal sehat, tapi mengapa Awan masih membiarkan Cahaya tinggal di rumahnya?  Setelah Cahaya berpikir, mungkin saja Awan tidak mempercayainya, tapi Awan tidak membiarkannya pergi karena Awan tidak ingin ia tinggal bersama Langit. "Hai silau," sapa angin ceria.  Cahaya mengerutkan dahinya, silau? Siapa silau? Apa Angin baru saja merubah namanya? "Mataku selalu silau apabila terkena sinar cahaya matahari, begitu juga saat melihatmu, mataku juga silau saat melihatmu," jelas Angin tanpa diminta.  Cahaya melotot, tangannya berkacak pinggang, memasang wajah marah, tapi sebenarnya ia sangat senang karena Angin datang. Tidak mungkin dia marah hanya karena gurauan kecil dari Angin. Tangan Cahaya yang berkacak pinggang berubah, kini telunjuk kanan yang mengarah ke kepalanya, berpikir, ia tersenyum manis, tapi juga licik. "Tidak masalah kau memanggilku silau, karena aku juga akan mengganti namamu. Aku akan memanggilmu desau, simpel saja Desau Angin, cocok, bukan?" Angin mendesah kesal, Cahaya tertawa riang, detik kemudian Angin juga tertawa. "Dari mana kau dapatkan kata Desau?" Angin bertanya serius. "Dari televisi, kau tahu sekarang aku bahkan bisa hafal tempat-tempat wisata yang bahkan belum pernah kunjungi. " Angin tertawa, tapi tawanya berhenti saat handphone-nya berbunyi. Cahaya melirik, ia dapat melihat wajah Awan di handphone Angin, sebelum Angin pergi menjauh darinya. "Maaf, Cahaya. Aku harus pergi." Angin mengacak rambut Cahaya. "Anak perempuan di rumah ya, jangan mencoba kabur. Dan anak cowok bebas pergi ke mana pun yang dia mau. Selamat tinggal anak perempuan anak cowok mau pergi dulu."  Angin melambai ke arahnya yang cemberut. Kedatangan Angin begitu singkat, mereka bahkan belum bercerita. Ia mengepalkan tangannya, ia bertekad akan mencari cara untuk menghilangkan pelindung rumah. Ia mulai menyusuri setiap ruang lorong dan apa saja yang ada yang ada di rumah itu. *** Langit menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamar Bulan. Ia melangkah masuk menghampiri Bulan yang menatap kosong ke arah matahari senja yang ingin tenggelam kembali ke peraduannya. Rasa sesak tiba-tiba menghampirinya, kesedihan, kerapuhan dan bersalah mendadak mendatangi hatinya. Ia mendesah pelan, mengatur suaranya agar terdengar normal. "Bulan aku mohon, temui dokter itu, sekali saja,'' ucap Langit pelan. Hening, sunyi, sepi, Langit seperti berbicara pada hembusan angin yang lewat. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Bulan, bahkan Bulan tak memandang ke arah Langit, tatapannya masih tertuju pada matahari senja yang sama sekali tak menarik.  ''Aku tahu Bulan, aku bersalah, Aku yang membuatmu lumpuh, tapi ku mohon dengan sangat temui dokter itu. Kau masih bisa berjalan jika kau rajin berobat. " Langit berbicara dengan suara serak, menahan getaran hebat di dalam tubuhnya. Bulan masih sama, tidak berbicara, tidak bergerak sedikit pun bahkan tidak menoleh melihat Langit. Tatapan kosongnya masih tertuju pada matahari senja yang perlahan mulai tak kelihatan lagi. Langit mendesah pelan ia melangkah menggenggam tangan Bulan, kali ini Bulan bereaksi, ia menoleh menatap Langit dengan mata memerah dan berkaca-kaca.  Dan air bening itu jatuh perlahan ke pipi mulusnya. Bulan menghentakkan tangannya membuat genggaman Langit terlepas, dengan gerakan cepat ia memutar kursi rodanya, berjalan pergi meninggalkan Langit. "Aku menyayangi mu Bulan, sangat menyayangimu," ucap Langit dengan suara tertahan. Ia mengusap ujung matanya. Menghela napas panjang berharap sesak yang menimpanya hilang bersama Ahlan napasnya. Ia tahu ia bersalah, kesalahan yang tidak akan pernah dimaafkan oleh bulan tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melakukannya, ia benar-benar menyayangi bulan lebih dari apapun. *** Mengapa Awan mengurungku seperti ini! Padahal aku ingin menyentuh salju putih yang lembut dan halus. Padahal aku juga ingin pergi ke pantai melihat matahari terbenam, berlari di bibir pantai, padahal aku ingin melihat dunia luar. Aaaa .... Aku bisa gila. Bagaimana jika Awan mengurungku sampai aku mati, aku bahkan belum bertemu cinta sejatiku seperti di film-film. Awan tertawa kecil mendengar kalimat terakhir Cahaya, ia selalu mendengar keluhan-keluhan Cahaya setiap kali ia berada di rumah pohonnya. Diam-diam ia memasang perekam suara di kamar Cahaya, ia sengaja hanya ingin menyaksikan apakah Cahaya berniat mengetahui bagaimana cara agar menghilangkan pelindung rumah atau tidak. Seharusnya ia merasa sangat bersalah, mengurung Cahaya ibarat hewan peliharaan. Akhir-akhir ini ia sangat sibuk, menyusun skripsi kelulusannya. Mempelajari semua tentang perjalanan PT Rains, karena tidak lama lagi Mars akan pulang ke Amerika. Tinggal di sana bersama anak istrinya, Mars bilang ia rindu dengan Amerika. Negara kelahirannya.  Ia bahkan belum bisa menjumpai Cahaya, hanya memberikan keperluannya lantas menyuruh Angin mengantarnya. Awalnya Angin enggan dan banyak alasannya, tapi setelah Angin bertemu dengan Cahaya, Angin selalu bertanya kapan awan menyuruhnya lagi untuk bertemu Cahaya. Awan berdiri, bergegas ingin bertemu dengan Cahaya, lima hari ini ia libur. Ia akan mengajak Cahaya berjalan-jalan. Dengan cepat ia sampai, tadi ia memakai mobil flynya, ia membuka pelindung rumah dengan kodenya. ''Awan!'' Ia mendengar Cahaya berteriak dari balkon kamarnya, teriakannya terdengar gembira, tapi juga sebal. Dan ia harus menulikan telinganya nya. Pasti Cahaya akan memarahinya, ia melihat Cahaya berlari kecil ke arahnya, rambut hitamnya melambai-lambai diterpa angin. Gadis itu semakin cantik, kesana 'aneh' dan 'gila' dalam diri gadis itu saat mereka pertama kali bertemu seketika hilang. Cahaya melipat tangannya di depan d**a berdiri dengan wajah ceria, tapi juga kesal. "Kau... " Awan menutup kedua bibir Cahaya dengan jari jempol dan jari telunjuknya. "Aku tahu apa yang ingin kau katakan, nih pakailah dan berdandan yang cantik, kita akan pergi kemanapun, ke tempat yang ingin kau tuju."  Awan menyerahkan baju, high heels, juga tas sandang. Cahaya menerimanya dengan mata terbelalak tak percaya, ia terdiam mematung menatap Awan tanpa berkedip. "Cepat! Sebelum aku berubah pikiran." Cahaya tersentak seperti tersadar, tak perlu tiga detik ia telah berbalik dan berlari sambil berteriak kesenangan, Awan hanya tersenyum kecil melihatnya. *** ''Awan apakah aku sudah cantik?" Ia menghampiri Awan, berpose ala model di televisi, dengan cepat Awan menggelengkan kepalanya. Ia cemberut, ia sudah menghabiskan waktu 10 menit di depan cermin dan hasilnya Awan bilang dia belum cantik. ''Baiklah, aku berdandan lagi.'' Ia berbalik dan ingin melangkah, tapi Awan menahan pergelangan tangannya. "Wajahmu jelek dan tidak pernah cantik, meskipun kau berkutat dengan alat-alat make up selama 1 jam. Wajahmu tetap sama, jelek." Ia membuka mulutnya ingin membantah, tapi ia akan bilang apa ia tak tahu. Menghina wajah Awan sangat tidak pantas. Awan tampan, jadi apa yang harus ia katakan, tangannya ditarik, ia tersentak. ''Tempat Apa yang ingin kau datangi?" Awan bertanya saat mereka berada di mobil fly Awan. Ia tersadar, berhenti memikirkan bagaimana cara membuat dirinya terlihat cantik. "Aku tidak tahu tapi aku ingin melihat salju.'' Awan menatapnya dengan alis terangkat lalu menggangguk, mobil perlahan-lahan terbang di udara. Mata Cahaya melebar, ia kagum, apa ini yang dirasakan burung-burung itu? Terbang di udara, menakjubkan. '' Apa aku boleh membuka jendelanya?" Ia bertanya dengan riang. Awan menggeleng. "Kenapa?" Ia protes.  ''Nanti kau tidak bisa bernapas.'' Ia menggeleng tidak percaya, burung saja menikmati acara mereka terbang di udara, menghirup segarnya udara di atas. Mengapa Awan melarangnya? Dia membuka kaca mobilnya, melawan ucapan Awan. Angin kencang langsung menyerbu nya, membuatnya kewalahan dan cepat-cepat menutup kaca mobil. Awan benar, ia tidak bisa bernapas. Awan tertawa kecil dan menatapnya sinis. Seolah mengatakan 'rasakan! Itu balasan untuk orang yang tidak mendengarkanku.' Bosan berada di mobil. Ia menguap, mulai mengantuk. Tempat duduk yang ia tempati menjadi datar, muncul bantal dan guling. Juga selimut dan tempat duduk itu juga berubah menjadi sangat empuk. "Tidurlah, aku akan membangunkanmu nanti," ucap Awan. Ia tersenyum senang dan langsung berbaring. Menutup matanya perlahan dan tidak sabar saat ia terbangun melihat tempat indah yang menakjubkan. Benar-benar kejutan kehadiran Awan secara tiba-tiba membuat dunianya cerah seketika. *** ''Wah, cantik sekali. Uuu dingin.'' Awan menoleh ke arah Cahaya yang saat ini merapatkan jaket tebalnya. Cahaya berlari-lari seperti anak kecil, berputar, menengadahkan wajahnya ke langit. Terbaring di atas salju bahkan Cahaya mencoba untuk membuat boneka salju. Awan tertawa sinis melihat aksi Cahaya. Ia membawa Cahaya ke Snow Heaven, menikmati salju buatan yang terlihat seperti salju asli. Tersedia juga permainan ski, ice skating, dan hocky. "Awan!" Cahaya melambaikan tangannya ke arah Awan. "Ayo main ski, aku menantangmu," teriak cahaya. Awan menghampirinya, ia tersenyum sinis. "Tidak masalah, aku ingin melihat sejauh mana kemampuanmu.'' Mereka memasuki ruangan ski terdapat banyak pohon-pohon buatan dari gabus, pohon itu yang menjadi tantangan nya harus bisa menghindari pohon-pohon itu "Siap, satu, dua, tiga!'' teriak Cahaya. Dan mereka mulai meluncur. Awan melirik Cahaya, ia tersenyum kecil. Lumayan juga, ucapnya dalam hati. Detik selanjutnya terdengar suara teriakan kesakitan. Awan berhenti ia menoleh kebelakang dan melihat Cahaya terbaring kesakitan karena telah menabrak pohon. Awan tertawa kecil, ia menghampiri Cahaya yang mengaduh kesakitan. "Rasain!" ejek Awan.  Bukan membantu, Awan melangkah pergi meninggalkan Cahaya, biar saja orang yang bekerja di Ski yang menolongnya. *** Cahaya menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal yang disediakan penginapan di Snow Heaven ia menyewa penginapan atas nama Awan. Awan! Ia tidak ingin bertemu lagi dengan Awan, ia sudah membenci lelaki itu. Bagaimana bisa Awan membiarkannya terbaring kesakitan di arena ski tadi. Ia mengira bermain Ski menyenangkan seperti yang dilakukan orang di televisi, tapi mengapa saat ia mencobanya begitu sulit. Huh, andai saja pohon-pohon itu tidak dipasang, Mungkin ia tidak akan seperti ini. "Cahaya buka." Ia mendengar suara Awan. Tidak! Ia tidak akan membukanya, ia marah, ia benar-benar marah, tidak, bukan marah, tapi mereka murka. ''Aku membawa makanan untukmu, terserahmu mau membukanya atau tidak, tapi aku tahu kau lapar. " Suara Awan datar, tidak ada kesan memujuk di suaranya. Ia masih pada pendiriannya, tidak akan membuka pintunya. Kriuk Perutnya berbunyi lagi, ia memejamkan matanya rapat-rapat. Tahan, tahan. Tolonglah, Cahaya jangan mudah tergoda kau harus bisa bertahan.  Kriuk  Lagi lagi perutnya berbunyi. Ia membuka matanya, tangannya meraih remote untuk membuka pintu. Hilang egonya, ia menyimpan murkanya sementara titik nanti setelah perutnya terisi ia akan murka kembali. Memasang wajah seram, meskipun tak seram, akhirnya ia menyerah. Tidak, tidak! Ia bukan menyerah tapi ia hanya ingin mencoba menghilangkan rasa lapar di perutnya. Ia duduk dengan wajah marah ketika melihat Awan melangkah masuk. Awan meletakkan makanannya di meja, berbalik dan melangkah pergi, Awan menoleh kearahnya sekilas, "Jika kau membutuhkan sesuatu, aku ada di samping." Pintu tertutup, Cahaya terbengong, hanya itu? Yang benar saja, tidak ada rayuan atau bujukan atau kata-kata manis? Seperti ''Cahaya jika kau marah kau bertambah cantik atau aku tidak bisa tidur jika kau terus berwajah masam atau jika kau tak mau memaafkanku, aku bisa kacau dan tidak bisa tidur dengan tenang.'' Tidak ada acara bujukan dengan menggenggam tangan, mengelus rambut, mengusap pipi, atau dengan menyuapinya makan seperti adegan di film. Ia mendengus kesal, memasukkan makanan ke mulut nya dengan tenaga besar yang seharusnya tidak dilakukannya dan hasilnya membuat mulutnya terasa sakit. Terima kasih telah membaca cerita saya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD