2

1855 Words
Selamat membaca cerita saya Cahaya ternganga melihat seisi rumah langit, banyak benda-benda aneh yang tidak diketahuinya. Langit mengantarnya ke sebuah ruangan. Langit melirik Cahaya sekilas lalu tertawa kecil. "Ini akan menjadi kamarmu," jelas langit. Langit memperkenalkannya pada benda-benda yang ada di dalam kamar itu. Dari tempat tidur, lemari, menunjukkan baju-baju yang bisa digunakan untuk berganti. Agar Cahaya tak selalu memakai dress kuning cerah. Memberitahunya Apa fungsi kamar mandi, sabun, sampo, mengajarkannya bagaimana cara menggunakan semua benda itu. Cahaya mengangguk mengerti. ''Dan ini namanya cermin, ini digunakan untuk melihat diri kita. Coba lihat dirimu."  Langit menarik Cahaya, menghadapkan Cahaya di depan cermin besar. Kedua mata cahaya terbelalak, terkejut dengan penampilannya. Ia melirik Langit, menatap lelaki itu dari atas hingga ke bawah lalu ia kembali melihat dirinya di cermin. ''Mengapa rambut kita berbeda? Rambutmu lebih cantik." Langit tertawa, ia menarik tangan Cahaya, membawanya pergi. Rambut Cahaya harus diubah menjadi hitam, Bulan pasti mau menerima Cahaya, ia yakin itu. Ia akan membawa Cahaya ke salon, mengubah semua penampilannya yang aneh. Dan ia bertekad akan mengajari Cahaya dari hal yang terkecil hingga yang terbesar. Ia tidak tahu mengapa dengan lapang d**a ia menyuruh Cahaya tinggal di rumahnya, tapi satu hal yang ia yakini, Cahaya orang yang baik. Kepolosannya yang mengatakan itu. *** Tidak terhitung Sudah berapa kali Awan menguap. Matanya mencoba tegar, meskipun pendengarannya sudah tidak fokus lagi. Ini yang paling ingin dihindarinya. Ibu angkatnya selalu memaksanya datang ke ruang rapat yang selalu diadakan satu bulan sekali oleh PT Rains, perusahaan terkenal nomor satu di dunia. Mengingat perusahaan ini yang akan diwarisinya dari peninggalan kedua orang tuanya, dengan hati terpaksa ia selalu mencoba datang dan sebisa mungkin tidak absen untuk hadir. Saat ini Rains dipegang oleh Mars, sahabat ayahnya yang keturunan Amerika. Saat Awan lulus kuliah ia akan menjadi presdir di perusahaan Rain's. ''Rapat selesai.'' Yes! Ia bersorak dalam hati. Ia menghampiri Mars, berjabat tangan lalu bercakap ringan. Lalu ia pergi. Awan melajukan mobilnya tanpa arah ke mana saja asal bisa menghilangkan kantuk nya. Ia mengangkat alisnya sebelah saat melihat dua orang wanita sedang bertengkar. Ia tersenyum kecil dan dan berniat melajukan mobilnya lagi, tapi ia mendengar suara yang pernah dikenalnya. "Perutku sakit!" Awan menghentikan mobilnya, ia keluar menghampiri dua orang wanita yang sedang bertengkar itu. Suara itu seperti suara wanita aneh yang pernah dijumpainya di bawah pohon besar di kampusnya. ''Wangi benda ini membuat perutku sakit, Awan saja memberikannya kepadaku." Awan menghampiri mereka berdua, ia menatap seorang cewek yang memakai dress berwarna putih, high heels juga berwarna putih. Kesan pertama cewek ini cantik, tapi tunggu! Wajahnya tidak asing dia .... ''Awan! Lihat dia tidak mau memberikan itu, perutku sakit. " Awan menepuk dahinya, Cahaya! Penampilannya berubah, warna rambutnya juga tidak berwarna kuning. Awan menatap seorang wanita yang memiliki toko roti yang bertengkar dengan Cahaya tadi. "Berikan padanya, aku yang akan membayarnya." Wanita itu mengangguk, ia memberikan kotak yang berisi roti kepada Cahaya. Kotak yang menjadi pertengkaran mereka, Cahaya menerimanya dengan mata berbinar. Awan menarik tangan Cahaya, mengajaknya pergi, tapi Cahaya hanya diam mematung Awan mengangkat alisnya sebelah.  "Ada apa?" tanyanya.  "Aku tidak bisa terkena sinar matahari."  Awan mengerutkan dahinya "Kau takut kulitmu berubah menjadi hitam?" Cahaya menggeleng pelan ''Bukan begitu, tapi ...'' Cahaya terdiam, ia tampak ragu. Awan menghela nafas, ia mengeluarkan handphonenya dan menggerakkan mobilnya melalui handphonenya, mengarahkan mobilnya ke tempat mereka berdiri. "Masuk." Cahaya melangkah masuk. Ia akan membawa Cahaya ke Restoran langganannya, ia tahu Cahaya pasti lapar. "Tempat biasa, aku lapar,'' ucapnya kepada mobilnya dan mobil itu melaju ke tempat yang diminta. *** Cahaya membasahi bibirnya dengan lidahnya, dia menelan ludah. Di hadapannya ada berbagai macam makanan, ia menatap Awan. Awan selalu tahu jika ia sakit perut. Sebenarnya ia tadi ragu untuk masuk, karena tadi Langit bilang ia tidak boleh pergi sebelum Langit kembali. Ia pergi karena ia yakin awan pasti akan membantunya untuk menghilangkan rasa sakit perutnya. Dan sekarang itu terbukti, ia memakan habis hidangan makanan yang berada di hadapannya. Ia sempat mendengar Awan berkata ''Tunggu dingin dulu." Ah, ia tidak peduli, perutnya tidak sakit lagi. Ia tersenyum senang menatap Awan yang melihatnya tanpa kedip. ''Apa kau benar-benar lapar?" Hah! Lapar? Apa itu sebutan untuk orang yang sedang sakit perut? Mungkin saja iya, orang yang sakit perut disebut lapar, ia akan menanamkan pengetahuan itu di otaknya. Ia nyengir lalu mengangguk. Awan mendengus geli. "Penampilanmu berubah, aku hampir saja tidak mengenalimu." " Benarkah? Apa aku cantik? " Dia baru saja mendapatkan kata 'cantik' tadi. Langit yang memberitahunya. Kata Langit cantik itu melambangkan sesuatu yang indah, yang nyaman dilihat. Awan tertawa sinis mendengarnya. ''Kau tidak cantik, biasa saja,'' ucap Awan datar. Cahaya menatap Awan dengan tanda tanya. Mengapa Awan bilang ia tidak cantik, padahal hampir semua orang yang berada di salon itu mengatakan kalau ia cantik. Langit saja bahkan sampai tercengang melihat penampilan barunya. Langit! Ah iya! Hampir saja ia melupakan langit. Ia harus pergi pulang ke rumah Langit. Ia menatap Awan dengan serius. "Apa kau bisa mengantar ku pulang ke rumah?" "Di mana rumahmu?" Ia terdiam dan berpikir. Di mana rumahnya, mengapa pertanyaannya susah seperti itu. Dia menggeleng pelan. "Aku tinggal di rumah langit, kau kenal dengan Langit Cerah?" Ekspresi Awan berubah, wajahnya menegang. Tubuhnya mendadak kaku, tangannya yang berada di meja terkepal kuat. Rahangnya mengeras, ada apa? Mengapa awan berubah. "Kau siapanya langit?? tanya Awan dengan suara bergetar. Cahaya mengerutkan dahi, apa maksud dengan siapanya? "Aku tak mengerti apa maksudmu." Awan menghela napas. "Kau siapanya Langit? Teman, saudara, sahabat, atau adik, atau apa! Cepat jawab!" Awan membentak membuat cahaya tanpa sadar menelan ludah, gugup. "Aku Aku tidak tahu, aku baru saja bertemu dengannya, dan dia mengajakku tinggal bersamanya. Karena ... karena aku tidak punya rumah," ucap Cahaya tergagap.  BRAK!  Awan memukul meja kuat-kuat, membuat Cahaya terhenyak dan langsung berdiri karena terlalu terkejut. Semua mata pengunjung restoran terarah pada mereka. Kedua tangannya gemetar ketakutan, mengapa awan menakutkan? Awan berdiri, ia menarik pergelangan tangan Cahaya dengan kuat. Membuat Cahaya berjalan mengikuti Awan. Awan membawanya ke suatu tempat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ketakutan. ''Kau tidak boleh tinggal dengan Langit. " Suara Awan masih bergetar. Ia menggeleng, ia ingin tinggal dengan Langit. Langit mengetahui identitasnya, Langit mengajarinya mengenal tempat tidur dan benda-benda lain. Langit baik padanya, dan sebaiknya Langit tidak membuatnya ketakutan seperti ini, tapi sekarang ia tidak ingin membantah, ia takut membuat Awan lebih marah lagi. Nanti ia akan melarikan diri dan semoga saat itu Langit bisa menemukannya. *** Sudah lebih dari 1 jam Langit berjalan tak tentu arah mencari Cahaya. Kemana perginya Cahaya? Dan dimana dia? Langit mengusap rambutnya yang basah oleh keringat, Bagaimana keadaannya sekarang? Cahaya tidak bisa terkena sinar matahari, apa yang terjadi padanya sekarang. Ia tidak tahu mengapa ia sekhawatir ini pada Cahaya, orang yang baru saja dijumpainya, tapi satu hal yang pasti, Cahaya bisa menjadi teman Bulan. Bulan pasti menyukai Cahaya, ia yakin itu, dan ini alasannya mengapa ia sangat khawatir. Cahaya orang yang polos, membuatnya akan dengan mudah dibohongi oleh orang. Bagaimana jika orang-orang jahat itu membodohi nya? Ia bener-bener pusing hanya karena memikirkan Cahaya. Awalnya ia kurang mempercayai Cahaya yang terlahir dari matahari. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak berpikir mengapa cahaya bisa mengarang cerita seperti itu. Tapi setelah ia lihat cahaya yang tidak tahu payung, tidak memiliki handphone, tidak mengetahui semua nama-nama benda membuatnya sedikit yakin juga penampilan cahaya yang aneh. Langit tertawa kecil melihat cahaya dengan rambut berwarna kuning cerahnya, dan cahaya bahkan tak memakai sandal, sepatu atau apapun. Langit mendesah pelan ia kembali ke rumahnya, cepat atau lambat dia pasti akan menemukan Cahaya kembali. Ia ingin melihat Bulan ceria, ia ingin melihat Bulan tersenyum sekali saja, ia ingin Bulan mengakui keberadaannya. *** Awan membawa cahaya ke tempatnya, ia tidak akan membiarkan Gadis itu tinggal dengan langit. Langit cerah. Ia mengepalkan kedua tangannya menahan emosi agar ia tak memukul sesuatu apapun. "Mulai Hari ini aku akan tinggal bersamamu,'' ucapnya dengan nada dingin. Ia melihat Cahaya terperanjat "Awan aku ...." "Tidak ada alasan!" bentaknya. Ia akan memastikan Cahaya tidak tinggal dengan Langit. Itu semua bukan karena ia menyukai Cahaya. Tidak! Karena ia tak ingin Cahaya tertipu oleh Langit. Awan memegang dadanya, sakit, kejadian itu sudah lama berlalu, tolong jangan kembali menyesakkan dadanya. "Awan aku tidak bisa bersamamu, tidak bisa! Kau tidak mengerti keadaanku, hanya Langit yang tahu. Kau tidak tahu dari mana aku berasal dan hanya Langit yang tahu." Cahaya berteriak, rahang awan mengeras. Awan kendalikan dirimu! Awan kendalikan dirimu!  Prang!  Ia memukul meja kacanya hingga pecah, ia tidak tahan, benar-benar tak tahan. ''Memangnya bagaimana keadaanmu?Dan dari mana kau berasal, mengapa hanya Langit yang mengerti. Apa kau kira aku tidak bisa mengerti keadaanmu!" Awan membalasnya, lelaki itu juga berteriak. Cahaya mendekati Awan, ia berdiri hanya berjarak 30 cm. Ia menatap Awan lekat-lekat. ''Aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu." "Apa kau pikir aku akan mengejekmu atau kau berpikir aku akan .... " ''Bukan! Bukan itu, kau tidak akan mempercayainya." Cahaya bersuara perlahan, kini ia menunduk. Awan mendesah pelan, ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. "Katakanlah apapun yang kau katakan, aku akan mempercayainya. " Awan juga bersuara perlahan. Ia sudah lelah juga salah, ia telah membentak Cahaya. Memaksa Cahaya mengikutinya dan tinggal bersamanya, ia hanya tidak ingin Cahaya bersama langit. "Aku berasal dari segenggam matahari. Matahari membuang segenggam dari dirinya agar tidak bertabrakan dengan Bulan. Dan genggaman itu jatuh ke bumi menjadi manusia, manusia itu aku, maka dari itu aku tidak tahu kalau nama sakit perut itu lapar dan juga ...'' ''Cukup, cukup!'' Awan memejamkan matanya, pusing. Kebohongan Apa yang sedang dibicarakan oleh Cahaya? Cahaya berasal dari matahari sungguh sangat tidak masuk akal. Benar-benar gila. Mungkin Cahaya kehilangan beberapa urat syaratnya sehingga membuatnya berbicara dan bertingkah aneh. Apapun yang dikatakan Cahaya, ia harus menerimanya. Tidak! Tidak harus menerimanya, ia akan berpura-pura percaya harus membuat Cahaya mau tinggal bersamanya. Ia menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. "Aku mengerti apapun itu, kau harus tinggal bersamaku." Awan melangkah pergi, ia masih bisa melihat raut sedih dari wajah Cahaya, tapi ia tak peduli. ''Ahhhh!!'' Cahaya bateriak frustrasi, Awan seperti mengurungnya dipenjara. Sudah dua minggu ia tinggal bersama Awan, ia belajar sendiri, membaca, menulis, mengenal dunia luar lewat televisi. Awan tak membiarkannya keluar, ia memasang pelindung rumah. Ia seperti debu di rumah Awan. Angin akan membawakan makanan jika makanan di rumahnya habis. Awan tidak tinggal di rumah itu, hanya ia yang tinggal di sana, di rumah sebesar itu. Ia ingin berjalan-jalan ke tempat yang ada di acara televisi, ia ingin ke pantai, mendaki gunung, menaiki wahana yang berbahaya, ia bosan. Hanya berteman kan buku-buku yang telah habis dibacanya. Andai saja ia tahu bagaimana cara menghilangkan pelindung rumah ini, ia pasti akan menghilangkannya dan langsung kabur. Awan membelikan handphone, ia sangat senang, ia Langsung mendownload aplikasi payung. Saat ia menekan payung, tap! payung itu langsung menutupinya, sama seperti Langit waktu itu. Ia mulai berpikir untuk apa ia mendownload aplikasi payung jika pada akhirnya ia bahkan tak pernah keluar rumah. Andai saja ia tinggal bersama Langit, ia bahkan tak akan kesepian. Ia akan mengajak Bulan Berbicara, bermain dan bersenang-senang. Andai saja waktu itu ia tidak mengikuti Awan, andai saja, ah ... terlalu banyak ia berandai. Ia berlari ke balkon kamarnya saat mendengar gerbang rumahnya terbuka. Wajahnya seketika cara saat melihat mobil Angin yang masuk. Terima kasih telah membaca cerita saya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD