Kisah Dayat

1143 Words
Desa Belendung, 2 Juli 2008     Sore itu langit begitu cerah, sinar matahari sore masih menyengat menembus jendela rumah Dayat, sepulang sekolah anak berkacamata dengan warna kulit kekuningan itu hanya duduk di kursi tamu rumahnya sembari memandangi halaman depan rumahnya yang sepi, bagai pungguk merindukan bulan kata pepatah, Dayat merindukan kehidupan normal seperti anak-anak serta remaja pada umumnya, bisa bermain bersama teman seumuran selepas pulang sekolah. Bagi kebanyakan anak-anak dan remaja bisa bermain dengan teman seumuran merupakan sebuah kebahagiaan sendiri, karena ada frekuensi yang sama diantara mereka. Akan tetapi bagi Dayat harapan itu terasa begitu sulit untuk bisa diwujudkan karena dalam lingkungan sekitar rumahnya tidak ada teman seumuran yang bisa ia ajak main, kebanyakan anak mudanya usianya jauh lebih dewasa dibandingkan dia, ada yang sudah berkuliah bahkan kebanyakan sudah berumah tangga, sedangkan Dayat saat itu masih kelas 3 SMP. Desa Belendung terletak di pinggir kota Tangerang berbatasan dengan kota metropolitan Jakarta, hal itu berdampak kepada gaya hidup anak mudanya yang sering kelewatan batas pergaulan pada umumnya, mulai dari hukuman traktir, taruhan dan jenis punishment lain memang sudah menjadi kebiasaan di kampungnya, mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang tua kalau sedang berkumpul dan melakukan permainan, entah itu main kartu, atau ketika ada pertandingan live sepakbola di TV, pasti tak pernah lepas dari taruhan. Selain taruhan orang dewasa di kampungnya juga sering minum-minuman keras, sering Dayat jumpai ada orang dewasa malam-malam sekitar pukul 00.00 WIB pulang ke rumahnya dalam kondisi mabuk berat. Begitulah cerminan kondisi lingkungan rumah dan pertemanan yang setiap hari ia temui.     Beruntungnya meskipun teman-teman sepermainanya di kampung melakukan taruhan dan minum-minuman keras, Dayat tidak pernah sekali pun menyentuh dan ikut terlibat di dalamnya, meskiupun ia sering diajak dan ditawari untuk melakukannya, senantiasa ditolak semua. Ia hanya teringat akan masa depanya dan orang tuanya yang sudah susah payah banting tulang membiayai pendidikannya serta membesarkanya ketika dalam fikirannya terbesit ingin mencoba hal-hal buruk itu,  karena ia tau  bukan berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, Bapaknya hanya seorang supir di salah satu perusahaan elektronik daerah sentra bisnis BSD Tengerang Selatan dengan upah UMR, sedangkan Emaknya tidak bekerja hanya mengurus dan mengasuhnya serta kedua adiknya yang masih kecil, hidup Dayat sangat pas-pasan, jadi sangat besar harapan keluarga terhadapnya sebagai anak pertama untuk bisa mengangkat ekonomi keluarga ke depan nanti, oleh karenanya ia tidak mau menyia-nyiakan atau merusak masa depannya.     Dayat punya impian suatu saat nanti bisa menjadi orang yang sukses untuk bisa mengangkat derajat keluarganya serta mampu memberikan manfaat buat banyak orang, Dayat dikenal sebagai anak yang mudah bergaul dengan banyak orang, ia bisa berteman dengan siapa pun, bahkan dengan orang-orang dewasa di lingkungan sekitar reumahnya. Sejak SMP ia sudah aktif diberbagai organisasi baik di lingkungan rumah maupun sekolahnya seperti karang taruna, osis dan pramuka di sekolah, bahkan ia menjadi ketua osis di sekolah SMPnya, ia juga sering memenangkan kompetisi tingkat kota Tangerang dengan organisasi pramuka yang dia ikuti di sekolah, selain itu anaknya juga punya kepercayaan diri yang tinggi, pintar, dan mau mencoba hal-hal baru. Dayat remaja sangat dekat dengan Emaknya yang selalu berada di rumah, sehingga sering memberikan perhatiannya kepada Dayat, sedangkan Bapaknya sibuk bekerja dari pagi hingga malam hari, selepas pulang ke rumah Bapaknya langsung istirahat, tak pernah ada kesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anaknya.     Masa kecil hingga remaja Dayat hampir sama dengan kebanyakan anak pada umumnya, bedanya hanya Dayat tidak memiliki teman sepermainan yang seumuran di lingkungan rumah dan jarang berinteraksi dengan Bapaknya karena kesibukan kerja, perbedaan itulah yang nantinya akan perlahan-lahan membentuk kepribadian seorang Dayat. Kini Dayat berada pada masa akhir pendidikannya di SMP, meskipun Dayat juga aktif ikut keorganisasian selama SMP namun prestasi akademiknya senantiasa mendapatkan hasil yang memuaskan, ia selalu mendapat peringkat 1 atau 2 di kelasnya disetiap semesternya, baginya bisa aktif di kegiatan non akademis tidak lantas membuatnya harus terpuruk pada akademisnya, ia mampu menyeimbangkan keduanya, bahkan di akhir pendidikannya di SMP ia berhasil mendapatkan nilai ujian nasional (UN) tertinggi kedua di sekolahnya, sebuah prestasi yang membanggakan baginya kala itu, perjalanan masa remaja Dayat belum usai. Selepas ia lulus SMP, ia harus memikirkan ke mana ia akan melanjutkan pendidikannya, bagi Dayat ini bukanlah suatu hal yang mudah, karena ia sedang dihadapkan dengan dua pandangan yang berbeda antara dirinya dengan Emaknya. Ia memilih ingin masuk SMK, sedangkan Emaknya menyuruhnya masuk SMA, perdebatan dua pandangan ini yang hampir tiap hari dihadapi oleh Dayat.     Pagi itu langit desa Belendung terlihat amat murung tertutup mendung, seolah memberikan pesan buruk kepada Dayat. Hari itu Hari Minggu pagi, Dayat pamit ke Emak untuk pergi main Playstation di rental langganan dekat rumahnya.     “Mak, minta uang 10 ribu buat main PS.” Pinta Dayat ke Emak. Karena ini hari libur sekolah Emak mengizinkannya untuk bermain sembari menenangkan fikiran yang penat memikirkan pilihan sekolah.     “Ambil tuh di atas meja makan.” Sahut Emak menjawab pertanyaan Dayat. Selepas diambil uang dari emak, langsung ia pamit sama Emak.     “Mak pergi dulu ya, Assalammualaikum.” Ucap Dayat.     “Wa’alaikumsalam.” Sahut Emak dari dapur     Langkah kaki Dayat sudah pergi agak jauh dari rumah menghampiri teman-teman mainnya di kampung, ada Ahmad, Jaelani, dan Rikky yang mereka usianya jauh lebih dewasa dibandingkan Dayat yang saat itu masih duduk di tingkat 3 SMP, ia mendatangi Ahmad, Jaelani dan Rikky yang lagi asyik nongkrong di balai RT sembari bermain kartu.     “Hoii… Mad, Jae, dan Rik…Yuk main PS kayak biasanya?” Sapa Dayat ke mereka meskipun usia mereka jauh diatasnya ia tetep memanggil mereka dengan nama tidak ada tambahan ‘mas, atau kak’, karena itu permintaan mereka sendiri, supaya bisa lebih akrab katanya.     “Ayukkk…” Sahut mereka menjawab pertanyaan Dayat, mereka bergegas merapikan kartu yang telah mereka mainkan, dan kita pergi ke rental PS langganan.     “Pak, saya main 2 jam, dua tempat ya.” Ucap Ahmad ke penjaga rental PS. Dayat bersama Ahmad satu tempat, sedangkan Jaelani dengan Rikky satu tempat, kami bersebelahan tempatnya, kita selalu main sepakbola ketika main PS, saat itu Dayat menggunakan tim Manchester United (MU) sedangkan Ahmad memakai tim Real Madrid.     “Oke Yat, yang kalah bayarin ya?” Ucap Ahmad ke Dayat.     “Wahh…enggak ah… enggak usah pakek taruhan gue enggak punya uang, lu enak udah kerja.” Sahut Dayat menjawab pertanyaan Ahmad sembari meletakkan stick PSnya ke lantai, sebagai tanda tidak sepakat adanya taruhan.     “Okey…Okey…kita main aja enggak perlu taruhan.” Kata Ahmad menjawab respon Dayat. Akhirnya kita lanjutkan pertandingan PSnya, selama bermain 2 jam Dayat sudah mengalahkan Ahmad sebanyak 3 kali, selepas sudah puas bermain PS Dayat langsung pulang ke rumahnya.     Sepulang Dayat dari main PS, ia menengok jam tangan yang diletakkan di pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, ia sudah sampai ke rumah.     “Assalammualaikum…Dayat pulang” Ucapnya.     “Wa’alaikumsalam…buruan wudhu dan sholat dzuhur sono.” Sahut Bapak yang sedang duduk di ruang tamu bersama Emak.     “Enggak biasanya Bapak dan Emak duduk berdua di ruang tamu, pasti ada hal penting yang habis dibicarakan mereka.” Ungkap Dayat dalam hati.     “Baik Pak…Mak…” Jawab Dayat sembari melangkah menuju kamar mandi untuk ambil air wudhu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD