TW - BG 4

2904 Words
“Udah kenyang?” Tanya Gavin pada Beby yang baru saja menghabiskan satu gelas air. “Udah, begah banget perut aku.” Kata Beby sambil bersandar dan memegang perutnya. Gavin tertawa lalu membawa bekas makanan mereka ke belakang dan membersihkan semuanya sendiri. Setelah selesai Gavin kembali duduk di samping Beby dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. “Aku kangen banget sama kamu.” Kata Gavin sambil mencium puncak kepala Beby. “Me too.” Kata Beby manja sambil mendongakkan kepalanya menatap pria itu. Gavin mengusap kantong mata Beby yang bengkak dan menghitam. “Kamu kurang tidur ya?” Beby menganggukkan kepalanya. “Kelihatan banget ya? Jelek dong?” Beby mengambil handphonenya dan membuka aplikasi kamera agar bisa berkaca. “Bagi aku kamu tetap cantik.” Puji Gavin membuat Beby jadi tertawa. “Gombal banget sih kamu.” Beby kembali bersandar di atas d**a pria itu. “Kita kamar aja yuk, nonton di sana aja. Kalaupun kamu ngantuk bisa langsung tidur biar nyaman, di sini nanti kamu nggak nyaman tidurnya.” Beby menganggukkan kepalanya setuju lalu bangkit berdiri. Gavin mematikan TV yang menyala lalu mengikuti Beby yang masuk ke dalam kamar. Wanita itu langsung saja berbaring sedangkan Gavin menghidupkan TV yang berada di depan tempat tidurnya itu dan mencari film agar mereka menonton bersama. Setelah selesai Gavin ikut naik ke atas ranjang dan membawa Beby ke dalam pelukannya. Sesekali Gavin akan mencium puncak kepala Beby, ketika wanita itu mendongak maka Gavin akan mencuri ciuman di bibir kekasihnya itu. Sampai akhirnya Beby ketiduran, maka Gavin mematikan TV dan ikut bergabung tidur dengan Beby sambil memeluk sang kekasih. ***** Tidur Beby terganggu ketika handphonenya berdering. Dengan gelisah Beby membuka matanya dan merasakan bahwa Gavin memeluknya. Senyumnya mengembang ketika melihat Gavin yang memeluknya dengan erat. Gavin ikut terbangun karena suara handphone Beby yang terus saja berdering. Gavin seolah enggan melepaskan Beby dari pelukannya. “Aku angkat telepon dulu sayang.” Kata Beby pelan sambil mengusap pipi Gavin dengan lembut. Maka Gavin melepaskan pelukannya dan membiarkan Beby bangkit dan duduk di tepi ranjang. Beby kaget begitu banyak panggilan dari Evan, ketika ingin menghubungi balik Evan sudah lebih dahulu menghubunginya kembali. Maka tanpa pikir panjang Beby langsung saja mengangkat telepon dari Evan. “Kamu ada di mana?” Tanya Evan yang terdengar panik di balik telepon. “Kenapa?” Tanya Beby langsung. “Kamu pulang sekarang, kamu dari tadi nggak lihat handphone ya? Mama kamu datang sama Papa kamu ke rumah. Mereka bawa makanan, katanya mau makan malam bareng kita di rumah. Mending kamu pulang sekarang dari pada mereka curiga sama kamu. Oh ya kalau kamu pulang, mampir ke supermarket beli apa aja, entah itu keperluan kamu atau keperluan rumah. Aku bilangnya kalau kamu pergi belanja tadi ke supermarket. Buruan ya, nanti mereka makin curiga.” “Kenapa nggak bilang dari tadi sih?” Kata Beby dengan kesal. “Aku udah dari tadi kirim pesan sama kamu, dasar kamu aja yang emang nggak baca.” “Yaudah aku pulang sekarang.” Kata Beby dengan kesal lagi. “Oh iya hati-hati ya.” Evan tak lupa meninggalkan pesan itu pada Beby, setelah itu sambungan terputus dan Beby menghela napas. Gavin langsung saja memeluk Beby dari belakang dan mencium bahu Beby secara bertubi-tubi. “Kenapa sayang?” Tanya Gavin dengan masih mencium bahu wanita itu, tangan Gavin berada di perut Beby dan mengelusnya. “Aku harus pulang, Kak Brandy nyuruh aku pulang katanya ada yang mau di bahas gitu soal Kak Alena. Aku balik ya?” Gavin menghela napas. “Aku pikir kamu bakalan nginap disini.” Kata Gavin dengan lesu. “Nggak bisa sayang.” Beby mengelus pipi Gavin dan mencium pelipis pria itu. “Aku balik ya?” Gavin menganggukkan kepalanya dengan lemah. Namun sebelum melepas Beby pergi, pria itu membalikkan tubuh Beby dan mencium bibir wanita itu. Beby membalasnya dengan tersenyum. “Padahal aku masih kangen banget sama kamu, I love you.” “I love you too.” Beby mencium kening Gavin. “Kamu tidur aja lagi, aku bisa keluar sendiri. Bye.” Beby melambaikan tangannya pada Gavin dan setelah itu ia keluar dari apartement Gavin. Dengan berlari ia menuju parkiran. Tak lupa sebelum pulang ia mampir ke supermarket sesuai dengan perkataan Evan. Kali ini Beby mengendarai dengan sedikit cepat agar bisa sampai di rumah dengan cepat. Beby mengambil beberapa keperluannya dan memang beberapa keperluan rumah juga, walaupun sebenernya ia tidak tahu itu benar atau tidak. Karena ia belum pernah belanja keperluan rumah sebelumnya. Beby memakai kartu yang dari Evan untuk membayar, karena kartu miliknya berada di dompet satu lagi. Evan memberinya saat mereka di Croasia, sedangkan Beby belum mengganti tasnya dari kemarin. Sehingga masih menggunakan dompet yang ia bawa dari sana. Biarlah kali ini ia memakai kartu pria itu pikirnya, nanti ia akan menggantinya suatu saat nanti. Setelah selesai dengan cepat Beby langsung pulang. ***** “Hai,” Sapa Beby pada Evan yang sudah menyambutnya itu dengan terengah-engah. “Udah belanjanya?” Tanya Evan basa-basi sambil tersenyum penuh arti. “Udah dong nih, banyak banget.” Evan langsung saja mengambil kantungan plastic tersebut dari tangan Beby. “Ehhh ada Mama sama Papa.” Kata Beby pura-pura nggak tahu. “Udah lama datangnya Ma, Pa?” Beby memberi salam pada kedua orangtuanya yang sedang memperhatikannya itu. “Kamu kenapa kayak capek lari gitu?” Tanya Carissa. “Iya Ma, habisnya aku bawa belanjaan banyak jadi sedikit capek. Udah gitu liftnya sempat bermasalah, jadi aku naik tangga darurat.” Bohong Beby, mana mungkin ia bilang lari-lari supaya cepat sampai karena ada orangtuanya di rumah. “Harusnya Evan nemenin kamu belanja, lain kali jangan di biarin belanja sendiri ya Van?” Tegur Randy pada menantunya itu. “Iya Pa,” Balas Evan dari dapur. “Aku yang emang mau belanja sendiri Pa. Tadi Evan yang beresin rumah, jadi aku yang belanja. Ya hitung-hitung bagi tugas, namanya juga rumah baru ada yang perlu di siapin dan di penuhikan Pa. Udah lama datangnya Ma?” Tanya Beby basa-basi, karena Beby melihat air minum kedua orangtuanya saja sudah habis setengah. “Udah, kenapa kamu belanjanya lama? Bukannya supermarket ada di dekat sini ya?” “Kan aku milihnya lama Ma. Mama tahu sendiri aku nggak pernah belanja bulanan selama ini, karena jadi seorang istri aku harus belajar untuk membeli keperluan rumahkan? Jadi tadi aku lama karena harus milih, baca lagi gunanya apa. Kira-kira keperluannya apa gitu.” Padahal Beby saja tidak tahu apa yang dibelinya tadi. “Baguslah kalau kamu emang belajar, makasih ya.” Kata Evan sambil mengusap kepala Beby sehingga pandangan keduanya bertemu. Jelas Beby tdiak suka, namun Evan tetap saja melakukannya dengan tersenyum penuh arti. “Kamu mandi gih sana, habis belanja jugakan dari luar biar bersih. Mama bawa makanan, jadi kita bisa makan malam bareng.” Beby pura-pura senyum dan menganggukkan kepalanya. “Aku mandi dulu ya Ma, Pa.” Beby langsung saja masuk ke dalam kamarnya. Beby jadi kepikiran apa orangtuanya ada masuk ke dalam kamarnya? Atau masuk ke dalam kamar Evan? Nanti ia akan bertanya pada Evan mengenai hal itu. ***** Setelah selesai makan, Evan banyak cerita tentang pekerjaan pada Randy. Sedangkan Beby banyak cerita tentang Alena pada Mamanya. Tak lupa juga Carissa memberikan nasihat pada Beby yang kini sudah menjadi seorang istri. Carissa bilang apa saja yang harus dilakukannya sebagai istri. Beby hanya mengiyakan saja dan tidak akan melakukannya itu bersama Evan. Kalaupun ia akan melakukannya tapi nanti ketika ia bersama Gavin. Begitu juga dengan Randy yang memberikan petuah pada Evan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang suami. Evan mendengarkannya dengan sangat baik. Sampai akhirnya orangtua Beby itu pamit untuk pulang sehingga meninggalkan mereka berdua kembali berdua. Evan langsung saja membersihkan gelas yang ada di atas meja. Sedangkan Beby malah menyandarkan tubuhnya ke sofa, menurutnya kali ini ia sangat lelah. “Kamu habis dari mana sebenernya tadi kenapa susah di hubungi?” Tanya Evan duduk di samping Beby. “Aku tadi tidur.” Jawab Beby tanpa sadar. “Tidur? Kamu tidur di mana?” Tanya Evan heran, setelah pria itu bertanya barulah ia sadar. Beby memang belum cerita tentang ia yang punya pacar. “Di rumah temen, tadikan aku bilang mau ketemuan sama temen.” Balas Beby dengan berbohong pastinya. “Oh iya tadi Mama ada masuk ke dalam kamar?” Tanya Beby mengalihkan. “Tadinya sih gitu, aku larang. Aku bilang kamar kita belum di beresin masih berantakan. Nggak enak kalau di lihat, makanya Mama nggak jadi masuk. Kalau jadi masuk bahaya juga lihat barang kita di kamar masing-masing.” Akhirnya Beby baru bisa bernapas dengan lega. “Mama juga nawarin untuk ada asisten rumah tangga untuk kita. Gimana menurut kamu?” Beby menggelengkan kepalanya. “Kitakan udah sepakat nggak usah pake itu, kalau nanti mereka tahu kita tidur terpisah gimana? Untuk baju kita bisa laundry, kalau bersihkan rumah lebih baik kita bagi tugas aja.” “Kamu yakin bisa? Tadi aja aku lihat belanjaan kamu, banyak yang sama dan ada beberapa yang kamu nggak beli untuk kebutuhan rumah.” “Ya gimana aku belinya asal, buru-buru banget yang penting ada aja buat di beli dari pada nggak sama sekali. Aku sampai ngga lihat-lihat lagi.” Dusta Beby, ia tidak mau di permalukan saat ini karena tidak tahu. Beby anak bungsu dan ia selalu di manjakan di keluarganya. Sehingga untuk belanja bulanan untuk rumah jelas ia tidak tahu karena ia tidak pernah melakukannya. “Bener?” Tanya Evan dengan mengulum bibirnya menahan senyum. “Ya benarlah, emang apaan?” Kata Beby jadi kesal sendiri, kalau seandainya Beby jujur tidak akan menjadi masalah bagi Evan. Hanya saja Beby jadi gengsi karena dia salah. “Makasih ya.” Kata Evan tiba-tiba. “Makasih buat apa?” Tanya Beby bingung. “Makasih karena kamu udah pakai kartu yang aku kasih, aku senang karena kamu pakai kartu aku.” Ucap Evan dengan jujur. “Kamu nyindir apa gimana? Nggak senang kalau kartunya aku pake? Kalau nggak senang nggak usah di kasih. Aku tadi pake Cuma itu doang kartu yang ada di dompet. Aku lupa ganti tas, ini tas yang aku pake dari Croasia kemarin. Jadi hanya itu yang ada mau nggak mau harus itu yang aku pake. Nanti juga bakalan aku ganti uangnya.” Evan kaget dengan respon Beby. Padahal ia tak bermaksud apa-apa. Berpikiran seperti yang Beby katakan saja tidak. Ia murni mengatakan terimakasih karena Beby mau memakainya. Setidaknya Beby memang mendengarkan apa katanya dan menganggapnya sebagai suami yang juga akan memenuhi kebutuhan jasmaninya. “Bukan kayak gitu maksud aku. Malahan aku senang kalau kamu belanja pakai uang yang aku kasih. Itu artinya kamu ang—“ “Kalau kamu senang harusnya nggak usah bilang-bilang diam aja. Aku jadi males pakai kartu kamu, apalagi laporannya masuk sama kamu. Nanti kamu tahu aja dong aku beli apa? Entar kamu hitung semuanya iyakan? Lebih baik apa-apa aku pakai uang aku aja deh, bentar aku balikin aja kartu kamu.” Beby hendak bangkit berdiri namun di tahan oleh Evan. Pria itu menggenggam tangan Beby dengan erat. Beby melihat tangannya yang di genggam oleh Evan, pria itu menarik Beby agar kembali duduk. “Please dengerin aku dulu. Aku beneren nggak ada maksud apa-apa. Aku beneren senang kamu pake uang dari aku, berarti kamu bener anggap aku sebagai suami kamu. Please pake kartunya ya? Kalau kamu emang nggak mau pake kartu itu untuk belanjaan kamu, setidaknya pakai untuk keperluan rumah kita. Salah satunya kayak tadi, kamu belanja untuk keperluan rumahkan? Kamu bisa pakai untuk itu, jangan di pulangkan ya?” Minta Evan dengan sungguh membuat Beby jadi tak tega menolaknya ketika melihat Evan memintanya sangat sungguh seperti ini. “Jangan terlalu berharap dan anggap aku beneren anggap kamu sebagai suami aku ya. Jangan berharap apapun sama pernikahan ini. Oke fine aku bakalan pake kartu kamu, tapi hanya untuk keperluan rumah. Anggap aja aku pakai untuk kepentingan kita bersama. Terutama ini rumah kamu, jadi aku pakai untuk keperluan rumah kamu ini. Okay?” Beby masih saja sarkas dengan perkataannya itu. Namun Evan tak peduli Beby mau anggap bagaimana, setidaknya Beby masih mau memakai kartunya. “Terserah kamu aja mau gimana anggapnya, yang penting kamu pakai. Makasih ya.” Ucap Evan dengan tulus. Menurut Beby, Evan orang yang sangat aneh. Udah di perlakukan kasar masih saja mengucapkan terimakasih, benar-benar aneh pikirnya. “Hmm, yaudah aku mau ke kamar nyusun barang.” Beby melepaskan tangan yang digenggam oleh Evan itu. “Mau aku bantu?” Tawar Evan yang langsung di jawab Beby dengan gelengan kepala. Apa jadinya kalau Evan ikut membantu, pria itu jelas akan melihat betapa banyak barangnya. Terlebih lagi barang-barang pribadinya seperti pakaian dalamnya bukan? Jelas Beby tidak mau Evan tahu hal itu. Kalau tadi mereka menikah memang karena cinta tidak masalah, ini mereka menikah karena paksaan. Apalagi dirinya hanya sebagai pengganti. “Aku bisa sendiri. Kamu beresin aja nih semuanya, masih banyak yang mau di beresin kalau kamu emang kurang kerjaan,” Kata Beby dengan menyindir. “Baiklah.” Jawab Evan pasrah, ia cukup tahu diri untuk tidak campur tangan dengan apa yang akan Beby lakukan. Dirinya saja yang terlalu berharap untuk bisa di anggap pada Beby. Wanita itu langsung saja masuk ke dalam kamarnya untuk membereskan barang-barangnya. Sebelum berberes tak lupa ia mengganti bajunya dengan nyaman agar bisa bekerja. Sampai akhirnya jam dua belas malam, Evan masih saja mendengar kalau Beby masih sibuk dengan barang-barangnya. Maka dengan segala perhatiannya, Evan menyiapkan teh hangat untuk Beby. Lalu ia menghampiri kamar Beby dan mengetuk pintu kamar wanita itu. “Ada apa?” Tanya Beby dengan ketus sambil membuka kamarnya dan berdiri dengan sangat menantang. Pasalnya tangan Beby memegang pinggang satunya lagi memegang pintu. Beby tahu kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Evan, siapa lagi? Karena hanya mereka berdua saja yang ada di rumah saat ini. Evan kaget melihat Beby yang menurutnya sangat sexy itu. Kali ini semakin jelas bagi Evan melihat Beby yang memang sexy itu. Bagaimana tidak Beby menggunakan celana hot pans pendek dan ketat yang hanya menutupi tidak sampai setengah pahanya. Lalu menggunakan tanktop hitam ketat yang bisa mencetak jelas bagian tubuhnya. Bahkan belahan bukit kembar milik wanita itu jelas Evan bisa lihat. Beby tak menjadi masalah akan hal itu, karena dia memang terbiasa berpakaian seperti itu saat di rumah. Evan saja yang baru melihat Beby seperti itu. Dengan susah payah Evan berusaha terlihat biasa saja walaupun sebenernya ia tak biasa saja. Bagaimanapun ia pria normal, melihat perempuan cantik dan sexy di depannya pasti membuatnya juga panas dingin bukan? Apalagi ini pertama kali baginya melihat wanita seterbuka ini berada di dekatnya. Apalagi dengan status orang baru, kalau orang-orang terdekatnya seperti sahabat Evan tak pernah sampai bersikap seperti ini. Evan seperti remaja labil saat ini tanpa ia sadari. Padahal lebih dari ini sudah pernah ia langsung lihat di depan mata. Tetapi dengan Beby jelas kali ini berbeda, padahal kalau orang lihat Beby pakaiannya masih tergolong biasa saja. “Ini, kamu pasti capekkan dari atdi belum selesai. Aku buatin kamu teh supaya lebih enak.” Kata Evan dengan berusaha menahan diri. “Thank’s.” Beby sebenenrya mau menolak, tapi ia tak enak hati. Bagaimanapun Evan punya niat yang baik padanya. Beby mencicipinya sejenak lalu menatap Evan. “Lain kali kalau mau buat, nggak usah pake gula. Aku nggak begitu suka sama hal-hal yang manis.” Evan tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Ia senang karena Beby mau memberitahu apa yang tak di sukai oleh Beby. “Lain kali janji akan buat yang biasa aja.” Kata Evan dengan tersenyum, apa pria ini mau membuatkannya lagi pikir Beby. “Masih banyak barangnya yang belum di susun?” Tanya Evan sambil mencoba melihat kearah belakang Beby. “Enggak sikit lagi, tinggal barang yang kecil-kecil. Bentar lagi selesai, apa aku ngeganggu banget ya?” Tanya Beby lagi dengan ketus. “Enggak, aku emang belum ngantuk aja. Kamu nggak ngeganggu sama sekali santai aja. Yaudah kalau kamu emang mau lanjut silahkan. Aku juga lanjut mau beresin belanjaan kamu tadi.” Beby jadi ingat dengan barang yang di belinya juga di supermarket tadi. Bagaimanapun tadi ia membelanjakan keperluannya juga bukan? Ia langsung ke dapur untuk mengambil barang-barang miliknya itu. “Tadi aku juga sekalian beli keperluan aku, nanti uang yang ini bakalan aku balikan. Karena ini punya aku bukan kebutuhan rumah.” “Udah gapapa, jangan di balikin. Anggap aja itu hadiah karena kamu mau belanja untuk keperluan rumah, aku ikhlas dan nggak akan hitung. Jangan di tolak ya?” Mohon Evan, akhirnya Beby hanya bisa pasrah. “Oke, thank’s kalau gitu. Makasih juga buat minumannya.” Beby memberikan gelas yang masih dipegangnya itu kini sudah habis. Setelah itu Beby kembali masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Evan tersenyum lalu berlalu dari kamar Beby, ia mencuci gelas yang dipakai Beby itu dan menyusun barang belanjaan yang Beby beli di dalam lemari. Setelah semuanya beres barulah ia masuk ke dalam kamar. Evan memang tipe orang yang pembersih, ia terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Evan paling tidak suka dengan yang berantakan, maka melihat Beby yang sedikit berantakan dan agak malas membuat Evan sedikit kewalahan. Hanya saja ini akan menjadi adaptasi untuk keduanya, maka Evan yang sudah terbiasa melakukannya semuanya sendiri lebih baik memperbaikinya dari pada harus berdebat dengan Beby. Apalagi untuk mengenai rumah Evan tak suka barangnya di sentuh oleh orang lain, karena sangat privasi. Karena Evan juga memperlakukan dirinya sama, ia punya rumah sendiri dan melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Sehingga sangat kecil baginya kalau harus mengerjakan sendiri saat ini untuk rumah mereka sekarang. Sangat terbalik sekali dengan Beby yang selama ini sangat manja dan dilakukan oleh orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD