Hari ini semua mahasiswa HPMI Yordania yang berada di Mu’tah berkumpul, jumlahnya tidak banyak hanya sekitar lima belas orang. Lebih banyak dari negara tetangga-Malaysia yang kuliah disini. Ini kegiatan rutin yang sering mereka lakukan, selain untuk mempererat tali silaturahmi mereka biasanya juga mengadakan kegitan penggalangan dana untuk saudara muslim yang terkena konflik dan musibah.
“Alhamdulillah. Semoga keberkahan menyertai langkah dan niat kita. Hari ini dana yang terkumpul melebihi eskpektasi kita.” Abdullah si ketua organisasi bergumam dengan wajah berseri. Dia menatap semua orang yang berada dalam ruangan. Semua mengumamkan takbir. Memuji kebesaran Allah karena kemudahan yang mereka dapatkan.
“Semoga ini bisa membantu saudara kita yang ada di Palestina,”
Semua pasang mata menunduk, mendengar Palestina seolah mengingatkan mereka pada konflik yang tak berkesudahan yang terjadi disana, sungguh membuat hati siapa saja merasa teriris. Saat semua manusia terlelap, ratusan orang bahkan ribuan orang Palestina sedang bertaruh nyawa disana. Hati mereka pilu, melihat saudara mereka berjuang mempertaruhkan harta dan nyawa untuk mempertahankan tanahnya para Nabi, kiblat pertama umat muslim sebelum beralih ke Ka’bah yang berada di Masjidil Haram.
Rabiah meremas ujung jubahnya, menahan agar matanya tidak berkaca-kaca. Siapa yang tidak akan menangis, hati siapa yang tidak akan perih, ketika melihat Z****s I****l dengan kejam membabi buta menembaki dan menghujani saudara mereka dengan bom. Tidak ada belas kasih, Ibu, anak, ayah, siapa saja bisa menjadi korban. Mereka terancam di tanah mereka sendiri.
“Jangan lupa untuk menyebut mereka dalam do’a kita. Sungguh keberanian mereka hanya dimiliki oleh orang-orang yang hatinya diisi cahaya Islam. Mereka tahu, selama berpegang teguh pada Islam mereka akan mendapatkan dua hal. Menang atau syahid. Tugas kita sebagai saudara sesama muslim adalah memberikan bantuan semaksimal mungkin, jika tidak dengan tenaga maka lakukan lewat doa. Doa adalah senjata kita. Ketika jutaan orang menggaungkan doa yang sama, itu bisa menggetarkan langit. Seluruh malaikat akan ikut mengaminkannya.”
Rabiah lirih mengumamkan doa dengan bibirnya yang gemetar. Sudut matanya basah, dan dia yakin bukan hanya dia yang menangis. Semua orang yang berada di ruangan ini menangis.
“Ada berita bagus.” Seorang wanita memakai jubah panjang dan jilbab hitam, memangku anak kecil berusia dua tahun dalam pangkuannya bergumam. Rabiah tersenyum melihat si kecil Hasan yang sibuk bermain-main dengan ujung jilbab ibunya.
“Ada seorang donatur yang ingin memberikan sumbangan, tapi dia mungkin akan datang dalam beberapa jam.”
“Apa kita mengenalnya?”
“Dia sahabatku, baru pulang dari Jepang setelah menyelesaikan kuliah kedokterannya. Kalian belum pernah melihatnya.” Yang berbicara adalah suami wanita yang memangku anak kecil.
“Orang sini?”
“Rumit. Dia memiliki darah Arab dan Jepang dari ayahnya, dan Indonesia dari Ibunya, tapi sejak kecil dia sudah tinggal disini. Ke Jepang untuk melanjutkan kuliah.”
“Apa dia seorang relawan?”
“Kita bisa menanyakannya nanti, meski dia memang suka melakukan kegiatan social sejak kuliah disini. Dia hanya mengatakan ingin memberikan sumbangan saat kuberitahu tentang penggalangan dana.”
“Kalau boleh tahu, darimana kalian saling mengenal?”
Laki-laki yang ditanya mengulum senyum. “Kami sama-sama alumni Mu’tah.” Jelasnya membuat semua orang yang ada di ruangan mengangguk.
“Baik, kita bisa menunggunya sambil membahas rencana kegiatan tahunan,”
Rabiah berdiri, disusul sahabatnya Aleesha dan empat wanita lainnya, yang salah satunya wanita yang menggendong anak kecil. Mereka sudah selesai, pembahasan selanjutnya tidak membutuhkan kehadiran mereka lagi.
“Ayo, kalian harus makan. Aku sudah menyiapkan makanan enak.” Wanita yang menggendong anak kecil menuntun teman-temannya ke meja makan yang letaknya agak jauh dari ruang pertemuan mereka.
“Biar Rabiah yang gendong Hasan, kak Sofiya,” ujar Rabiah antusias mengambil alih si kecil Hasan dari Sofiya sementara wanita itu menyiapkan makanan di atas meja.
“Hati-hati, Hasan sekarang sedang aktif-aktifnya. Semalam dia menarik jilbabku, beruntung aku dan suami berada di rumah, bayangkan kalau di tempat umum,”
Rabiah tersenyum, menatap Hasan yang sekarang memain-mainkan ujung jilbabnya. Rabiah yang tidak tahan melihat pipi tembem si kecil Hasan menciumi wajahnya, membuat si kecil Hasan merengut tidak suka. Dia menjauhkan pipinya dari Rabiah, meski tidak berhasil.
“Halo sayang, apa kau tahu kalau namamu di ambil dari nama salah satu cucu Nabi kita?“ Rabiah bergumam sendiri dengan senyum merekah. Dia menggembungkan pipinya untuk menarik perhatian si kecil Hasan, dan berhasil. Bayi dua tahun itu tertawa melihat aksi lucu Rabiah.
“Kakak masak apa?” Rabiah mendekat ke meja makan dan langsung membulat tidak percaya melihatnya. Ini...dia merasa liurnya mau keluar.
“Sayur tauco, kebetulan kakak lagi rindu masakan dari Negara kita, Alhamdulillah dapat kiriman rempah dari kampung,”
Sofiya orang Indonesia yang menikah dengan penduduk asli disini. Dia dan suaminya sama-sama dipertemukan lewat jalur taaruf. Laki-laki yang menjadi suaminya sekarang tidak sengaja melihatnya saat sedang mengisi acara tahunan kampus, dan dia langsung mantap untuk mengkhitbahnya. Beruntung Sofiya tidak menolaknya, dan mereka akhirnya mengadakan akad dan jamuan sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang kerabat dekat dan juga sahabat keduanya, dan Rabiah hadir saat acara sakral itu terjadi. Dia yang awalnya tidak pernah memikirkan tentang pernikahan berubah saat meliat bagaimana pernikahan Sofiya dengan suaminya yang begitu khidmat dan penuh berkah. Dua orang yang tidak saling mengenal di satukan dalam ikatan pernikahan. Sungguh, hatinya menangis kala itu, namun dia berusaha kuat, karena yakin setiap orang memiliki waktunya masing-masing.
“Tapi…apa tidak mahal kak?” Aleesha yang bertanya. Dia juga langsung tergiur melihat makanan menggugah selera di atas meja makan.
Itu pertanyaan wajar, mengingat rempah-rempah disini lumayan mahal, karena minimnya dan untuk meminta ke kampung rasanya selain merepotkan, biaya yang di keluarkan juga pasti tidak sedikit, meski keluarga Safiya termasuk orang yang berada, tapi Rabiah tahu kalau selama mengenalnya, wanita yang sering menasehatinya itu orang yang bersahaja.
“Oh ini tidak seperti yang kalian fikirkan. Rempah ini dititpkan pada sepupu kakak yang kebetulan pulang ke Indonesia, nah saat kakak tahu dia juga akan kesini, kakak meminta ini sebagai oleh-oleh.”
Aleesha dan Rabiah sama-sama ber Oh ria. Ini menjelaskan darimana semua bahan-bahan membuat sayuran berkuah tauco ini dibuat. Memakan makanan Indonesia memiliki keistimewaan sendiri bagi mereka sebagai anak rantau di Negara orang. Tidak setiap saat mereka bisa menikmati makanan seperti ini. Tidak salah, mereka kadang suka berguyon mengatakan ini makanan mahal.
Hasan kecil yang mulai bosan digendong mulai berontak minta di lepaskan, membuat perhatian Rabiah teralihkan. Sofiya yang melihat keuletan Rabiah dalam menangani si kecil Hasan tersenyum.
“Ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat?”
Deg
Rabiah yang sedang mengajari Hasan kecil berdiri menatap Sofia terkejut. Kenapa akhir-akhir ini bahasan orang-orang terdekatnya selalu menikah? Apa wajahnya sudah setua itu? Rabiah melirik Aleesha yang sibuk bercengkrama dengan sahabat mereka yang lain.
“Kakak sama Aleesha kompak banget loh. Tuh, si Aleesha juga kemarin bahas nikah, mungkin sebentar lagi ada yang mau di khitbah.” Rabiah memutuskan melempar umpan pada Aleesha.
“Selama orangnya baik dan bertanggung jawab, aku fikir tidak ada alasan untuk menolaknya,” Aleesha tersenyum manis membalas ucapan Rabiah.
“Bagaimana denganmu Rabiah. Jika ada yang mengajak ta’aruf apa kamu sudah siap?”
Aduh. Apa yang harus dia katakan? Ini bukan hanya tentangnya, tapi juga kedua orang tuanya. Dia tidak mungkin mengambil langkah besar saat masih memiliki wali. Abi-nyalah yang paling berhak memutuskan tentang pendamping hidupnya, meski dia yakin Abi tidak akan membuat keputusan tanpa diskusi terlebih dahulu dengannya. Salah satu tanggung jawab wali selain memberikan nafkah, pendidikan,dan perhatian adalah mencarikan pendamping hidup untuk putrinya. Meski anak perempuan memiliki hak untuk menolak jika dia tidak setuju dengan pilihan walinya, selama dengan alasan yang baik. Bagaimana jika keduanya memiliki calon masing-masing? Maka disinilah disarankan untuk diskusi dan istikharah. Memilih yang terbaik sesuai dengan tuntunan islam, karena tanggung jawab seorang ayah terhadap putrinya hanya akan habis jika putrinya meninggal atau ayahnya yang meninggal. Inilah kenapa peranan orang tua besar dalam kehidupan putrinya ataupun anak-anaknya. Seorang ayah adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban bagaimana memimpin keluarganya kelak di akhirat. Berat? Sudah pasti. Itulah kenapa beberapa ayat Alqur’an menekankan tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, karena tugas dan tanggung jawab mereka amat berat dihadapan Allah kelak.
“Rabiah tergantung Abi kak, beliaulah yang paling berhak memutuskan tentang pendamping Rabiah.” Dia akhirnya mengungkapkan pemikirannya.
“Punya kriteria tertentu?”
Rabiah tersenyum tipis. “Harus paham agama dan memiliki akhlak yang baik.”
“Bagaiman jika kulitnya hitam? Atau wajahnya jelek?”
“Julaibib yang kulitnya hitam legam, dan bertubuh pendek adalah makhluk yang dirindukan surga Kak, dan dia menikahi gadis bangsawan yang cantik jelita, para bidadari surga bahkan merindukannya.” Tutur Rabiah tersenyum “Kulit dan wajah adalah bentukan fisik yang pasti tetap menjadi ciptaan Allah yang sempurna. Jika dianugerahi pendamping dengan fisik yang baik, Allah menuntut kita untuk lebih banyak bersyukur, begitupun sebaliknya, tapi islam memberikan solusinya. Agama menjadi tolak ukur dalam memilih pasangan hidup, dan soal fisik? Itu adalah bonus yang Allah berikan, bagaimanapun Rabiah lebih mengutamakan agama dan akhlak yang baik. Dan soal wajahnya? Selama dia bisa menjaga kebersihan diri, Rabiah insyaAllah tidak masalah Kak,”
“Jawabanmu membuat kakak tenang.”
“Apa?”
Sofiya menggeleng. “Bukan apa-apa. “
Rabiah mengernyit namun memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Dia kembali memusatkan perhatian pada si kecil Hasan.
“Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga,”
Samar telinganya mendengar percakapan dari ruang tamu. Apa itu donatur yang mereka tunggu? Ruang tamu dengan ruang makan dibatasi pintu yang ditutupi sekat dari kain, yang membuat pandangan ke depan menjadi terhalang.
“Ahlan wa Sahlan, Ghibran.” Seruan ramah dan penuh persahabatan itu samar terdengar telinganya.
Ghibran?