Om Dokter

1405 Words
Rabiah menenteng kantong plastik hitamnya dengan sedikit kepayahan. Terik matahari yang membakar membuat peluh menetes dari keningnya. Ini siang-saat sinar mentari sedang panasnya membakar bumi. Rabiah menyapu peluh dari keningnya dengan tangannya yang bebas. Ini hari yang sibuk, meksi begitu dia menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarga yang sudah alam tidak dia kunjungi. Sudut mulutnya terangkat, saat sinar keemasan membalut Mu’tah disegala penjuru. Laa hawla walaquwwata illabillah hil aliyil adzim Pandangannya sekali lagi menyapu setiap sudut pasar, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Saat yakin tidak ada yang mengikuti, Rabiah langsung memasuki lorong sempit yang membawanya masuk semakin dalam. Bunyi kresek dari kantong yang dibawanya membuat beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya menatapnya curiga. Rabiah hanya menundukkan pandangan dan bergegas mempercepat langkahnya. “Assalamu’alaikum,” serunya pelan saat kakinya tiba didepan sebuah rumah beton sederhana yang warna catnya sudah memudar. “Wa’alaikumussalam,” balasan samar yang ditangkap telinganya membuat senyumnya mengembang. Dia menunggu, dan tidak berapa lama seorang gadis kecil dengan potongan rambut sebahu berdiri dan tampak senang melihat kedatangannya. “Kak Rabiah,” seru gadis kecil itu menghambur kepelukan Rabiah, yang langsung dibalas Rabiah sama antusiasnya. “Apa kabar Sarah?” tanyanya saat menatap tubuh kurus di hadapannya. Rabiah berusaha keras menahan bongkahan yang rasanya menyumbat tenggorokannya. Gadis berusia tujuh tahun yang dipanggil Sarah menarik tangan Rabiah dengan semangat. Tangannya cekatan membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “Sarah baik Kak. Ayo masuk,” “Ibu dimana?” tanyanya saat melihat ruang tamu lengang. “Di kamar kak,” “Apa semua baik-baik saja?” Sarah yang berjalan didepan menoleh pada Rabiah. “Alhamdulillah. Semua masih terkendali,” kekehnya berusaha mencairkan suasana. Rumah ini masih sama seperti terakhir kali dia datang. Tidak banyak perabot yang mengisi rumah ini. Hanya ada kursi lusuh yang warnanya sudah pudar dan beberapa peralatan makan sederhana. Dinding rumah ini juga mulai mengelupas, dengan lantai yang mulai retak dibeberapa bagian. “Ini,” Rabiah menyerahkan kantong yang sejak tadi dibawanya pada Sarah yang disambut gadis kecil itu dengan senyum lebar. Dia terlihat bahagia, membuat Rabiah yang melihatnya berusaha keras menahan matanya agar tidak berkaca-kaca. Begitu mudahnya membuat gadis kecil ini bahagia. “Terima kasih Kak,” pekiknya riang saat menatap isi kantong yang dibawa  Rabiah. Ada beberapa bahan makanan dan juga cemilan untuk anak-anak. “Sama-sama. Kakak tengok Ibu sebentar ya,” Sarah mengangguk saat melihat Rabiah melenggang memasuki kamar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya kembali sibuk mengeluarkan bawaan Rabiah, dan dengan semangat meletakkannya didapur yang didapuk sebagi tempat makan sekaligus ruang keluarga mereka. Rabiah menatap tubuh kurus yang terbaring dikasur dengan mata terpejam. Dia tahu wanita itu tidak tidur, dia mungkin sedang menahan rasa sakit yang amat sangat sekarang. Tangannya dengan lembut menyentuh kening wanita itu, kemudian meletakaan tangannya di keningnya sendiri. “’Alhamdulillah, tidak panas.” gumam Rabiah lega saat merasakan suhu wanita yang terbaring disampingnya tidak begitu panas. “Rabiah? Kapan kamu datang Nak?” tanya wanita yang terbaring saat menyadari kehadiran Rabiah. “Baru saja. Rabiah tadi mampir sebentar ke pasar, sekalian jenguk Ibu. Sudah lama juga Rabiah tidak kesini. Apa semua baik-baik saja? ada yang sakit? Atau Ibu butuh sesuatu?” Wanita dengan rambut yang mulai ditumbuhi uban di kepalanya tersenyum lebar mendengar rentetan pertanyaan Rabiah. “Ibu hanya demam, bukan sedang sekarat, Nak. inshaAllah akan segera membaik. Bagaimana denganmu? Apa semua baik-baik saja? atau apa sudah ada pemuda yang berhasil menarik hatimu?” Rabiah tertawa pelan mendengar kalimat tarakhir yang diucapkan wanita itu. Ini kenapa semua orang dekatnya kompak membahas pernikahan dengannya ya? “Kenapa tertawa?” Rabiah menggeleng. “Bukan apa-apa Bu, hanya saja beberapa hari terakhir sepertinya semua orang kompak menanyakan tentang pendamping hidup Rabiah,” “Itu mungkin isyarat bahwa sudah waktunya kamu menikah Nak. Apa masih belum ada pemuda yang berhasil menarik perhatianmu? Tidak adakah pemuda dari negaramu atau darisini yang berhasil membuat hatimu bergetar?” “Mungkin belum waktunya.” “Apa kau sudah siap jika ada yang mengajak ta’aruf? Pertanyaan ini lagi, batinnya heran sendiri. Ini ketiga kalinya pertanyaan ini menghampirinya, membuatnya heran sendiri. “Rabiah tidak tahu Bu,” jawabnya jujur. Dia memang belum yakin untuk menikah dalam waktu dekat. Hanya saja, semua mungkin akan berubah jika dia betemu dengan orang yang tepat. Dia tidak pernah membuat tenggat waktu mengenai pernikahan. Baginya, selama yang datang sesuai dengan kriteria yang dia tetapkan, maka tidak masalah jika harus menunggu lebih lama ataupun sebaliknya. Pernikahan adalah ibadah terlama, dan dia ingin melakukannya dengan orang yang mempunyai misi yang sama dengannya. “Kak Rabiah. Hari ini kita belajar apa?” Sarah tiba-tiba datang menginterupsi percakapan mereka. Rabiah yang merasa diselamatkan merentangkan tangan, meminta Sarah mendekat. “Bagaimana kalau hari ini kita bercerita?” serunya lembut membelai kepala gadis kecil itu. “Cerita?” “Oya, kita bisa bercerita tentang bapaknya para Nabi. Apa Sarah tahu siapa bapaknya para Nabi?” Sarah menggeleng sebagai balasannya. “Dia adalah Nabi Ibrahim yang mendapat julukan sebagai Bapaknya para Nabi. Kenapa? Karena banyak keturunan Nabi Ibrahim yang diangkat sebagai utusan Allah.” Rabiah menatap Sarah kecil yang duduk memandangnya dengan sorot mata ingin tahu. Anak kecil ini sudah melalui banyak hal yang membuat Rabiah kagum sekaligus kasihan. Dia bertemu dengan keluarga kecil ini saat sedang berbelanja disalah satu pasar tradisinonal Mu’tah. Rabiah yang saat itu sedang memilih-milih sayuran bertemu pandang dengan seorang anak kecil yang menatapnya dengan mata bulat lebar dan bibir kering. Rabiah langsung tahu kalau anak ini kelaparan. Saat itulah segalanya dimulai. Rabiah akhirnya membantu mereka mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dan Sarah akhirnya bisa bekerja sebagai penjual buah-buahan didekat tempat tinggal mereka yang baru. Jika ada satu hal yang masih mengganjal dalam dadanya itu adalah luka lebam yang dia dapati disekujur tubuh Ibu Sarah yang sampai sekarang masih meninggalkan misteri baginya. Hanya saja, Ibu Sarah memilih bungkam, membuat Rabiah akhirnya memutuskan kalau mereka belum siap untuk menceritakannya “Kakak melamun?” Rabiah sontak menoleh dan tersenyum kecil menatap mata cokelat Sarah. “Kakak hanya teringat sesuatu,” “Tidak jadi cerita?” tanyanya polos dengan mata bulatnya yang besar. “Sarah suka dengar kakak cerita?” “Sukaaa. Suara Kak Rabiah lembut, seperti air mengalir,” Rabiah tidak bisa menahan senyumnya mendengar pujian tak terduga Sarah. “Suara Sarah juga indah, kak Rabiah suka.” “Apa kamu masih aktif dengan kegiatan organisasimu itu?” Ibu Aminah yan sedang terbaring di kasur bertanya penasaran. Rabiah menoleh. “Masih Bu. Rencananya nanti kami akan mengadakan penggalangan dana untuk saudara kita yang ada di Palestina,” “Siapapun yang berhasil mempersuntingmu dia benar-benar laki-laki yang beruntung,” “Atau mungkin Rabiah yang beruntung karena memilikinya sebagai imam.” “Tidak adakah yang menarik perhatianmu di tempat ini? Ibu yakin banyak laki-laki soleh disini?” “Rabiah tidak ingin menaruh harap pada seseorang yang belum tentu jadi jodoh Rabiah, Bu. Jika kami jodoh Allah yang akan membukakan jalan untuk mempertemukan kami.” “Ibu senang mendengar jawabanmu Nak. Itu adalah jawaban seorang muslimah yang mengerti bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, lebih dari itu. Seseorang yang menaruh harap pada Tuhannya tidak akan pernah mereguk kekecewaan dan kamu memahaminya dengan baik.” “Gak jadi cerita ya?” Rabiah dan Ibu Aminah tertawa melihat wajah cemberut Sarah. “Baiklah. Mari kita mulai dengan…,” Ucapannya terhenti saat mendengar ketukan di pintu depan. Baik Rabiah maupun Ibu Aminah sama-sama saling memandang. Namun, Sarah kecil sudah berlari menuju pintu. “Apa Ibu mengenal seseorang di tempat ini?” tanya Rabiah bingung mengingat selama dia berkunjung tidak pernah ada orang yang datang ke rumah ini. Mereka  pendatang di tempat ini dan berhubung Ibu Aminah sakit-sakitan komunikasi dengan orang lain menjadi jarang dilakukan. “Itu pasti Om dokter kesayangannya,” ucap Ibu Aminah mengulum senyum. Om dokter? “Ini, Om bawa boneka untuk Sarah,” “Wah, makasih Om. Ada makanan juga?” Tawa renyah yang ditangkap telinga Rabiah membuatnya penasaran pada sosok yang berhasil membuat anak kecil itu berlari hanya untuk menyambutnya. “Sarah lapar?” “Iya, tapi Kak Sarah juga bawa makanan,” “Kak Sarah?” “Ayo Om, Sarah kenalkan pada Kak Rabiah yang cantik,” Derap langkah kaki yang terdengar nyaring mau tak mau membuat Rabiah mendongak. Menunggu sosok yang membuat keluarga ini bahagia hanya dengan kedatangannya. Siapa orang baik itu? “Ini, Kak Rabiah,” celoteh Sarah riang dengan tangan tertaut pada seorang pria bertubuh tinggi tegap. Rabiah menganggkat kelopaknya dan saat pandangan mereka bertemu baik Rabiah maupun laki-laki itu sama-sama terkejut. Si pemilik payung?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD