Rabiah menemukan dirinya mematung sesaat, saat bertemu pandang dengan sosok yang dipanggil Sarah sebagai om dokter. Bagaimana bisa? Bukankah laki-laki ini tinggal di Amman? Rabiah menggeleng, dia tidak pernah bertanya dia hanya menarik kesimpulan asal.
Sementara itu disisi lain, Ibu Aminah yang melihat kebekuan dua orang di depannya hanya bisa mengulum senyum.
“Kita bertemu lagi.” ujar laki-laki itu ramah yang dibalas Rabiah dengan anggukan singkat.
“Om, Dokter sudah pernah bertemu dengan Kak Rabiah?” Sarah bertanya penasaran mendengar ucapan Om dokternya.
Laki-laki itu mengangguk. “Hanya dua kali. Apa dia orang yang sering Sarah bicarakan?”
Sarah mengangguk antusias. “’Iya. Kak Rabiah cantikkan Om?”
Laki-laki itu tertawa pelan namun langsung berhenti saat melihat gelagat tidak nyaman Rabiah. Gadis pemalu, batinnya menyimpulkan.
“Kita belum berkenalan. Namaku Ghibran Arfan Alhusayn, kamu bisa memanggilku, Ghibran.” Ghibran hanya mengangkat tangan sebagai salam perkenalan, tidak mengulurkan tangan, karena tahu, Rabiah tidak akan mau bersentuhan dengannya.
Rabiah menangkup kedua tangannya didada. “Rabiah Qulaibah Nazhifah. Anda bisa memanggilku Rabiah,”
“Anda? Kamu bisa memanggil namaku, atau namaku terlalu sakral untuk diucapkan?” kedua alisnya terangkat meski senyumnya mengembang. Dia bermaksud mencairkan kebekuan mereka, namun sepertinya tidak dengan Rabiah. Gadis itu terlihat tidak nyaman. Apa yang salah?
“Apa kamu tidak sibuk Ghibran? Bukankah dokter sepertimu biasanya memiliki jam terbang yang lebih padat dari presiden?” Ibu Aminah bertanya saat melihat kekikukan Rabiah. Dia tahu Rabiah tidak nyaman, namun laki-laki ini sepertinya tidak menyadarinya.
“Ghibran hanya berkunjung sebentar untuk melihat keadaan ibu, dan Ibu benar. Sepertinya Ghibran akan jarang kesini, sebentar lagi organisasi yang Ghibran ikuti akan mengadakan penggalangan dana untuk orang Palestina.” Terangnya setuju.
Rabiah tersentak. Kenapa dia merasa kalau laki-laki ini tidak asing saat dia menyebutkan tentang organisasi? Tunggu! Matanya menatap Ghibran penasaran.
“Apa…Mas Ghibran donatur baru yang memberikan sumbangan pada ketua HPMI di Mu’tah?” tanya Rabiah setelah mengingat tentang donatur baru di organisasi kemanusiaan yang dia ikuti dari kampus. Dia baru ingat, nama donatur itu juga Ghibran. Apa mereka orang yang sama?
Ghibran terlihat terkejut mendengar pertanyaan Rabiah. Darimana gadis ini tahu?
“Apa kamu salah satu anggota HPMI di Mu’tah?” tanyanya balik. Dia tidak berfikir kalau Rabiah orang Indonesia, meskipun wajahnya terlihat ayu dan kuning langsat, semula dia fikir Rabiah orang Malaysia mengingat lebih banyak mahasisiwa Malaysia yang memilih kuliah di tempat ini.
Rabiah mengangguk. “Rabiah sempat dengar tentang donatur baru di organisasi dan namanya Ghibran. Apa itu orang yang sama dengan, Mas?” tanya Rabiah memastikan. Dia fikir donatur baru mereka akan terlihat seperti orang Arab kebanyakan. Meski postur tubuhnya tinggi dengan mata cokelat emas, tapi dia memiliki kulit lebih putih dibanding orang Arab yang kebanyakan memiliki kulit cokelat kemerahan, di tambah, bentuk matanya lebih kecil-mata yang mengingatkanmu pada penduduk Asia Timur.
“Ya, aku orang yang sama dengan yang kamu ceritakan. Aku alumni universitas Mu’tah dan Alzam adalah teman satu kampusku. Sejak dia menikah dengan orang Indonesia itu dan aku memutuskan melanjutkan kuliah di Jepang, kami belum pernah bertemu meski komunikasi masih berjalan. Dan saat dia tahu aku akan pulang dia menceritakan tentang kegiatan yang sedang mereka selenggarakan.” Jelas Ghibran panjang lebar menatap Rabiah sedikit lebih lama.
Sarah memandang dua orang dewasa didepannya dengan cemberut. Mereka sepertinya lupa dengan kehadirannya. Bukankah tadi kak Rabiah mau bercerita? Dan Om dokter katanya Cuma sebentar disini. Tapi kenapa tidak ada satupun dari mereka yang melakukan apa yang mereka katakan?
“Kak Rabiah gak jadi ceritanya?” tanyanya kecewa, karena merasa diabaikan.
Rabiah segera memalingkan pandangan. Sudut mulutnya terangkat melihat bibir Sarah yang mengerucut.
“Maaf sayang, Kak Rabiah hampir saja lupa.” Waktunya hanya sebentar disini. Jika dia bercerita, kemungkinan memasak untuk penghuni rumah ini tidak akan terlaksana.
“Bagaimana kalau kita memasak?” tanyanya menatap Sarah sumringah.
“Sarah boleh ikut memasak?” tanyanya terdengar senang dengan ide Rabiah.
“Tentu boleh Sayang. Ayo, sekarang kita ke dapur nanti kalau Ibu lapar makanannya sudah siap,”
Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya penuh semangat membuat rambut panjangnya ikut berkibar. Tangannya menarik Rabiah menuju dapur yang hanya dibatasi oleh pintu dari ruang tamu mereka, sepenuhnya lupa dengan kehadiran Ghibran. Sepertinya ide memasak benar-benar membuatnya sangat antusias.
“Dia gadis yang baik dan juga amat cantik.” Ibu Aminah berkomentar begitu punggung Rabiah menjauh.
Ghibran hanya mengedikkan bahu sebagai balasannya.
“Siapapun yang berhasil menikahinya, dia benar-benar laki-laki yang beruntung,”
Lipatan di dahi Ghibran melebar mendengar ucapan Ibu Aminah. “’Maksudnya Bu?”
“Apa pendapatmu tentang Rabiah, Ghibran?”
Ghibran mengulum senyum saat tahu maksud dibalik perkataan Ibu Aminah. Bagaimana pendapatnya tentang Rabiah? Dia tidak tahu, pertemuan yang bisa dihitung dengan jari tidak lantas membuatnya tahu bagaimana kepribadian gadis itu. Namun satu hal yang pasti. Ia bukan laki-laki yang tepat untuk Rabiah, jika maksud pertanyaan Ibu Aminah untuk membuat mereka menjadi dekat. Wanita seperti Rabiah biasanya mencari sosok yang dekat dengan agama dan juga Tuhannya, dan Ghibran jelas tidak akan pernah memenuhi dua keadaan itu.
“Sepertinya Baik,” balas Ghibran pendek.
“Hanya itu?”
“Ghibran kan baru bertemu beberapa kali dengannya Bu, Ghibran tidak bisa membuat kesimpulan apapun.”
“Apa dia cantik?” sepertinya Ibu Aminah masih belum puas dengan jawaban Ghibran.
“Tentu saja cantik. Tapi bukankah semua wanita memang cantik?” kekeh Ghibran saat melihat Ibu Aminah memutar mata.
“Cantik saja tidak cukup Ghibran. Rabiah gadis yang amat cantik, dan itu bukan hanya karena wajahnya tapi juga kepribadiannya. Kau tahu? Dia adalah orang pertama yang mengulurkan bantuan saat Ibu mengalami kesulitan. Tanpa bertanya bahkan tanpa mengenal Ibu dia memberikan bantuan dan mengulurkan tangan. Dia gadis yang amat baik. Dia seperti permata yang kilaunya bisa menarik perhatian siapapun yang melihatnya.”
“Dan maksud Ibu mengatakan ini adalah?” tanya Ghibran tidak mengeri meski senyum masih menghiasi wajahnya.
Ibu Aminah mendesah. “Kau benar-benar tidak peka, Nak. Apa kau tahu kenapa Ibu menceritakan ini semua?”
Ghibran menggeleng.
“Agar kau tahu bahwa permata yang selama ini kau cari bisa saja kau temukan disini,”
Ghibran terpaku mendengarnya. Cukup terkejut dengan penuturan Ibu Aminah. Apa gadis itu begitu intimewa hingga Ibu Aminah berusaha begitu keras meyakinkannya? Padahal selama ini Ibu Aminah tidak pernah menyinggung hal seperti ini kepadanya.
“Ghibran bukan laki-laki yang tepat untuk Rabiah Bu,”
“Dan darimana kau tahu itu?”
Ghibran mengulum senyum, tiba-tiba ingat bahwa keluarga ini belum mengetahui seluk beluk keluarganya dan juga kepribadiannya. Wajar saja, Ghibran tidak pernah bercerita dan dia memang tidak ingin bercerita.
“Gadis seperti Rabiah harus mendapatkan laki-laki terbaik, dan Ghibran tidak akan pernah memenuhi kriteria itu.”
“Kau tampan, baik, punya pekerjaan tetap, dan juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ibu yakin siapapun wanita yang bersamamu dia orang yang beruntung, dan Ibu berharap wanita itu adalah Rabiah.”
Ghibran tidak bisa menahan tawanya mendengar pujian berlebihan Ibu Aminah mengenai dirinya. Ah, dia sangat menyukai keluarga ini. Begitu sederhana dan tidak pernah mengeluh. Dia iri. Andai dia memliki keluarga seperti ini.
“Kenapa Ibu begitu keukeh ingin membuat Rabiah dan Ghibran dekat?”
“Karena Ibu menyayangi kalian Nak. Kalian orang yang baik, dan Ibu hanya ingin melihat kalian bertemu orang-orang yang baik. Dan melihat kalian berdua Ibu punya firasat kuat tentang hal itu,” Ibu Aminah menatap Ghibran lamat. Jangan sampai mereka mengalami apa yang dia alami.
Ghibran terhenyak mendengar pengakuan tulus Ibu Aminah. Orang yang memiliki hati seluas samudera bisa menyayangi siapapun dengan begitu tulus meski dia bukan siapa-siapa.
“Percayalah Bu. Ghibran bukan ingin memutuskan harapan Ibu dan Ghibran tahu maksud Ibu baik, hanya saja, Ghibran bukan laki-laki yang cocok untuk Rabiah. Takdir kami jauh berbeda, bagai langit dan bumi.” Tuturnya lembut tidak ingin memperpanjang pembahasan. Ini benar, andai mereka tahu kebenaran tentang dirinya mereka mungkin akan menjauh. Tapi inilah dirinya dan dia tidak menyesali itu sama sekali.
Rabiah…nama yang indah, tanpa sadar hati Ghibran menggumam mengingat gadis dengan semburat kemerahan itu.