Tanpa disadari oleh sang gadis sendiri, semenjak saat itu ia seperti memiliki sebuah kekuatan yang benar-benar berbeda dibanding gadis seumurannya. Tak hanya itu; karena semenjak pertemuan dengan makhluk yang disakralkan oleh penduduk desa, masalah rejeki juga sudah tidak lagi menjadi kendala bagi keluarganya jika hanya diukur sebatas perut kenyang dan sedikit uang jajan.
Mungkin saja, hal tersebut bisa terjadi setelah Wulan mengucap permintaan pada saat melihat Mimi dan Mintuno itu. Namun, entahlah … karena bisa saja hal tersebut hanya merupakan suatu kebetulan belaka.
Sebab, apa yang membuat si gadis kecil menjadi sedemikian kuat dan perkasa pada hari-hari selanjutnya, tentunya juga bukan merupakan satu hal yang bersifat instan. Karena hari demi hari yang dilaluinya, selalu saja diisi dengan paket lengkap olah fisik yang cukup berat secara rutin.
Bayangkan saja … setiap harinya, gadis sekecil itu semenjak pagi sudah merendam tubuhnya di sungai untuk mencuci pakaian dan lainnya sebelum mandi. Setelah sarapan ala kadarnya namun penuh vitamin organik, ia berangkat ke sekolah dengan menempuh perjalanan selama tigapuluh menit berjalan kaki menyusur lembah dan ngarai.
Kaki-kaki mungil namun kokoh itu, pada siang harinya juga sudah siap untuk kembali berjalan pulang menjumpai sang ibu yang hanya bisa berdiam lemah di dalam rumahnya. Setelah menyiapkan maksn siang bagi sang ibu, Wulan pun segera bertualang untuk memasuki hutan demi dapat menemukan apapun yang bisa digunakannya dalam bertahan hidup.
Dengan kebiasaan yang seperti itu, sebenarnya tidaklah mengherankan jika gadis tersebut akhirnya terbentuk menjadi seseorang yang tangguh dalam hal fisik. Apalagi keikhlasan hati yang tiada pernah lepas dari dirinya, dengan serta merta telah saja melahirkan sosok yang sedemikian bijak dalam usia belia.
Wulan tak pernah mengeluh, dan ia bahkan merasa senang dengan segala pengorbanan yang bisa dilakukan untuk membahagiakan Ibunya. Walau hanya berupa sepiring ubi hutan atau buah-buahan liar, itu tidaklah menjadi terlalu penting. Sebab, apa yang mereka makan adalah sesuatu yang benar-benar menyehatkan jiwa serta raganya.
***
“Selamat malam, Ki …” sapa Bayu kepada seorang tua bertubuh sedang berpakaian hitam-hitam.
“Selamat malam, Ki Jalitheng …” seorang gadis belia dibelakang bocah lelaki itu turut menyapa.
“Selamat malam, Le … Genduk … hai, kau bawa apa itu?” jawab orangtua yang terlihat bijak tersebut sambil terus menanyakan sebuah cepon yang dibawa oleh Wulan.
“Singkong, Ki … malam ini, aku mau merebus singkong agar bisa dimakan oleh Ki Jalitheng dan kakak-kakak lain seusai latihan,” jawab si bocah perempuan itu sambil tersenyum.
“Ah … anak baik. Selalu saja kau membawa sesuatu untukku. Bahkan, tempat ini juga jadi bersih dan rapi karena tangan kecilmu itu. Terima kasih, Nduk …” Jalitheng menanggapi haru jawaban Wulan tersebut.
“Sama-sama, Ki …”
“Hmmm … hanya satu yang aku herankan. Wulan, boleh Aki bertanya padamu untuk sekali lagi?”
“Apakah itu, Ki? Kalau Aki bertanya tentang mengapa aku tak mau ikut berlatih silat, jawabanku tetap sama … Ki Jalitheng tahu, aku tak suka berkelahi. Lagi pula, mana ada anak perempuan harus pandai berkelahi seperti pendekar itu? Hi hi hi …” Dengan kenes, gadis yang belum juga genap berumur lima belas tahun itu menjawab.
Selalu dan selalu, ia menolak tawaran tersebut setiap kali datang ke tempat itu. Dan lucunya, sang Aki sebagai guru silat di padepokan tersebut seolah juga tak pernah bosan menawarinya untuk berlatih.
“Cucu yang cantik … anak perempuan juga butuh ilmu itu untuk membela diri jika diganggu oleh orang jahat.” Tak mau kalah, Jalitheng terus mencoba membuat Wulan tertarik.
“Siapa juga yang mau ganggu aku, Ki … desa ini aman, meskipun tanpa seorangpun yang kumiliki, aku pasti akan selalu dijaga oleh semua paman dan kakak yang ada di kiri kanan rumah.” Bibir tipis itu kembali menjawab dengan senyum yang sungguh menggemaskan.
“Berlatih kanuragan itu, bukanlah memiliki tujuan hanya untuk berkelahi. Olah raga agar tubuh menjadi sehat dan bugar, adalah tujuan utama dari latihan yang dilakukan oleh teman-temanmu.” Dengan sabar, lelaki tua itu menjelaskan untuk memberi sebuah pengertian dalam diri si bocah perempuan.
“Iya, Ki … aku tahu. Tapi, rasanya tubuh ini sudah cukup berolah raga disepanjang hari. Mencuci, membantu mencarikan rumput untuk paman Gendon, menyelam berburu ikan … ah, belum lagi jalan kaki selama satu jam bolak-balik pulang dan pergi ke sekolah. Aki nggak kasihan sama aku kalau malamnya harus juga ikut latihan silat?”
Dengan panjang lebar, gadis kecil itu memberikan ceramah pada lelaki yang cukup disegani di kampung itu. Adat si dara belia memang demikian, karena selalu saja ia merasa bebas untuk bermanja pada lelaki itu tanpa dirinya sendiri menyadari.
“Uh, dasar … anak jaman sekarang pada pinter ngomong. Ya sudah, sana rebus singkong yang kamu bawa. Sebentar lagi, latihan akan dimulai.”
“Iya, Ki … aku pamit ke dapur untuk mengambil periuk.”
“Ambillah … buat api unggun di tempat biasa saja agar sekalian bisa menghangatkan lapangan tempat mereka berlatih.”
“Baiklah … sekalian aku nonton latihan. Senang rasanya kalau bisa melihat banyak yang jatuh bangun kesakitan kena pukulan dan tendangan … hi hi …”
---
Mendengar jawaban tersebut, langsung saja sang penguasa padepokan geleng-geleng kepala melihat kebengalan si gadis yatim piatu. Dalam hatinya, ia sangat menyukai bocah perempuan periang yang hampir belum pernah didengarnya mengeluh.
Secara rutin, Wulan memang selalu mengunjungi padepokan silat miliknya disaat Bayu berlatih. Dua bocah yang menjalin persahabatan tulus dan sedemikian manis itu, tampaknya telah memikat naluri kebapakan Ki Jalitheng.
Bayu Santosa, di desa ini siapakah yang tak kenal dengan sang anak Kepala Desa tersebut? Namun dengan segala ketenaran serta harta yang dimiliki, bocah laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyombongkan kedudukan orangtua.
Bahkan, semenjak kecil si bocah laki-laki malah terlihat akur dan sangat akrab dengan Wulan yang merupakan gadis miskin tanpa seorang ayah. Hal itu, tentu saja tak lepas dari didikan kedua orangtuanya yang sudah dikenal sebagai orang baik hati.
Lalu Nawang Wulan, si kenes yang diibaratkan bunga sedang mulai mekar. Gadis kecil itu, tentu saja telah memancing kekaguman dalam hati Jalitheng. Betapa tidak menjadi begitu? Sebab, lelaki tua itu sangat mengetahui ketabahan dan ketangguhan anak kecil sebatang kara yang selama ini mampu bertahan hidup sendiri.
Sebelum ditinggalkan pergi oleh mendiang ibunya beberapa bulan lalu, selama bertahun-tahun justru gadis itulah yang mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Meskipun bisa dikatakan sangat sederhana, tapi gadis manakah dalam seusia itu yang bisa terus bertahan tanpa merasa lelah menjadi tulang punggung keluarganya?
Sebenarnya; baik Jalitheng sendiri, maupun ayah Bayu dan beberapa orang lainnya sudah berusaha menawarkan diri untuk turut membantu merawat Nawang Wulan. Namun si gadis menolak semua itu.
Dan jawabannya pada siapapun, selalu saja sama, “Aku ini anak alam. Bumi dan langit adalah Ayah dan Ibuku. Dan semua isi semesta ini, adalah saudara serta teman yang akan selalu membantuku disaat susah. Paman, kakek dan semua saudara, janganlah bersedih dengan selalu memikirkan aku. Percayalah, Nawang Wulan akan menjadi seseorang yang besar dalam hidupnya nanti …”
---
Lelaki tua tersebut terus saja mengamati gerak-gerik Wulan yang terlihat sangat gesit. Malam yang cerah dengan berjuta bintang bertabur dilangit, menghadirkan udara dingin ditengah halaman padepokan yang diterangi nyala api obor dibeberapa sudut.
Tampak cekatan, si gadis belia menyalakan api unggun dengan menggunakan kayu bakar di tempat yang sudah disediakan. Tak lama kemudian, sebuah ketel berisi singkong telah tertumpang diatasnya untuk direbus.
Jalitheng, lelaki yang tak pernah diketahui asal usulnya. Mengenai jumlah usianya, tak seorang warga pun yang dapat mengerti dengan pasti. Namun menilik penuturan para sesepuh kampung, bisa diperkirakan jika Jalitheng sudah memiliki umur yang lebih dari delapan puluh tahun.
Hal tersebut didasarkan pada cerita tetua yang mengatakan bahwa sosok yang kini mengajar para muda untuk berlatih silat, adalah orang yang sudah menetap di kampung tersebut semenjak para tetua kampung masih kecil.
Lelaki itu hanya datang dan membuka lahan yang dulunya merupakan hutan tanpa pemilik, lalu hidup sendiri dengan cara bertani dan berburu. Karena begitu tertutupnya sifat Jalitheng di masa lalu, tak banyak orang yang tahu siapa sesungguhnya orang tersebut.
Ada yang menebak-nebak, jika lelaki tersebut adalah buronan tentara Belanda di masa itu. Lalu ada juga yang menduga, jikalau ia merupakan seorang prajurit kerajaan yang bersembunyi. Entahlah mana yang benar, karena penduduk desa waktu itu telah langsung tak mempermasalahkan kehadirannya saat mengetahui desa mereka menjadi aman setelah kedatangan lelaki itu.
Konon katanya, seorang maling yang tertangkap di masa dulu pernah membuka rahasia jika ia adalah seorang mantan begal dengan kepandaian ilmu bela diri yang tinggi. Bahkan kabar angin yang berhembus mengatakan bahwa lelaki tersebut juga diberitakan memiliki sebuah ilmu kebal.
Namun, pada akhirnya semua cerita tersebut tidaklah menjadi persoalan bagi warga desa. Karena adat serta sikap baik yang ditunjukkan oleh tamu tak diundang tersebut, ternyata tak pernah menunjukkan suatu hal yang merugikan atau menyebabkan keresahan bagi penduduk yang lainnya.
***