Setelah berganti dengan pakaian kering dibalik sebuah batu besar, barulah mereka berdua kembali asyik bercakap. Sambil menatap langit terbuka, punggung mereka sengaja ditempelkan pada batuan besar yang cukup untuk menampung keseluruhan tubuh mereka dari kepala hingga kaki.
Pada sore hari, batu-batu gunung yang bersih mengkilat memang telah menyimpan energi panas akibat seharian sudah terpapar oleh teriknya sang mentari. Dengan daya serap yang bagus, tentu saja kehangatannya telah seketika menyegarkan tubuh-tubuh belia yang telah terendam air sekian lamanya.
“Malam nanti, aku akan berlatih silat. Kamu datang menemani aku seperti biasa, bukan?” tanya Bayu pada Wulan ditengah rasa kantuk akibat terlalu nyamannya yang dimanjakan kehangatan batu besar tersebut.
“Hmm … kita lihat saja nanti. Aku belum memeriksa, apakah semua PR sudah diselesaikan dengan lengkap.”
“Uh, aku juga punya PR Matematika. Jadi lupa kalau kamu tidak mengingatkan,” demikian Bayu langsung kaget saat membayangkan bagaimana ia akan diomeli oleh sang ibu guru.
“Hi hi … untung aku mengingatkan. Coba sampai besok kamu belum mengerjakan itu. Paling-paling, aku lagi yang direpotkan suruh mengerjakan.” Dengan ceria, Wulan mentertawakan teman karibnya.
“Yahh … kemana lagi aku minta pertolongan kalau bukan kepadamu. Dasar nasib, kita malah enggak satu kelas. Coba kalau seperti dulu, semua PR akan sama …”
“Huh, pemalas. Terus kamu tinggal nyontek, gitu?” dengan galak, si gadis kecil menghardik sahabatnya.
“Ya enggak … aku kan bisa ikut ngerjain bersama … he he …”
“Ahhh … kamu ini, ada aja jawabannya …” sambil tersenyum manis, Wulan menggelengkan kepala bila mengingat betapa lugu, lucu serta baiknya satu-satunya sahabat yang ia miliki itu.
“Ya udah … berarti aku ke rumahmu dulu untuk mengerjakan PR. Setelah itu, kita pergi bareng ke Pedepokan Ki Jalitheng.”
“Hu um … gitu juga boleh.”
---
Di atas batu yang berdampingan dengan jarak hanya sepeloncatan kaki seorang bocah, keduanya kini menelungkup untuk bergantian memberi kehangatan pada bagian depan tubuh masing-masing.
Tengah melamun, mendadak saja Wulan berteriak,
“Mimi Mintuno!”
“Mana?” tanya Bayu dengan segera.
“Itu …” jawab si gadis remaja sambil menunjuk ke bawah.
Posisi mereka berhadapan. Batu yang tengah digunakan sebagai tempat rebahan , memiliki posisi berjajar memanjang seperti layaknya dua ekor ikan besar tengah beradu kepala. Dan kini, dua wajah mereka telah saling mendekat ke bibir batu untuk sama-sama melongok kearah air jernih dibawahnya.
“Ah, iya … Mimi Mintuno, aku kira dulu kamu bohong waktu bercerita telah melihat itu …” kata Bayu membenarkan ucapan Wulan.
“Aku nggak pernah bohong. Cepat, ucapkan permintaan …” tukas gadis kecil tersebut.
***
Keberadaan sepasang Mimi Mintuno di perairan desa pegunungan tersebut, semula dikira hanya merupakan sebuah cerita turun temurun yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Tentu saja, rasanya memang mustahil jika ditempat seperti itu terdapat dua ekor binatang air penghuni pesisir.
Mimi dan Mintuno adalah julukan bagi hewan yang sekilas mirip dengan kepiting, walaupun bukan termasuk keluarga kepiting. Orang Indonesia menyebutnya Belangkas atau Kepiting Tapal Kuda atau Kepiting Ladam. Dalam bahasa Inggris, binatang itu disebut Horseshoe Crab.
Mimi merupakan panggilan untuk Belangkas berkelamin jantan, sedangkan Mintuno untuk yang berkelamin betina. Hewan ini adalah hewan purba. Telah ada selama lebih dari 300 juta tahun, menjadikannya lebih tua dari Dinosaurus. Umumnya, mereka memang selalu pergi secara berpasangan.
Mimi berukuran sekitar 36-38cm, sementara Mintuno berukuran sepertiga lebih besar daripada Mimi, sekitar 46-48cm. Di Indonesia, Mimi dan Mintuno banyak terdapat di perairan Laut Jawa. Akhir musim semi dan awal musim panas, adalah waktu bagi Mimi dan Mintuno dewasa yang sudah kira-kira berusia 10 tahun, untuk melakukan perjalanan dari perairan laut dalam ke pantai untuk berkembang biak.
Mimi biasanya tiba pertama dan menunggu Mintuno. Ketika Mintuno datang ke pantai, ia akan melepaskan bahan kimia alami yang disebut feromon yang menarik Mimi dan mengirim sinyal bahwa sudah saatnya kawin.
Binatang tersebut lebih suka berkembang biak di malam hari saat air pasang dan bulan purnama. Mimi mencengkeram Mintuno dan bersama-sama mereka menuju garis pantai. Di pantai, Mintuno menggali sarang kecil dan menyimpan telur-telurnya, kemudian Mimi membuahinya. Prosesnya bisa diulang beberapa kali dengan puluhan ribu telur.
Karena itulah, cerita dari mulut ke mulut penduduk desa dari jaman dulu, akanlah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Sebab pasangan binatang yang menjadi perlambang keabadian ikatan pernikahan itu, bukanlah berada pada tempat yang selayaknya bagi habitat mereka.
Tentu saja, kisah legenda itu mendapatkan bumbu yang begitu sedap untuk memperlihatkan sisi mistis serta ajaib yang lebih lagi. Yaitu … bahwa siapapun yang melihat mereka di sungai itu, seluruh permintaannya akan dikabulkan walau entah kapan waktunya.
***
Cepat atau lambat dan entah bagaimana terjadinya … para penduduk desa sangat mempercayai bahwa mitos kemustajaban doa saat melihat binatang yang bernama Mimi dan Mintuno, adalah sesuatu yang benar-benar ajaib namun nyata.
“Cepat, kamu berdoa …” demikian kata Bayu Santoso pada Wulan.
“Kamu … cepatlah memanjatkan permohonan,” jawab si gadis sambil tersenyum.
“Memangnya kamu sudah?” tanya si anak lelaki lagi.
“Bukankah pernah kukatakan jika aku pernah bertemu dengan mereka beberapa tahun lalu? Permintaanku masih sama, makanya tak akan kusampaikan lagi. Mereka sudah mengerti apa keinginanku.”
“Ah, iya … dan ternyata, kamu tidak bohong. Baiklah, aku akan meminta sesuatu …” demikian tutup pemuda remaja tersebut.
Selesai berbicara, nampak mulut Bayu komat-kamit dengan ekspresi yang sangat serius. Melihat hal tersebut, tentu saja Wulan jadi tersenyum geli. Namun meski hatinya tergelitik untuk menggoda, dengan sekuat hati ia berusaha untuk tidak mengusik si pemuda yang benar-benar sedang fokus dengan permintaannya.
***
Nawang Wulan pernah bertemu dengan pasangan Mimi dan Mintuno itu pada dua tahun sebelumnya. Binatang berpasangan yang konon memiliki umur hingga duapuluh tahun lebih itu, nampaknya memang memiliki sebuah tempat favorit tersendiri untuk beranak pinak.
Dan anehnya, binatang laut tersebut dengan ajaibnya bisa hidup dan tinggal di perairan tawar dengan suhu serendah itu. Meskipun ada binatang laut lain yang bermigrasi kesungai pegunungan seperti ikan salmon, keberadaan hewan yang satu itu tetaplah mengundang sebuah tanda tanya besar karena ketidak wajarannya. Karena itulah, tak heran bila penduduk desa yang lugu mengaitkannya dengan sebuah mitos penuh mistis dengan segala misterinya.
Masih segar dalam ingatan sang gadis kecil, bagaimana dahulu ia dengan khusuk juga memohon sebuah permintaan sesaat setelah melihat penampakan binatang yang dijadikan sebagai legenda dalam perumpamaan pasangan yang awet atau abadi.
Sebenarnya, doa Wulan saat itu hanyalah merupakan satu permohonan yang sangat sederhana,
“Aku ingin memiliki sebuah kekuatan luar biasa yang tak terlihat. Dengan demikian, aku akan bisa mencari nafkah serta mengejar masa depanku dengan kekuatanku sendiri. Meski tak punya Ayah, atau bahkan saudara yang lainnya … aku percaya jika kekuatan tenaga yang kumiliki nantinya, akan menjadi sebuah alat untuk mencapai cita-citaku …”
Demikianlah permohonan gadis belia yang saat itu tengah berupaya mencari ikan sebagai lauk makan malam nanti bersama sang Ibunda yang sakit-sakitan. Sore itu, Wulan memang sedang tidak enak badan, karena tengah mendapatkan haid untuk pertama kalinya.
Karena rasa tanggung jawab serta kasihnya pada sang ibu, dipaksakannya tubuh yang lemah itu untuk ia bawa menuju sungai. Disana, ia memasang umpan pada kail yang terbuat dari joran bambu.
Hampir setengah hari, ia menunggu mata kailnya disambar ikan yang bahkan ia jadikan sebagai teman makan malam bersama sang Ibu. Namun, seiring bergulirnya waktu dan entah ke berapa puluh kali ia mengganti umpan, belum satupun ada ikan yang mau tersangkut pada mata kail.
Dengan tubuh yang semakin lemah, sang gadis menunggu …
Dan mendadak, ia melihat sepasang binatang air yang penggambarannya mirip seperti cerita-cerita iseng para tetua di kampung. Dalam putus asa, Wulan belia yang masih berumur 12 tahun itu segera saja memanjatkan permohonan seperti yang selalu diimpikan oleh siapapun yang mengisahkan tentang legenda itu.
Dan anehnya … seekor ikan besar telah begitu saja dapat ia tangkap, tak lama setelah doa tersebut dipanjatkan.
---***---