BAB 3 - Bulan & Angin

1228 Words
Begitulah persahabatan dua bocah berbeda jenis kelamin itu.  Pergaulan mereka masih suci tanpa ternodai sedikitpun pikiran buruk tentang hal apapun. Bermain, bertualang dan saling menjaga kualitas pertemanan ... itulah satu hal yang secara otomatis telah tertanam di benak mereka masing-masing. Tentu saja, gadget bukanlah satu hal yang membuat mereka bisa asyik. Sebagai anak orang yang cukup berada, sebenarnya Bayu juga memilikinya. Namun, benda itu tidaklah serta merta bisa membuatnya melupakan satu hal yang sangat ia sukai. Sebab, alam terbuka adalah tempatnya bermain untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang tangguh dan kaya pengalaman. Keindahan alam nyata dengan segala yang ditawarkannya, secara alami telah menjauhkan pikiran mereka dari polusi akibat terlalu majunya pendompleng teknologi tak penting sebagai imbasnya. Di tempat mereka, lumpur persawahan adalah satu-satunya hal kotor yang mereka kenal. Dan noda yang seperti itu, dengan mudahnya akan seketika hilangkan untuk dihanyutkan bersama air jernih sungai pegunungan. Tak hanya membersihkan raga,  namun juga mampu membasuh jiwa menjadi murni tanpa prasangka. --- Detik demi detik berlalu hingga menuju beberapa menit dalam hening sepi. Yang terdengar saat itu, hanyalah riak air dari jatuhnya beratus meter kubik kemilau aliran  ke dalam lubuk jernih menyegarkan. Mungkin sudah sepuluh menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda sedikitpun kemunculan Wulan dari tengah buih air terjun itu. Bayu mulai merasa sangat cemas, karena tak biasanya sang sahabat karib mampu menyelam dalam waktu yang selama itu. Ia tahu kemampuan istimewa Wulan, tapi rasanya mustahil jika menit-menit yang berlalu akan bisa dihadapi gadis itu tanpa menghirup oksiden sama sekali. "Wulaannn ... Wulaaannn ... " beberapa kali, Bayu berteriak. Namun sekeras apapun suaranya, semua hanya hilang ditelan gemuruh air yang menggelontor deras jatuh ke dalam lubuk. "Wulaaann ... bocah nakal, jangan bikin cemas. Aku tahu, kau masih ada di sana. Kau pasti punya sebuah persembunyian." Si bocah lelaki kembali berteriak dengan kencang, namun hanya deras riak air saja yang menjawabnya. Tempat tersebut tetap tenang, dan kejernihan yang menyegarkan tersebut tetap tak bisa mempertunjukkan sedikitpun bayangan di dalamnya. "Wulaannn ..." dengan sisa suara yang hampir menjadi parau, sang sahabat kembali berteriak kencang. Kali ini, suara yang keluar sudah disertai dengan getar gemuruh isak tangis. --- Tiba-tiba, Byuuurrr ... Sebuah benda besar melayang dari balik tirai air terjun. Kontan saja, Bayu berteriak sambil meloncat dari posisi berdirinya. "Heeiii ..." "Ha ha ha ... kenapa wajahmu pucat seperti itu?" Suara tertawa nyaring terdengar saat sebuah kepala tertutup kacamata renang keluar dari permukaan air. "Wulan, dasar bocah nakal, aku nggak suka kalau kamu bermain-main seperti itu." "Apa salahku?" Tanpa rasa bersalah sedikitpun, gadis belia tersebut berjalan menuju tepi. Pada tangan kiri, terlihat ia memegang senapan kayu penembak ikan. Dan disebelah kanannya, digenggamnya sebuah tali yang menyeret sesuatu dari dalam air. "Kamu nggak lucu, aku khawatir. Lima belas menit lebih kamu menyelam, dan itu rasanya hampir mustahil. Aku takut, kamu nggak muncul lagi ke permukaan." "Ha ha ... lima belas menit itu masih kurang jika kita mau memecahkan rekor dunia. Tahukah kamu berapa lama sang pemegang rekor bisa menahan napas di dalam air?" "Berapa lama?" "22 menit lebih." "Mustahil, kamu hanya ngarang saja." "E-eh, diberi tahu malah ngeyel. Baca berita, kau pasti akan tahu kebenarannya. Bahkan, lima belas menit menyelam tanpa oksigen, adalah satu hal yang lumrah dilakukan oleh suku Bajo." Dengan gayanya yang riang, Wulan mulai menapaki tempat yang semakin dangkal. Tali yang masih dipegang dengan tangan kanannya, saat itu sudah menampakkan benda yang terikat pada ujung kain. Dua ikan besar dan gemuk, telah berhasil ditangkap hanya dalam satu kali menyelam. “Dan kau bisa menahan napas selama lima belas menit?” tanya pemuda kecil itu dengan heran. “Hmmm ... tentu saja, aku tidak sehebat itu.” Dengan cengiran iseng, si gadis belia menggoda bocah lelaki remaja. “Lalu, mengapa bisa selama itu di dalam air?” “Hi-hi ... aku bersembunyi di balik tirai air terjun itu. kau tahu, disana ada semacam gua yang bisa jadi tempat persembunyian sementara untuk menahan napas.” “Ahh ... kau membuatku takut. Aku kira, kau mengalami celaka disana.” “Hi-hi ... inilah aku, sehat dan masih tetap segar ... dua ekor ikan gemuk telah kudapatkan.” Dengan bangga, si gadis berkata sambil mengangkat tangannya yang membawa dua ekor ikan besar bak gaya seorang juara menunjukkan pialanya. "Kamu bisa menangkap ikan sebesar itu?" Si anak lelaki terkagum ketika melihat kemilau sisik ikan yang memantulkan cahaya keperakan karena pantulan matahari. "Semuanya untuk ibu kepala desa, wanita baik yang menjadi ibumu." "Ah ... terima kasih, Wulan ... kami bisa makan enak malam ini. Mana ikan untukmu sendiri?" "Aku akan mencari nanti. Mungkin, ikan kecil akan sangat nikmat jika digoreng kering sebagai lauk nasi sambal." "Ha ha ... kamu ini anak alam. Semesta selaku menyediakan bahan makanan apapun yang terbaik bagimu." "Hi hi ... iya, betul. Aku adalah anak semesta. Si bocah anak asuh sang bumi yang maha pemurah." Dengan ceria, gadis itu menjawab gurauan sahabatnya. --- Wulan terus menepi hingga air sungai hanya menutupi tubuhnya sebatas pinggang saja. Tubuh yang lencir tinggi kurus, kesemuanya terbungkus oleh tirai air. Dalam penampakan yang seperti itu, terlihat dengan jelas sebuah kecantikan alam yang begitu murni tanpa polesan apapun. Gadis yang selalu tampak kumuh dalam polesan busana cermin kemiskinannya, pada saat itu telah dibasuh sepenuhnya oleh kesegaran jernihnya air.  Si anak lelaki menatap kagum entah untuk yang keberapa kalinya. Semenjak mereka  sama-sama tumbuh menjadi remaja, pemandangan seperti itulah yang sangat ia sukai pada saat dirinya berada dekat dengan Wulan. Kecantikan gadis itu, benar-benar sebuah rahasia yang tak pernah dilihat oleh lelaki manapun selain dirinya. Memang seperti itulah adanya gadis belia yang bernama Nawang Wulan. Kemiskinan hidup yang selama ini dijalani, telah membuat seluruh penampilan dirinya tertutupi oleh suatu lapisan penghalang. Sehingga, bahkan tak pernah ada satupun orang yang pernah menganggap jika ia adalah seorang gadis cantik berkulit kuning langsat yang sedemikian mempesona. Dan jika ada orang yang pernah benar-benar bisa mengetahui rahasia kecantikan tersembunyi itu, tak lain dan tak bukan ... hanya Bayu Santoso  sajalah orangnya. --- Beberapa detik melihat pemandangan indah yang selalu saja menggetarkan hatinya, tiba-tiba saja ia terbahak sambil spontan membalikkan tubuhnya. Entah apa yang terpikir oleh Bayu, karena mendadak saja ia tertawa sambil berteriak. "Aihhh ... Wulan, kamu nggak punya malu." Sang gadis yang sedang berjalan perlahan untuk mendekati sahabatnya, langsung saja balas berteriak, "apa maksudmu? Kamu yang tak punya malu melihatiku seperti itu." "Tombol, tombol ... cepat sembunyikan tombol itu." "Tombol? Kamu aneh-aneh saja! Tombol apa yang kau maksud?" "Itu tombol di bagian depan tubuhmu. Dari sini terlihat jelas karena kausmu yang basah!" "Aihhh ... kamu p***o, dasar ngeres. Awas, aku adukan kamu pada ayah ibumu!" Spontan, Wulan menutupi tombol yang dimaksud dengan menggunakan tangannya. Lalu tanpa ampun, ia langsung saja mencipratkan air ke arah tubuh sahabatnya yang masih saja tertawa penuh kemenangan. Tak menunggu lama, keduanya langsung saja mengadakan sebuah perang air sambil sesekali terkekeh senang saat sang lawan merasa kewalahan. Rasa jengkel, malu dan agak sedikit jengah telah membuat Wulan menyerang mati-matian untuk membasahi tubuh tambun yang kadang suka sekali mengusili dirinya. Kembali lagi, sebuah persahabatan yang murni telah melepaskan mereka dari prasangka. Apa yang tadi dilihat oleh si anak lelaki, adalah sebuah proses alami dari tubuh sang gadis yang keluar begitu saja tanpa memiliki tendensi apapun. Ya ... setelah sekian lama terendam dalam air, apa yang merupakan sebuah puncak dari bukit mengkal sang gadis remaja yang baru saja tumbuh ... ternyata telah menegang kaku dan tercetak jelas pada kaus basah yang menutupi tubuhnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD