Prolog

1019 Words
Tali kimono tidur aku ikatkan depan pinggang ketika kedua kaki diturunkan dari ranjang menyentuh lantai dingin. Setelah selesai, aku mencari-cari kucir rambut, tetapi tidak menemukannya di atas nakas, dan baru teringat bahwa bukan aku yang melepasnya semalam. Aku tidak ingat apa pun beberapa jam lalu, kecuali setiap sentuhan dari pria yang tengah terlelap di atas ranjang saat ini. Namun, sepertinya ada di sekitar sini. Aku mulai menyibak selimut, dan menemukan ponsel si pria, serta menarik ikat rambutku yang terimpit separuh dari tubuhnya. Iseng, aku membuka ponsel dengan mudah usai melewati PIN pengaman milik pria itu. Deretan notifikasi pesan masuk sesaat setelah data dinyalakan, tetapi bukannya fokus pada chat di grup panti untuk mendapatkan informasi penting di sana, jari telunjukku malah mengetuk chat dari kontak seorang wanita. Rasanya agak sesak, sehingga aku harus menarik napas panjang lebih dahulu sebelum membaca beberapa pesan di kontak wanita tersebut. Namun, hanya demi menuruti penasaran, aku mengabaikan sayatan perih yang mulai muncul dalam d**a. Syakila Rahayu : Mas, nggak pulang lagi malam ini? Sibuk banget, ya?:( Jangan lupa jaga kesehatan ya;) Shazna sakit gara-gara musim pancaroba:( Shazna pengen ketemu, kangen kamu katanya Aku juga sih, hihihi:D Aku merotasi bola mata, malas. Entah mengapa, ada sensasi terbakar yang menuntunku untuk menarikan jemari di atas keyboard, mengetikkan balasan untuk Syakila. Namun, sebelum icon kirim sempat ditekan, benda pipih itu sudah berpindah ke tangan pria yang duduk di sampingku. “Kamu ngapain?” Pria itu bertanya dengan suara seraknya yang berat. Bukannya tersinggung atau takut dengan kemarahan samar yang pria ini tunjukkan, aku malah menyandarkan kepala di bahunya. “Tadi mau nelpon buat nyari hape aku, nggak tau di mana,” jawabku mengelak dengan wajah memelas agar ia tidak melanjutkan marah, “Malah buka itu. Sorry, nggak sengaja.” Pria itu tidak membalas untuk sesaat, karena sibuk membalas pesan dari wanitanya. Ia tampak serius—terlihat jelas dari kerutan dalam di keningnya—lalu mematikan ponselnya, beralih padaku. “Nggak sengaja buka, tapi sengaja mau bales pesan.” Pria itu mencibir dengan nada geli, lalu senyumnya terbit. Begitu manis, sehingga sulit mencegah diri sendiri untuk menciumnya secepat kilat. Uh, pipiku terasa memanas, atas tindakan sendiri. Sebagai seorang amatir yang bahkan baru melepas keperawanan semalam, aku benar-benar malu atas tindakan barusan. Niat untuk menunduk menyembunyikan wajah digagalkan oleh pria ini ketika ia membawa jemarinya ke bawah dagu untuk memaksaku mendongak. Sepertinya pria ini menyukainya: sikap malu dan menghindar yang berusaha aku lakukan. Ia memindahkan tangannya ke bawah pinggang, membawa tubuhku ke tengah-tengah ranjang, untuk ia tindih dengan tubuh besarnya. Pria ini seolah tidak pernah kehabisan tenaga untuk menyentuhku sekali lagi, dua kali, hingga ... entah berapa kali. Hanya memberikan jeda beberapa menit di setiap percintaan kami dengan obrolan ringan mengenai pekerjaan, lalu lanjut, hingga akhirnya harus dihentikan oleh azan subuh. “Ayo, mau sholat bareng?” tanya pria itu, tetapi aku menggeleng kecil walau ia tidak melihat sebab sibuk mengenakan pakaiannya. “Bentar, sepuluh menitan lagi. Capek ... banget.” Aku memperjelas jawaban agar ia tidak menunggu. Dua kata terakhir sengaja penuh penekanan, agar ia paham betapa lelahnya tubuhku saat ini. Pria itu terkekeh kecil, lalu membungkuk sebentar padaku untuk memberikan kecupan singkat di kening, lalu di bibir. Memicu sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Inginku menahan tengkuknya agar tetap di sini setidaknya sampai pagi, atau satu hari ini, bahkan jika perlu, tidak usah ke mana-mana. Andai aku punya kuasa menahannya sebesar itu. “Oke, istirahat ya. Saya mau sholat di masjid, habis itu pulang ke rumah.” Namun, ucapan pria itu barusan membuatku langsung meredupkan senyum. Aku hanya bisa menarik selimut untuk menutupi tubuh, ketika ia sibuk mengenakan jam tangannya, memperbaiki posisi pakaian, dan terakhir melepaskan sebuah cincin perak dari jari manis kirinya. Aku paham risiko dari pilihan saat ini, tetapi tetap terasa sesak ketika pria itu mengenakan cincin pengikatnya dengan wanita lain. Aku hanya bisa memalingkan wajah, demi mencegah ia melihat air mataku yang hampir jatuh. “Assalamualaikum,” kata pria itu, ketika akan menutup pintu. Suaraku sempat tercekat, tetapi kupaksakan untuk menjawab, “Wa alaikumussalam.” Lalu, satu tetes air mata tidak rela menetes begitu saja, bersamaan dengan suara pintu yang ditutup. Aku menghela napas panjang. Mengingat kembali apa yang menyebabkan kami berdua ada di sini, dan aku tidak seharusnya melakukan protes walau itu sekadar nyeri di dalam hati. Untuk mengalihkan perhatian dari rasa cemburu, aku bangun dari posisi berbaring, mengambil ponsel dari laci nakas. Mengecek media sosial secara iseng, dan menemukan sekali lagi postingan Syakila yang memotret putrinya. ‘Cepat sembuh, Sayang. Kangen banget dia sama papa hero-nya Sabar ya, Sayang, papa lagi nyari uang buat masa depan kita dan juga mengurus masa depan teman-teman Shazna lainnya’ Aku mencibir, hendak mengetikkan balasan di kolom komentar karena dia sedang aktif saat ini, tetapi pada akhirnya tombol kirim tidak pernah ditekan. Aku hanya bisa menghapus semuanya, lalu berpindah ke kamera. Memotret selimut yang berantakan dengan memamerkan ujung jari kaki. Tidak ada caption, berniat memicu pikiran negatif di Syakila. Namun, komentar yang perempuan itu berikan hanya lelucon menjengkelkan. ‘Kasur mah tempat bobo, Ra, bukan tempat kerja. Ayo, cepetan cari suami, biar yang nemenin di ranjang bukan laptop sama kerjaan mulu xD’ Sudut bibirku terangkat, menekan tombol ‘balas’, lalu mulai mengetik di keyboard ponsel: Ya, malam ini aku udah ditemenin tidur sama suami, Sya. Suami kita, Mas Mirza. Sekelebat ingatan muncul dalam pikiranku ketika jari telunjuk mulai berpindah, hendak menyentuh tombol ‘kirim’. Ingatan cepat tentang perkenalanku dengan Syakila di masa SMA, kebaikan hatinya, segala dukungannya, serta bantuannya mempertemukanku dengan Mirza. Tidak lupa, bayangan kemarahan Mirza ketika aku akan membalas pesan istrinya. Aku mengembuskan napas kasar. Pada akhirnya, jemariku hanya bisa mengepal kuat. Ponsel dimatikan begitu saja, lalu membantingnya di tengah-tengah kasur. Aku memeluk lutut sendiri, sembari melirik pada cincin yang pria itu lepaskan tadi. Inginku diakui, mengakui, dan saling memiliki di mana pun kami berada. Namun, tidak bisa. Inilah risiko yang sudah aku terima sedari awal jika ingin memiliki sosok pria sesempurna Mirza sebagai pendamping hidup. Aku harus menjadi istri rahasia, agar tidak ada satu pun yang tahu hubungan kami selain dinding kamar ini, apalagi istri aslinya di rumah sana—sahabatku—Syakila. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD