Bab 1 : Kesengsaraan Gadis Kaya

1860 Words
Dua bulan lalu, aku masih berpikir bahwa sebagai wanita mandiri dengan gaji rata-rata 40 juta dari jualan online—sama sekali tidak dibutuhkan pria pendamping bernama suami. Semuanya bisa aku handle sendiri. Aku kaya, serta terkenal dengan ratusan ribu followers di sosial media. Gunanya laki-laki apa, selain hanya bisa menaruh benih, lalu bermain dengan perempuan lain? Tidak ada, selain menambah beban kepala. Lagi pula, aku selalu berpegang teguh bahwa seorang laki-laki hanya akan diambil oleh dua hal: kematian atau perempuan lain. Jadi, aku dengan tenang menjalani hidup sebagai lajang di usia 29 tahun. Pertanyaan 'kapan nikah?' dari semua orang bisa kusumpal dengan mental atau uang. "Tante pengangguran ya, sampe ngurusin hidup aku? Ya udah, ini, belanja di pasar sana, urusin suami tersayang dengan gaji pas-pasan di rumah. Beli ayam, daging, atau apa gitu yang enak, biar nggak keenakan bicara sembarangan sama hidup orang!" So easy! Di usia ke lima tahun usaha makanan online kini merambah ke bisnis pakaian yang aku jalankan seorang diri, kini hanya perlu dipantau dari jauh. Aku bebas bersantai di mana pun, bahkan walau itu hanya di kamar selama beberapa hari. Atau jalan-jalan ke luar negeri untuk merelakskan pikiran. Semuanya berjalan lancar, tetapi ... mulai terasa datar. Senyumku tidak selebar saat pertama kalinya pesawat dan melihat pemandangan indah di bawah sana melalui jendela. Kali ini, terasa hambar. Pun saat di hotel berbintang lima yang aku tempati hanya demi memuaskan perasaan hampa itu, tetapi tidak ada antusiasme sama sekali. Aku mengalihkan diri dengan berjalan-jalan dan memotret beberapa hal untuk dijadikan kenangan. Sedikit membantu meredakan kesepian hati, sehingga aku pergi dari pagi sampai malam. Namun, ketika tiba lagi di kamar, semuanya kembali seperti semula. Hambar, dengan pegal memenuhi kedua kaki. Bahkan mengecek laporan kerja pun terasa suntuk. Foto-foto tadi aku upload di sosial media, tanpa caption. Hanya sekadar memberitahukan orang lain bahwa kondisiku sangat baik—bahkan mungkin lebih daripada kebanyakan mereka yang hanya menonton saat ini. Di antara banyaknya komentar yang masuk pada foto tersebut, aku hanya fokus pada satu komentar dengan foto akun familier. Keningku sedikit berkerut, ketika meng-klik akunnya, dan benar saja, aku menemukan akun sahabat lamaku: Syakila Rahayu. Dia ternyata sudah menikah, dan terlihat sangat bahagia dengan suami serta putri mereka. Aku melanjutkan scroll untuk mencari tahu lebih banyak tentang kondisinya saat ini, dan menemukan fakta bahwa Syakila sekarang hidup sederhana, dan rajin melakukan kegiatan sosial di sebuah panti asuhan. Bahkan sangat sering. Dia tidak pernah berubah baiknya dari masa SMA. Aku segera membalas komentar Syakila yang berisi: Sempurna banget fotonya. Tinggal calon aja ini, hihihi. Aku tersenyum geli, lalu mengetikkan balasan. Mau nikah sebenernya, tapi takut cintaku cemburu. Balasan Syakila muncul tidak lama kemudian: SIAPAAA?! Kok nggak cerita? Cintaku ya ... uang, balasku. Syakila membalas dengan emot tertawa, dan kupikir sebagai penutup obrolan kami. Namun, ternyata tidak. Ia membalas lagi, dengan permintaan agar aku membaca pesannya. Kuladeni, dan ternyata Syakila sudah menghubungiku cukup sering. Rasanya agak bersalah mengingat bantuan Syakila selama kami bersekolah, jadi aku segera meminta maaf karena baru membalas. Syaznar_ Nggak papa, ngerti kok, orang sibuk~ Jika kalimat itu dari orang lain aku pasti yakin si lawan bicara sedang marah. Beruntungnya ini Syakila, yang benar-benar tulus. Jadi, aku memberikan emot love sebagai tanda terharu atas ketulusannya. Shaznar_ Karena kamu udah balas pesanku, aku mau ajakin kamu reuni, Ra. Nanti kita ajakin temen-temen lain juga. Makin banyak yang datang, makin seru. Mau nggak? Kamu kapan nggak sibuknya? Mahira.Hameeza Kalau reuni dalam ajang pamer pasangan, aku ogah ikut ya-_- capek banget, pernah reuni sama temen SMP, eh malah jadi ajang pamer kesuksesan suaminya. Anjir-_+ padahal sukses sendiri jauh lebih berkesan daripada bergantung sama kesuksesan orang lain, walaupun itu suami sendiri. Shaznar_ Kesuksesan suami kan, ada juga kaitannya sama istri yang selalu ngedukung, Ra, makanya wajar mereka bangga. Hihihi~ Enggak, kok. Ini bukan pamer segala macem. Kalau ada yang mulai gituan, kamu boleh pulang kapan aja. Ini beneran cuman kumpul-kumpul biasa Sambilin bentuk arisan, kayaknya seru? Biar ada schedule buat ketemuan tiap pekan atau tiap bulan gitu. Tawaran yang menarik, mengingat aku juga sudah tidak sesibuk seperti saat pertama kali membangun bisnis, jadi ... aku mengiyakan. * Kupikir, rencana Syakila akan gagal. Sebab, aku yang datang sebagai orang kedua di sebuah kafe tempat kami rencananya berkumpul, malah berakhir membisu saat teman-teman lain datang dan sibuk membahas kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Andai bukan menghormati Syakila, aku tentu akan langsung minggat di sini. Namun, aku rasanya perlu pamit pada Syakila, jadi tetap di sini sembari menunggu dia datang. Sebagai bentuk pelampiasan, aku menempelkan punggung di sandaran kursi, sembari mengaduk isi gelas di tangan menggunakan sedotan. "Mahira, kamu kenapa diem aja dari tadi?" Sella yang duduk berseberangan denganku bertanya. Keempat perempuan lainnya segera menoleh ke arahku juga. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir mereka yang baru sadar kehadiranku di sini. "Nggak papa, lanjutin aja obrolannya. Di aku nggak masuk selera, jadi aku nggak bisa nimbrung," ucapku sembari memaksakan tersenyum, kemudian menyesap minuman secara perlahan. "Astaga, sorry, Ra. Kamu bisa bilang aja, kriteria kamu gimana. Biar kita bantuin nyari cowok yang sesuai sama kamu," kata Sella, yang diangguki dan diiyakan oleh lainnya. "Nggak, nggak perlu. Aku nggak minat sama sekali," balasku. "Lanjutin aja obrolannya." "Eh, Mahira, kamu kan sukses tuh bikin brand usaha sendiri. Gimana sih caranya? Aku sempet mau bikin brand pakaian sendiri. Udah siapin merek, logo, bahkan udah mau nyewa pabrik garmen gitu, eh pas percobaan PO beberapa produk berbeda selama enam bulan, nggak ada yang bisa balik modal. Astaga ... capek banget. Selalu dibilangin kemahalan, mana dibanding-bandingin sama orang lain. Bikin enek banget, uh." Sahabatku yang berponi dengan nama Alana itu bertanya sekaligus mengeluarkan keluh kesah. "Padahal, ngiri aku tuh, lihat kamu bisa jadi selebgram, sekaligus bikin bisnis sendiri. Dari awalnya makanan, sekarang sukses di pakaian juga. Pengen banget aku ... biar belanja itu bisa sepuasnya, skincare-an yang sejuta satu item kayak punyamu, terus ke luar negeri tanpa mikirin harga tiket. Ngiri banget, Mahira ...." Yang lain juga mengangguk, mengiyakan dan tampaknya sependapat dengan Alana. Well, ini bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat serupa. Aku belum sempat menjawab, tetapi Elvira sudah menyahut, "Takdir, Lan. Kita emang nggak ditakdirkan buat bisnis, tapi sebagai gantinya, Allah ngasih kita kecukupan rezeki melalui suami kita. Allah Maha Adil. Alhamdulillah aja." Cih, sindir aku rupanya yang seolah terdengar seperti tidak ditakdirkan untuk memiliki suami? Hell, aku yang menolak semua pria yang melamar! Bukan karena tidak laku! Mau membalas seperti itu, tetapi urung. Niatku untuk memberikan tips, batal, karena mood mendadak buruk. Kuharap Syakila segera datang agar tidak aku tidak mengamuk di sini. "Usaha, Lana," jawabku, menolak jawaban Elvira tadi. "Kalau cuman pangku tangan buat nerima takdir, noh, pengemis di jalanan harusnya juga punya jalan rezeki dari pasangan atau anak mereka. Sayangnya, sebagian dari mereka ... malah dibuang. Makanya, aku nggak pernah percaya sama takdir, keberuntungan, kesialan, dan sejenisnya. Aku mau usaha, aku bisa, aku berhasil—itu hukum alam dari sejak dahulu sampai selamanya." Aku melihat Elvira hendak menyela, tetapi aku segera melanjutkan kalimat. "Aku belum nikah, karena aku nolakin semua laki-laki yang datang melamar—padahal sebagian besar dari mereka juga pengusaha sukses dan konglomerat kaya tujuh turunan. Aku nggak mau, karena aku bisa urus diri sendiri, bisa kaya mandiri, dan bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa perlu nungguin tiap tanggal sekian buat dibagiin gaji sama suami." Elvira terlihat menghela napas, Alana mengangguk-angguk, sementara sisanya hanya bergeming. Aku kembali meminum minuman, dan sudah berniat menghabiskannya agar bisa pergi. Namun, aku mendapati sebuah mobil berhenti di parkiran, dan Syakila sudah keluar bersama putrinya dan seorang pria berusia tiga puluhan. Aku mendengkus lagi. Dia sendiri yang bilang tidak akan membahas suami, tetapi Syakila seperti ingin memperpanas suasana di sini. Aku berniat pergi, dan berpapasan dengan Syakila. "Eh mau ke mana?" Syakila melirik tas yang aku bawa, dan semakin syok. "Sorry kalau telat datang. Soalnya ini, Shazna nggak mau aku tinggal, pengennya ngekor ... mulu kayak anak itik. Jadinya terpaksa bawa, tapi Mas Mirza yang bakalan jagain kok." Aku masih bergeming. Masalah di sini, adalah suami dan anaknya. Aku bisa tolerir keterlambatannya, tetapi alasan itu hanya bisa aku ucapkan dalam hati. Aku tetap berniat melanjutkan langkah, tetapi sekali lagi, Syakila menahan. "Mas Mirza duduk di tempat lain kok," kata Syakila, mengerti diriku. "Beneran, suer, nggak ada pembahasan suami atau anak. Oke?" Baiklah .... Aku mengikuti arahan Syakila untuk ke tempat duduk semula. Ia sempat cipika-cipiki dengan yang lainnya. Kami mengobrol, didominasi tentang kenangan masa SMA, sembari menunggu tiga teman lainnya datang. Selama itu, aku bukannya fokus pada obrolan, malah tertarik dengan Shazna yang sering datang menghampiriku untuk menoel-noel boneka di tasku. Awalnya aku hampir risi, karena beberapa anak yang kutemui, semuanya iseng merusak barang-barang. Namun, gadis kecil berpipi tembam ini tidak. Ia hanya menoel agar boneka bergerak, lalu tertawa senang, kemudian menatapku takut. "Boleh pegang, aunty?" Ah ... gemas! Aku mengambil bocah itu ke pangkuan, dan secara sukarela memberikan boneka tadi padanya. Aroma harum khas bayi juga menguar darinya, membuatku semakin suka. "Kok anak kamu anteng gini, Sya? Aku punya ponakan sebiji, gesreknya bikin aku pengen balikin ke perutnya Mbakku! Andai aku tahu dia senyebelin itu, ogah aku anterin mbakku ke rumah sakit buat melahirkan! Semua barang aku dirusak. Atau kalau aku nggak ada, dia suka banget ambilin barang sembarangan. Suara berisik, cempreng, bikin rusak gendang telinga. Mata sipit, udah mau ngilang ditelan pipi gedenya! Astaga ...." Aku mengeluarkan keluhan, sembari menyentuh pipi gadis berusia tiga tahunan ini. “Nyebelin banget!” Shazna benar-benar pendiam, bahkan tidak meronta atau menangis, dan sibuk dengan bonekanya. "Anak-anak emang ajaib, Ra. Emang sama orang lain anteng, tapi di rumah? Harusnya kamu tadi lihat gimana dia nangis keras banget karena mau ikut aku pergi. Berisik juga si Shazna, tapi itu yang bikin kangen dari anak kecil," balas Syakila. "Makanya, bikin anak atuh, Ra. Biar punya boneka hidup yang bisa ditoel-toel pipinya pas lagi gabut." "Andai tinggal beli langsung ada anak, Sya," ucapku geli, tidak menganggap penting ucapan Syakila. "Bisa, kok. Ada dua pilihan buat punya anak: dari suami—" Syakila langsung mengerem ucapannya ketika aku meliriknya tajam, "—atau adopsi anak, Ra." "Adopsi ya?" Aku mempertimbangkan hal itu. Jujur, kehampaan selama ini, sepertinya bisa sedikit terbayarkan jika ada satu manusia semanis Shazna yang menemani. Aku tertegun sejenak, memikirkannya. "Kalau mau opsi kedua, Mas Mirza pengelola panti. Nanti, tinggal ketemu Mas Mirza buat tahu apa aja masalah adopsi anak, plus ... bisa pilih anak yang kamu mau," lanjut Syakila, yang semakin menggiurkan. "Sejenis Shazna, ada?" tanyaku. Syakila tersenyum geli. "Ada, kayaknya. Tapi anak itu bergantung ke didikan orang sekitarnya kok. Walau bandel dikit, kalau diurus dengan tepat, bakalan penurut juga." Aku terdiam sejenak, semakin dalam memikirkan hal ini. "Itu Mas Mirza, inget-inget mukanya ya," kata Syakila sambil menunjuk ke seorang pria yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Alamat panti, nanti aku kabarin lewat pesan." Menarik, jadi aku mengangguk kecil. Sembari melirik sekali lagi pada Mirza untuk mengingat wajahnya dengan baik, dan di saat yang bersamaan, dia juga mengangkat pandangannya hingga tatap kami bertemu. Aku hanya fokus pada beberapa hal dari pria itu, menyambungkannya pada Shazna. Yeah ... gadis manis ini, fisiknya didominasi oleh Mirza, dengan bibir dan wajah menyerupai Syakila. Aku tidak sabar, memiliki anak seperti Shazna. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD