BAB 4

1766 Words
Seperti yang kita tahu, Marisa Calista Hapsari adalah mahasiswi jurusan kebidanan yang sekarang berada di tingkat 3. Itu berarti tinggal dua semester lagi ia berkuliah di Universitas Kesehatan Bhakti Bangsa. Marisa mengambil jurusan kebidanan karena dorongan dari ibundanya. Saat awal, ia masih bingung menentukan apa cita-cita karena kegemarannya banyak. Mimpi dan kegiatannya pun banyak. Kakak Marisa sempat melarangnya melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan karena tak sanggup membiayai. Akan tetapi, ibunda Marisa bersikeras ingin putrinya menjadi bidan.  Ibu Marisa selalu menuntut anak perempuannya itu mengikuti setiap perintahnya. Ia memiliki ambisi, yaitu ingin Marisa menjadi wanita yang sukses, banyak prestasi, mandiri, dan menjadi wanita yang serba bisa. Ayah Marisa sudah meninggal ketika ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Karena kehilangan yang teramat sangat itu, ia sempat tidak ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan, mengingat tidak ada lagi tulang punggung keluarga. Kematian sang ayah juga membuat ia iri jika temannya menceritakan bagaimana keseruan kegiatan di rumah bersama ayah dan bagaimana diperlakukan manis oleh seorang ayah. Meskipun anak bungsu, Marisa tidak terlalu manja, dan sudah biasa mencari uang jajan sendiri. Ia tergolong anak yang aktif dan mudah bergaul, ikut kegiatan OSIS, mengikuti ekstrakulikuler PMR dan seni tari. Dari situlah ia mengambil job untuk menari di berbagai acara. Karena memiliki paras yang cantik Marisa, sering bergonta ganti pacar dan kerap mempunyai pacar lebih dari satu. Mood booster-nya adalah melihat pria-pria ganteng dan dimanjakan oleh pacar-pacarnya. Marisa sejenak teringat ketika ia mengambil keputisan untuk kuliah. Ia ingat saat sosok laki-laki dewasa yang mengenakan baju koko menariknya masuk ke kamar dan mengajak bicara serius. Laki-laki itu tak lain adalah kakak kandungnya, Divan. "Kerja dulu aja, jangan dulu kuliah. Kasihan mama. Pasti berat bayarin uang kuliah kamu. Kakak bisa bantu, tapi pasti nggak bisa kasih uang banyak. Kamu kan tahu Kakak ada anak dan istri. Pengeluaran bulanan kami udah besar," ujar sang kakak. Marisa hanya menunduk mendengar hal itu. Ia tetap ingin kuliah. "Kalo kamu mau, mending kerja dulu aja,” saran sang kakak lagi. "Kerja apa, Kak? Marisa juga bingung kalo kerja dulu, Kak.” "Ya apa aja. Bikin lamaran dulu. Tapi kalo mama tetep kekeh kepingin kuliahin kamu, terserah mama. Tapi kamu jangan boros. Kalau bisa kuliah sambil kerja biar bantu biayain kebutuhan kamu. Kakak cuma bisa bantu sedikit paling buat uang kos kamu, Sa.” "Iya makasih, Kak. Mama kayaknya tetep kekeh kepingin aku kuliah di kebidanan buat nerusin jejak papa yang kerja di kesehatan.” "Di sana kamu jangan bandel, ya. Kabari Kakak kalo ada apa-apa. Kakak nggak bisa nginep di rumah ini lama-lama, kasihan kakak ipar kamu sama si kecil berdua aja di rumah.” "Iya, Kak.” Ibu Marisa bersikeras menguliahkan anak bungsunya itu dengan sisa peninggalan dari mendiang suaminya, ia ingin membuktikan bahwa perempuan single dan seorang ibu rumah tangga juga bisa menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi. ☆☆☆ "Kenapa melamun?” tanya seorang pria dengan nada tinggi kepada Marisa. "Cepat tekan luka di bagian kaki agar darahnya berhenti keluar!” perintah pria itu. Marisa mengangguk dan meminta tolong Rosa untuk bersama membersihkan luka di kaki pasien tersebut. Dengan cepat mereka mengenakan sarung tangan dan mengambil kasa, Betadine, Nacl, dan alat hecting. Setelah Marisa dan Rosa membersihkan luka pada bagian kaki, Marisa meminta izin kepada senior untuk menjahit luka tersebut. Ia mengambil klem dan jarum, menjahit luka dengan jahitan jelujur yang sangat rapi sehingga darah berhenti keluar dan luka tertutup dengan sempurna. Rosa membantu menggunting ujung benang, membersihkan sisa darah yang keluar dari bekas jahitan. Gadis itu juga menjadi asisten Marisa, membantu mengambil alat yang Marisa butuhkan. Mereka menutup luka dengan perban, lalu membantu pekerjaan senior lain yang belum selesai. Pasien akhirnya beres dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Marisa mendapat pujian dari semua senior karena tindakannya yang rapi dan tenang. Terkecuali Dokter Indra, yang malah sinis memberikan kesan tak suka. "Tugas seperti itu hanyalah hal yang gampang.” Indra memasang wajah mencibir Marisa. Marisa memandang wajah sahabatnya Rosa, memberikan sinyal tak suka dengan tingkah Dokter Indra yang malah meremehkan dirinya. Beberapa minggu telah terlewati. Praktik di RS Wijaya akhirnya selesai. Berbeda dengan pengalaman praktik di ruangan lain, ruangan IGD-lah yang membuat Marisa merasa tidak nyaman. Hal itu karena keberadaan Indra yang selalu memberikan sikap dingin, acuh dan kerap memarahi Marisa. Padahal kepada junior-junior yang lain, pria itu tidak kejam. Entah mengapa, staf perempuan dan rekan tim lain juga memasang sikap dan ekspresi tak suka kepada Marisa. Bila ditanya apa kenangan paling berkesan di RS Wijaya, Marisa akan menjawab kenangan terburuknya, yaitu sikap seseorang pria yang begitu menjengkelkan yang membuat Marisa sangat membenci pria tersebut. Saat ini Marisa Calista Hapsari sedang berjalan kaki di lorong kampus, memakai seragam atasan putih dan rok biru. Marisa berjalan dengan anggun sambil melamun. Setiap laki-laki yang sedang nongkrong selalu menyapanya dengan panggilan "Hey, Cantik!”. Walau begitu, ia tidak menoleh atau menjawab panggilan tersebut. Ia sengaja jual mahal pada pria yang ia anggap “gaje” alias “nggak jelas”. Tiba-tiba, ada seorang laki-laki yang menggenggam tangan Marisa dengan kencang dan menarik Marisa ke ruangan yang kosong. Marisa menolak dan mencoba melepaskan tangan dari cengkeraman laki-laki tersebut. "Hey, Marisa! Sombong banget sih, di panggil nggak jawab.” Farhan, mahasiswa keperawatan itu memang sangat terobsesi untuk mendapatkan hati Marisa. Malang, cintanya selalu di tolak oleh Marisa karena kelakuan Farhan yang buruk dan selalu memaksa. "Apa, sih? Aku nggak denger kalo kamu yang panggil. Bisa nggak, nggak narik-narik tangan aku? Sakit tuh, merah-merah kan jadinya.” Karena kulitnya yang putih bersih alhasil tangan Marisa yang dicengkeram Farhan terlihat jelas memerah. "Abis dipanggil nggak jawab. Aku kan kangen kepingin ngobrol sama kamu,” jawab Farhan sambil cemberut dan melepaskan tangan Marisa. “Nggak penting ah, males! Aku bentar lagi ada kuliah. Minta maaf kek.” Marisa merasa kesal. "Nggak mau, ah,” ucap Farhan sambil mengecup kening Marisa. "Kamu gemesin kalo lagi ngambek.” Plaakk! Tamparan Marisa mendarat di pipi Farhan. “Nggak sopan cium kening orang tanpa izin!” sembur gadis itu. Ia langsung lari meninggalkan Farhan. ☆☆☆ Marisa masuk ke ruang kelas. Ia melihat sahabatnya, Rosa. Walaupun Marisa banyak teman dan mudah bergaul, sahabat setianya cuma satu, Rosa. Yang lain hanya teman biasa yang baik di depan dan jelek di belakang. Kebanyakan orang dengki karena Marisa berwajah cantik, berperilaku baik, dan digandrungi banyak pria.  "Hai, Ros! Udah siapin tugas Pak Adit?” tanya Marisa sambil memeluk Rosa, dan dibalas pelukan erat oleh sahabatnya itu.  "Udah, Beib.  Kamu udah siap? Gimana kabar mama di kampung?” tanya Rosa sambil mengelus pundak Marisa.  "Udah Ros. Mama sehat, kok.” "Syukur deh kalo gitu.” "Tadi aku di tarik-tarik Farhan. Tahu nggak, tu anak malah cium kening gue! Kurang ajar banget, kan? Gue tampar tu anak,” lapor Marisa sambil cemberut. "Gile lu galak banget, Sa,” ujar Rosa, seolah tak percaya sahabatnya berani melawan kaum pria. "Abis tu anak ngeselin, sih. Gue kan nggak suka sama dia. Dah ah, kita siap-siapin aja buku-buku, bentar lagi Pak Adit datang.” Ada kerumunan rekan sekelas Marisa di bagian pojok belakang kelas mengobrolkan Marisa. "Tu si cewek centil datangnya siang amat. Beruntung ya, dosen kita telat datangnya.” Yang lain menimpali sambil memperhatikan Marisa, "So artis, so cantik banget dia.” Rosa mengusap-usap pundak Marisa dan mengalihkan pendengaran sahabatnya untuk mendengarkan Rosa berceloteh hal-hal konyol agar Marisa tak mendengar cibiran dari teman-teman sekelasnya yang julid. ☆☆☆ Waktu menunjukkan pukul tiga sore. perkuliahan Marisa akhirnya selesai.  "Ros, aku mau kumpul di BEM dulu, ya. Kalo kamu mau pulang duluan ke kos-kosan hati-hati, ya.” "Ok, Sa. Kamu pulangnya juga hati-hati, ya. Minta antar cowok-cowok ganteng fans kamu, gih.” Rosa menyikut pinggang Marisa. Marisa tertawa. "Oke Ros, bye.” Ia berjalan keluar kelas dan segera menuju ruang BEM. Di ruang BEM sudah berkumpul semua anggotanya. Mulai dari mahasiswa-mahasiswi jurusan kedokteran, kebidanan, dan keperawatan.  Terlihat sosok seorang laki-laki tampan—yang merupakan ketua BEM— tersenyum manis, lalu memandang Marisa dengan tatapan rindu. Pria itu adalah Febry yang sangat merindukan Marisa karena sudah lama tidak bertemu dengannya. "Marisa, nanti pulang rapat aku anter pulang, ya.” "Iya, Kak.” Marisa menjawab sambil tersenyum. Anggota BEM lain memperhatikan gerak gerik ketua BEM mereka yang tersenyum manis terus menerus ke arah Marisa. Mereka merasa aneh karena biasanya pria itu memasang wajah serius, tegas, dan menyeramkan. "Ehem! Ketua BEM kita kalo di hadapan pacarnya mah luluh, euy!” ujar salah seorang anggota sambil tersenyum mengejek Febry. "Bener banget. Kalo ada apa-apa, kita bilangnya pas ada Marisa, biar kita gagal dimarahin sama Pak Ketu,” timpal rekannya yang bernama Very sambil terkikik tertawa renyah melihat wajah Febry yang memerah. ☆☆☆ Selesai rapat, Febry dan Marisa berjalan bersama tanpa berpegangan tangan. Marisa tidak suka terlihat bermesraan di depan umum karena dirinya tidak suka mengumbar kemesraan dengan pasangan. Ia juga ketakutan jika banyak pria yang tahu ia telah memiliki kekasih. "Gimana kuliahnya tadi? Lancar, kan?" tanya Febry "Iya Kak lancar, kok.” "Uang jajan kamu udah abis belum? Kalo uang semester dari mama kamu cukup enggak?" "Uang jajan dari Kakak masih ada, kok. Kalo uang semester aku dapat tambahan dari keuntungan jualan online.” Marisa gemar berjualan baju online untuk menambah uang kuliahnya. Febry membukakan pintu mobil untuk Marisa. Sementara itu, banyak laki-laki fans Marisa yang memperhatikan mereka berdua. "Ya ampun, Yank, fans kamu banyak banget. Aku cemburu. Mereka lihat aku kok kayak begitu banget." "Apaan sih, Kak? Lebay deh.” "Itu kok tangan kamu merah, sih?” "Iya, ini biasa. Tadi ditarik-tarik fans, Kak.” "Kalo ada apa-apa bilang, ya. Jangan sampe kamu kenapa-kenapa gara-gara fans.” Febry menyalakan mobil dan mengantar Marisa pulang. ☆☆☆ Sekumpulan laki-laki tampan berbadan tinggi sedang bermain basket. Tidak ada sekali pun lemparan bola yang meleset. Peluit tiba-tiba berbunyi, menandakan permainan telah usai. Marisa yang menonton pertandingan tersebut berdecak kagum atas permainan basket yang dimainkan laki-laki tersebut. Marisa mengamati pertandingan tersebut dari bangku paling depan bersama sahabatnya, Rosa. Sesekali ia memperhatikan handphone-nya yang tak pernah sepi dari chat pelanggan. Sebuah tangan kekar menepuk keras pundak salah satu partner tim basket.  "Hey lo merhatiin siapa, sampe bengong begitu? Oooh ... lo merhatiin si Marisa, ya? Lo kenal emang?” Roy—atlet basket kampus—bertanya pada sahabatnya yang bernama Januar. "Apaan, sih? Lo ngagetin aja. Harusnya gue yang nanya. Emang lo kenal tu cewek?" "Siapa sih yang nggak tahu tu cewek cantik? Namanya Marisa. Doi mahasiswi kebidanan, cuy. Gilaaak, banyak banget fans-nya.” "Lo punya nomer w******p-nya, nggak?" "Tenang aja, cuy. Apa sih yang enggak buat lo? Gue ada, kok.” ☆☆☆ Setelah menonton pertandingan, Marisa berjalan bersama Rosa menuju kelas. Bruukkk! Marisa menabrak d**a bidang seorang pria.   ===Bersambung===  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD