BAB 3

1506 Words
Mereka akhirnya sampai di indekos Marisa dan Rosa. Febry menggendong tubuh Marisa yang terlelap tidur menuju kamar. Febry mewanti-wanti Rosa untuk menjaga Marisa dengan baik dan melapor padanya jika terjadi sesuatu pada gadis itu. Sikap Febry yang posesif itu demi kebaikan Marisa agar cepat pulih. Rosa berusaha membangunkan Marisa agar wanita itu mandi untuk membersihkan diri. Ia juga meminta Marisa segera menyantap makanan yang dikirim Febry lewat layanan online. Marisa perlahan bangun dan menuruti semua perintah Rosa. "Sekali-kali lo nurut sama gue, ya.” Rosa tertawa melihat Marisa yang baru kali ini menurut. "Ya, demi kebaikan gue. Gue bisa apa lagi selain nurutin keinginan Mbak Bidan yang satu ini.” "O iya, lo kan janji mau bahas yang tadi, kenapa mata lo bengkak kayak orang abis nangis.” Rosa bertanya dengan penuh keingintahuan. "Gue tadi nyamperin orang yang nyelametin gue, Ros. Gue kira dia orang yang baik, humble gitu. Eh, ternyata salah. Pokoknya di luar ekspektasi gue. Bahkan jabatan tangan gue aja dia cuekin.” "Orangnya ganteng, nggak?" "Yaelah, lo malah mikirin tampang, sih.” "Ya penasaranlah. Udah tua emang?" "Gue kira manager RS Wijaya ini udah berumur, eh pas gue ketemu kayak di atas 25 tahunan gitu. Ganteng sih, tapi gue benci sama sikap dia.” "Benci ... benci ... awas lo jadi cinta.” "Jaga omongan, lo. Masa iya gue suka sama cowok yang nggak berprilaku baik kaya gitu?” "Ya kalo nggak baik, dia nggak akan bawa lo ke IGD lah, Sa.” "Ya mungkin karena iba lihat gue pingsan.” "Mmmm gue mikirin nasib lo lusa. Kayaknya bakal ada dosen yang nemuin lo ke RS deh, untuk mastiin keadaan lo.” "Tenang, Ros. Lo tahu kan gue strong. Baru kali ini juga gue pingsan. Lain kali nggak akan ada kejadian kayak gini, gue jamin.” "Jaga kesehatan lo Sa, dan lo harus siap dengan pertanyaan dosen ntar lusa, ya.” ☆☆☆   = Indra POV = Aku melihat wanita itu pertama kali dalam acara penyambutan mahasiswa yang akan melakukan praktik lapangan di rumah sakitku. Wanita itu terlihat sangat cantik mengenakan pakaian seragam putih-putih dan memakai jas abu-abu yang menjadi ciri khas kampusnya. Mahasiswa lain terlihat pendiam, tapi tidak dengan wanita itu. Dia seperti sosok perempuan yang pecicilan dan tidak bisa diam, sibuk dengan dunianya. Dia selalu mengajak rekannya berbicara, padahal dia sedang dalam sebuah acara. Seharusnya dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh dosen dan orang dari pihak rumah sakit kami. Satu lagi, parasnya yang sangat cantik karena ditunjang hidung yang mancung, bola mata berwarna cokelat, rambut yang juga berwarna cokelat, kulit putih bening, dan badan yang tinggi semampai. Semua menjadi daya tarik yang sempurna. Sepertinya wanita ini keturunan Sunda Jawa karena nada bicaranya yang lemah lembut tapi cerewet. Dia gemar mengajukan beberapa pertanyaan untuk mewakili rekan-rekannya. Sejak melihatnya hari itu, aku selalu mencari tahu informasi tentang dia. Siapa keluarganya, asal usulnya, alamat rumah dan indekosnya, ditugaskan di ruangan mana, dan kepribadiannya seperti apa. Aku tidak kaget mendengar keterangan dari asistenku yang menyebutkan dia adalah dewi di kampusnya karena gemar bergonta ganti pasangan dan sangat digandrungi banyak pria. Kebanyakan pria dengan mudah bertekuk lutut di hadapannya, layaknya b***k cinta. Aku menginginkan tampilan yang berbeda agar dia penasaran padaku. Lantas saat dia masuk ke ruangan untuk mengucapkan terima kasih atas pertolonganku, aku sengaja menyerang dia dengan sikap dingin dan acuh. Padahal sesungguhnya saat itu, aku seperti melihat bidadari yang datang langsung dari langit. Aku sebenarnya kasihan melihat dia sangat kesal karena aku tidak membalas jabat tangannya. ☆☆☆ Seorang wanita dewasa memakai seragam dinas ruang VK menghampiri Marisa dan memeluknya erat. Wanita itu terlihat mencemaskan keadaan Marisa. "Marisa kamu udah baikan apa belum? Saya dengar dari Rosa kamu pingsan pas pulang dinas pagi itu,” tanya bidan senior yang malam itu shift bersama Marisa. "Iya, Bu. Saya pingsan waktu pulang dinas, tapi sekarang udah baikan, kok.” Matisa melepas pelukan mereka. "Ini buat kamu, Marisa.” Bidan itu menyodorkam sebotol minuman vitamin, "Diminum ya, biar strong.” "Siap, Bu. Saya nggak bakal tumbang lagi kayak kemarin, kok.” "O iya, Bu Euis cariin kamu, Sa. Dia sekarang di ruangan Kepala VK. Datanglah ke sana, ya.” "Baik, Bu. Saya permisi.” Marisa berlari menuju ruangan yang di dalamnya sudah ada dosen dan kepala ruangan VK. Marisa mencium punggung tangan dosen dan kepala ruangan VK, lalu duduk di kursi yang ditunjuk. Kepala ruangan meninggalkan Marisa dan dosennya untuk berbicara berdua. "Dengar-dengar kamu kemarin-kemarin pingsan. Apa benar, Sa?” tanya wanita yang bernama Euis itu. "Iya benar, Bu. Sepulang dinas malam saya pingsan dan dilarikan ke IGD. Mungkin karena saya kecapekan.” "Jangan diulangi dan tetap menjaga kesehatan kamu, ya, Sa.” "Baik, Bu.” "Kamu harus bisa menjaga nama baik kampus kita, jangan sampai berbuat kesalahan dan mendapatkan nilai jelek.” Marisa termenung memikirkan dirinya agar tidak melakukan kesalahan lagi. Pingsan adalah insiden memalukan saat kita berada di medan perang meski terjadi saat dirinya sudah selesai bertugas. Baru kali ini ia pingsan dan merasa malu atas kejadian tersebut. "Saya berjanji menjaga kondisi saya dan tidak akan lagi jatuh pingsan, Bu.” "Baik, silakan lanjutkan tugas-tugas kamu, Marisa. Semoga kamu mendapatkan nilai yang bagus.” Euis pamit kepada kepala ruangan VK. Ia akan memeriksa mahasiswi di ruangan lainnya. ☆☆☆ Rosa dan Marisa kali ini mendapat jadwal shift yang sama. Jumlah bidan dinas pagi dobel, berbeda dengan shift siang atau malam. Mereka berdua terlihat sibuk dengan gawai pintar yang mereka genggam, menggeser-geserkan layar dan serius membaca setiap poinnya. Layar ponsel Marisa dan Rosa menampilkan jadwal shift dan ruangan baru dari grup kelompok mereka. Karena sudah satu bulan penuh ia dan kawan-kawannya bertugas di ruang VK, akhirnya mereka dipindahkan ke IGD untuk bertugas selama 2 minggu di sana. Sepasang sahabat itu memeriksa jadwal shift dan jadwal libur guna mengkondisikan waktu, berapa kali mereka bertugas dan libur bersama. Rosa dan Marisa ingin berjalan-jalan menikmati waktu libur berdua ke pusat perbelanjaan untuk sekadar menonton film atau membeli kebutuhan selama praktik di rumah sakit. Marisa sangat menikmati waktu libur karena mereka bisa melepas ketegangan akibat beban kerja di rumah sakit. Keesokan harinya semua kelompok mereka berkumpul untuk melakukan briefing. Seorang pria yang adalah kepala shift bagian IGD menjelaskan dan menunjukkan ruangan pasien IGD umum dan IGD kebidanan. Ia juga menunjukkan di mana letak obat-obatan dan alat-alat yang biasa digunakan dalam tindakan.  Meskipun mereka mahasiswi bidan, mereka tetap andil untuk menolong pasien umum bila dibutuhkan. Pria itu juga menunjukkan foto perawat, bidan, dan dokter yang bertugas di IGD. Marisa kaget saat melihat foto dengan wajah yang tidak asing. Menurut penjelasan kepala shift pria tersebut, orang itu adalah kepala IGD sekaligus manager RS ini. Marisa langsung mengusap d**a karena merasa miris akan nasibnya. Setelah selesai mendengarkan setiap pengarahan pagi itu, rekan-rekan Marisa yang shift siang dan malam kembali ke indekos mereka masing-masing. Sementara Rosa dan Marisa bersiap mengenakan masker karena mereka yang bertugas shift pagi. "Lo lihat nggak foto tadi yang katanya kepala IGD?” Marisa membuka percakapan dengan Rosa. "Lihat dan inget mukanya. Emang kenapa?" "Lo kepingin tahu kan orang jutek yang nyelametin gue pas pingsan?" "Ya kepinginlah. Nanya mulu lo.” "Serius lo kepingin tahu?" "Iya … iya.” Rosa kesal. "Lo bakalan ketemu orangnya nanti.” "Yang mana, Saaaa? Lo jangan buat gue makin penasaran.” Kesal juga Rosa ke sahabatnya. "Daripada gue tunjukin lewat foto, mending lo lihat langsung aja, ya. Lo pasti bakal syok.” "La kok gue yang syok? Harusnya kan lo. Emang dia tugas di IGD juga?” "Gawatnya iya. Nasib gue apes banget!” Marisa mengusap-ngusap dadanya. "Yang sabar menghadapi kenyataan yah, Zeyeng. Jangan cuma lihat dari cover. Bisa aja nanti setelah akrab shift bareng dan lo kenal dia lebih jauh lo malah demen, terus lama-lama diembat juga.” Rosa tertawa puas. "Gue jinakin singa dulu kalo gitu.” Marisa tertawa dan mendorong tubuh Rosa keluar dari ruangan istirahat mereka untuk menyimpan tas. Marisa melihat-lihat apakah ada tanda-tanda keberadaan Indra, dokter ganteng itu. Jika belum memasuki IGD, artinya ia sedang sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. Pasien pagi itu tidak banyak, dan di waktu senggang, seperti biasa Marisa merapikan obat-obat injeksi dan tablet, mengisi air klorin yang habis, mengecek alat dan bahan habis pakai, serta merapikan semua peralatan dan ruangan bekas pakai. Kurang lebih tiga jam lagi waktu shift mereka akan habis. Tak lama kemudian, ada pasien kecelakaan yang dilarikan ke IGD. Marisa melihat seorang dokter dengan jas putih sedang membantu mengeluarkan pasien tersebut dari mobil ambulans dan mendorong brankar pasien ke dalam ruangan, melewati Rosa dan Marisa. Marisa memberi isyarat dengan dagu kepada Rosa ke arah dokter tersebut, sambil berbisik, "Itu orang yang nyelametin gue.” Rosa seketika melongo. Sepertinya gadis itu syok melihat pemandangan dokter ganteng atletis yang tampangnya bagai dewa. "Tu kan bener, lo syok,” ujar Marisa. "Bener orangnya emang yang itu? Gilaaaaa! Foto sama aslinya gantengan aslinya!" "Masa gue bohong? Bener yang itu.” Teriakan perawat senior mengagetkan mereka berdua. "Ayo kalian ke sana buat bantu menolong pasien itu!” perintah sang perawat. Marisa pun datang dengan alat tensi di tangan. Ia segera memeriksa tanda-tanda vital pasien.   ===Bersambung===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD