BAB 2

1611 Words
Marisa perlahan membuka kelopak mata. Ia berkedip beberapa kali secara perlahan agar kesadarannya kembali. Ia merasakan sakit pada area punggung tangan kanannya. Perlahan, ia gerakan tangan tersebut. Ternyata di situ sudah terpasang cairan infus ringer laktat dicampur dengan obat Neurobion agar badannya terasa segar dan rasa lemas yang ia rasakan perlahan berkurang. Kepala Marisa sekarang penuh pertanyaan. Mengapa ia bisa berada ruangan ini? Apakah ia pingsan? Lalu siapa yang membawanya ke sini? Terlihat Rosa datang mendekat dengan mimik wajah cemas. "Marisa, lo tadi pingsan di lorong.” Rosa berbicara dengan panik. "Iya, tadi aku lemes banget, Ros," sahut Marisa lirih. "Lo kecapekan shift malem ini. Untung ada dokter yang lihat lo dan bawa lo ke sini." "Siapa nama dokter itu, Ros?" "Gue nggak tahu, Sa. Gue juga nggak lihat orangnya yang mana." "Bantuin gue duduk, Ros,” pinta Marisa. Rosa pun membantu Marisa duduk. "Lo tunggu gue selesai dinas, nanti kita pulang ke kos-kosan bareng aja naik Grab. Lumayan kan hemat. Lo abisin dulu cairan infusnya sambil istirahat disini.” Rosa meninggalkan Marisa dan kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan tugas-tugas sebagai bidan di ruang VK. Seorang perawat datang untuk memeriksa tekanan darah, suhu, dan tetesan infus Marisa. "Pak, ngomong-ngomong yang nyelametin saya dan bawa saya ke sini siapa, ya?” Marisa bertanya pada perawat yang sedang bertugas itu. "Oh, itu Dokter Indra, manager RS ini, Dik." "Di mana ya Pak ruangannya? Saya mau mengucapkan terima kasih." "Di lantai 3 gedung A, Dik." "Makasih ya, Pak." "Saya lepas dulu infusnya ya, Dik, kebetulan sudah habis.” "Baik, Pak.” Marisa mengangguk sambil meringis menahan sakit ketika infusnya dilepas. Perawat itu menyiapkan kapas alkohol dan Micropore. Setelah mengoleskan alkohol pada plester yang terpasang di punggung tangan Marisa, ia menarik infus secara perlahan dan memasangkan kapas dan Micropore untuk menutupi luka bekas infus di punggung tangan Marisa. Merasa badannya kini sudah terasa kuat untuk berjalan, Marisa bergegas meninggalkan ruang UGD yang sudah ia tempati selama 5 jam itu. Ia menuju ruangan yang dimaksud perawat tadi. Setelah berjalan beberapa saat, ia sampai di lantai 3 gedung A. Marisa segera mencari ruangan yang bertuliskan "Ruang Manager”.  Marisa menemukan ruangan yang ia cari. Tepat di depan ruangan tersebut, Marisa melihat seorang sekretaris. Wanita yang terlihat berusia sekitar kepala tiga itu sedang serius melihat layar komputer. "Permisi. Maaf bu, apakah ini benar ruangan Dokter Indra?” tanya Marisa. "Iya benar, Dik. Mohon maaf sebelumnya, Adik ini siapa dan ada keperluan apa mencari Pak Indra?” tanya wanita tersebut kepada Marisa. "Ada yang harus saya sampaikan secara langsung kepada Dokter Indra, Bu. Bisa saya masuk?" "Sebentar, Dik. Saya tanyakan dulu apakah Pak Indra bersedia menerima tamu atau tidak. Mohon duduk dan tunggu sebentar, yah.” perintah sekretaris tersebut kepada Marisa. Setelah menunggu selama lima menit, akhirnya Marisa diperbolehkan masuk. Marisa mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan. Terlihat seorang pria berdiri di samping meja. Ia sedang sibuk memeriksa berkas-berkas penting miliknya. Pria tersebut memiliki badan tinggi dan rambut yang ditata rapi dengan pomade. Kulit yang putih terlihat bersih. Otot-otot dan postur tubuh atletis itu sangat menggoda. Penampilannya semakin menawan dengan kemeja dan celana bawahan yang berwarna senada, biru tua. Sungguh, ia merupakan salah satu makhluk Tuhan paling sempurna. Marisa sampai melongo melihat pemandangan paling indah tersebut. "Ada perlu apa, Dik?” Pria tersebut bertanya dan menghampiri Marisa. Marisa tidak menjawab karena masih terpana melihat sang dokter. Matanya tidak berkedip sama sekali. "Hey, kamu budeg alias nggak bisa dengar ucapan saya?” Sang dokter mulai emosi. Marisa yang masih berdiri tidak mengucapkan sepatah kata pun. "Halo, Dik.” Dokter itu menepuk kedua tangan di hadapan wajah Marisa. Marisa kaget dan mengedipkan mata. "Ma-ma-maaf, Dok. Maaf saya mengganggu waktunya.” Karena gugup, ia bingung dan lupa mau bicara apa. "Ada perlu apa mencari saya?” tanya sang dokter sambil memperhatikan Marisa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Marisa menjadi salah tingkah dibuatnya. "Saya mau mengucapkan terima kasih. Dokter sudah menyelamatkan saya saat pingsan tadi pagi dan membawa saya ke IGD.” Marisa mengulurkan tangan kanan untuk mengajak dokter itu bersalaman. Dokter ganteng itu tidak membalas jabatan tangan Marisa, malah pergi menjauh untuk duduk di kursinya. Marisa mengumpat dalam hati. Sialan jabatan tangan gue ditolak mentah-mentah, padahal cowok-cowok di kampus kepingin banget deket sama gue. Bajunya yang kepegang tangan gue aja sampe nggak dicuci. Pulpen yang abis dipinjem gue sampe diplastikin dan dijadiin benda bersejarah karena pernah dipegang sama cewek secantik gue. Kepedean amat gue, ya. Baru kali ini ada cowok kayak gini ke gue. Dokter itu sekonyong-konyong menggebrak meja. Alhasil, Marisa terjingkat kaget. "Kalau kamu cuma ngelamun, berdiri mematung di situ dan mengucapkan terima kasih, seharusnya kamu cukup titip pesan ke sekretaris saya yang di depan itu, tidak perlu menghabiskan waktu begini. Saya sibuk. Silahkan keluar!" Marisa kaget dan bersiap melangkahkan keluar dari ruangan tersebut. "O iya, satu hal lagi. Kalau kamu di medan perang, jangan sampai jatuh pingsan dan merepotkan orang.” Yang dokter itu maksud sebagai medan perang adalah lingkungan rumah sakit. Marisa mengangguk dan pergi dari ruangan itu. Mata Marisa terlihat memerah, siap menjatuhkan bulir-bulir air mata yang tidak bisa ia bendung. Setelah berada di lift, Marisa membersihkan air mata yang membasahi pipi. Ponselnya tiba-tiba berdering tanda panggilan dari sahabatnya, Rosa. "Marisa, lo dimana? Kok nggak ada di UGD.” Teriakan Rosa membuat gendang telinga Marisa mendenging. "Bisa nggak di telepon nggak teriak-teriak kaya gitu? Gue di gedung A Ros. Ada apa?" "Gue sekarang di IGD cari lo. Eh, lo malah nggak ada. Kita pulang bareng sekarang, yuk,” ajak Rosa. "Iya, Ros. Kita ketemuan di pintu utama sekarang, yah." Marisa pun berjalan menuju pintu utama. Ia melihat-lihat sekeliling, mencari keberadaan Rosa. Tak lama kemudian, Rosa menghampiri dari arah belakang. “Marisa!” panggil gadis itu. Marisa menoleh ke belakang. Mata merahnya mengundang pertanyaan Rosa. "Apa nggak salah lihat nih, gue? Kok gue lihat mata lo bengkak sih, Sa?" "Mungkin karena kelamaan tidur, Ros." "Enggak-enggak. Ini mah kek abis nangis.” Rosa merasa tidak yakin dengan apa yang dikatakan sang sahabat. "Malu, ah. Jangan diomongin sekarang. Mending kita pulang aja, biar gue jelasin di kos-kosan,” ajak Marisa. "Bentar, gue telepon seseorang dulu, yah." Tak lama kemudian, datang seorang pria memarkir mobil di depan Rosa dan Marisa. "Nah, ini dia pahlawan lo dateng buat jemput.” Rosa mengarahkan telunjuk ke pengemudi mobil. "Ros, lo kasih tahu Kak Febry?" "Iya, gue telepon dia buat jemput kita. Gue bilang lo abis pingsan." "Ih, lo kok bilang-bilang ke dia, sih? Gue malu, tahu. Baru kali ini gue kecapekan sampe pingsan, Ros." "Nggak pa-pa, kan lumayan ada yang jemput kita daripada naik Grab. Sesekali boleh, dong, manfaatin si Bucin. Dia seneng kok, lo suruh apa aja.” Rosa menyikut pinggang Marisa, lalu mengajaknya masuk ke mobil. Febry membukakan pintu mobil untuk Marisa. Pria tersebut adalah pacar Marisa yang sudah jalan sekitar dua minggu. Karena bucin, alias b***k cinta, Febry mau disuruh apa saja oleh Marisa. Ia juga tak segan memberikan apa yang dia punya demi gadis yang ia cintai. Marisa serasa menemukan harta karun mendapat pacar mahasiswa kedokteran yang lumayan tajir dan tidak perhitungan. Jarang ada lelaki zaman sekarang seperti Febry. Kebanyakan mereka matre, alias materialistis. Marisa memang memiliki pesona yang sanggup membius kaum pria agar tunduk dan bertekuk lutut padanya. Orang-orang menuduhnya menggunakan pelet, padahal tidak. Selain memiliki wajah cantik dan bodi proporsional, Marisa juga memiliki tindak tanduk yang santun. Mungkin itu yang membuat cowok-cowok bucin padanya. Hanya ada satu pria yang tidak terpengaruh oleh pesona Marisa. Orang itu adalah Dokter Indra. Ya, ia memang spesies langka. Bila pria lain sibuk mencari perhatian dan pendekatan pada Marisa, pria yang satu ini malah tak peduli. Marisa jadi merasa tertantang buat menaklukkanya. ☆☆☆ Febry memasangkan sabuk pengaman pada pacarnya, sementara Rosa duduk di bangku penumpang belakang. "Sayang, kok bisa sampe pingsan, sih?" "Baru kali ini aku pingsan, Kak. Mungkin karena kecapekan." "Duh, cewek pecicilannya Kakak yang ekstra sibuk nggak bisa diem ini sampe pingsan, kan. Jaga kesehatan, Sayang. Emang malam ini pasiennya banyak, ya, sampe nggak ada kabar?” Febry mengelus puncak kepala Marisa. "Lumayan ada banyak, Kak,” jawab Marisa dengan nada lemas. "Nih, Kakak bawain makanan kesukaan kamu. Banyak - banyak istirahat ya, Sayang.” Febry menyodorkan sebungkus plastik yang isinya puding, nasi kebuli, dan jeruk hangat. Nasi kebuli adalah makanan kesukaan Marisa. "Titip Marisa ya, Ros. Marahin aja kalo di kos dia nggak istirahat.” Febry mengarahkan pandangan ke Rosa. "Kamu lepas libur kan sekarang sama besok, Sayang? Jangan kemana-mana, istirahat aja, ya. Kalo kepingin makan, nanti aku kirimin.” Febry mengelus kembali puncak kepala Marisa. "Makasih, Kak,” ujar Marisa sembari menyandarkan kepala di pundak Febry. Febry mengecup kening Marisa. Rosa yang melihat pemandangan itu berkomentar, "Please … jangan mesra-mesraan depan gue, ya. Itu mengotori pandangan gue.” Rosa memasang ekspresi kesal. "Makanya buruan punya pacar, Ros,” jawab Febry. "Belum ada yang cocok di hati, Kak,” jawab Rosa. "Alesan aja. Masa belum ada yang deketin? Dia tuh jones salahnya sendiri, Kak. Abis dia cerewet sih," lapor Marisa. "Eh, lo orang lagi sakit tutup mulut, ya! Jangan ikut komen. Gue geplak lama-lama pala lo,” protes Rosa. "Dududuh, jangan, jangaaaaan! Kasihan si cantik kan lagi sakit, Ros. Jangan emosi, dong,” ujar Febry sambil mentertawakan Rosa. "Lagian sahabat macam apa, ngatain gue jones mulu, hiks.” Rosa memasang ekspresi sedih. "Cup cup cup. Maaf sahabatku, Sayang. Duh, jangan sedih gitu, nanti cantiknya luntur.” Marisa mencubit hidung sang sahabat. "Please jangan cubit-cubit hidung gue yang mancung ke dalem ini." "Udah-udah, kalian kayak kucing sama tikus aja. Udah Ros, jangan berisik biar Marisa bisa istirahat di mobil sampe kos-kosan kalian.” Febry menasehati Rosa. "Yes, ada yang belain gue.” Marisa menjulurkan lidah ke Rosa.   ===Bersambung===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD