Satu

804 Words
Apa yang diinginkannya seorang suami saat sampai di rumah setelah lelah bekerja seharian. Tentu saja, istri yang telah berdandan cantik, tersenyum manis menyambut suaminya di depan pintu. Kemudian menghangatkan air untuk mandi, lalu menghidangkan makanan enak di meja makan. Kenyataanya tak seperti itu, lihatlah, siapa ini? Wanita yang sebenarnya masih muda tapi tak pandai merawat diri. Daster robek yang sama seperti yang dia lihat tadi pagi, wajah suram penuh minyak, dan yang paling mengganggu adalah cengiran bodohnya. "Mas, aku belum masak," ucapnya, sukses membuat laki-laki yang baru saja melonggarkan dasinya itu terpancing emosi. "Apa lagi alasanmu?" "Aku nggak bisa memasang tabung gas, Mas." Alasan sederhana tapi sangat memuakkan. "Kita makan mie instan saja, ya! Air panas ada untuk merebus." Dia tersenyum tak merasa bersalah. Laki-laki itu ingin meluapkan kemarahannya, perut yang lapar, tubuh yang lelah karena dipaksa mencari nafkah, lalu di rumah dia hanya disuguhkan dengan mie instan? Kurang sabar apa lagi dia selama enam bulan ini? *** "Mas, ini bekalnya," wanita itu berlari mengejar. Rambutnya yang berponi bergoyang. Laki-laki tampan yang awalnya hendak menutup pintu mobil itu menatap tak semangat pada rantang bewarna hijau yang memiliki tutup bewarna kuning bahkan dia tak memasangkan rantang dan tutupnya dengan pasangan yang benar. "Apa lauknya?" "Telur ceplok," jawabnya semangat, penuh bangga. Cengiran itu tak lepas dari bibirnya. Dia tak peduli suaminya menatap bosan. "Aku makan di kantin saja." Dia menutup pintu mobil, lalu menaikkan kaca. Tanpa pamit mobil itu berlalu meninggalkan wanita berdaster batik cokelat itu. Wanita itu membawa rantangnya kembali. Ia meletakkan benda itu di atas meja makan, menatap benda itu sejenak. "Padahal ini enak," katanya sendiri. Dia membuka rantang itu, nampaklah nasi yang diatasnya terdapat telor ceplok dengan saos yang dibentuk gambar love. Tanpa banyak pikir, dia mengambil sendok, lalu memakan masakannya sendiri dengan lahap. *** Namanya Aldi Putra Rahmansyah. Umur tiga puluh tahun, tampan, dan mulai mapan, kenapa mulai mapan? Karena baru saja dia menjabat sebagai kepala cabang di bank swasta di kota Padang. Dia lelah, dia bosan, dia ingin berpisah, dengan wanita yang telah enam bulan mendampinginya. Andaikan dia bisa memutar waktu kembali, mungkin dia takkan membalas balas budi itu dengan cara yang salah. Menikahi wanita bodoh itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. "Pak Aldi." Sapaan lembut membangunkan Aldi dari lamunan, Siska, gadis yang baru magang lima hari, masih muda dan cantik. Wajar saja dia menjadi buah bibir laki-laki yang masih lajang, dia cerminan wanita ideal. "Eh, Sis." Senyum mengembang di bibir Aldi. Dia mencium aroma mawar lembut dari gadis itu, bukan bau kecut atau bau minyak kayu putih seperti Ranti, istrinya. "Saya butuh tanda tangan," kata Siska menunduk, dia meletakkan berkas itu di atas meja Aldi. "Tinggal di mana?" "Saya ngekos, Pak. Nggak jauh dari sini." "Aslinya dari mana?" "Saya Palembang, Pak." Siska mengambil berkas itu kembali. "Saya permisi, Pak." "Oh, ya. Silahkan!" Aldi menatap punggung Siska yang telah menghilang di balik pintu kaca ruangannya. *** Pulang ke rumah, adalah hal yang paling tidak menyenangkan bagi Aldi. Kalau boleh, rasanya ingin menginap di kantor saja. Tapi tak ada ruangan atau kamar yang bisa ditempati. Mobil masuk ke garasi, seperti biasa, ada wanita yang akan berlari dengan semangat menyambutnya. Siapa lagi kalau bukan Ranti. Wanita yang paling tidak disukai oleh Aldi. "Mas," rengeknya manja, dia bergegas mengambil tas Aldi, bergelayut manja, dan seperti biasa ditepis oleh laki-laki itu. "Sana! Aku gerah belum mandi." Dan seperti biasa juga, wanita itu menurut tanpa tersinggung. Aldi sengaja pulang agak terlambat, dia sempat mampir makan malam di sebuah restoran bersama Siska. Dia menawarkan diri untuk mengantar gadis manis itu, kebetulan mereka searah. Lihatlah Ranti. Rok kembang tabrak warna, baju kaus yang pundaknya sudah robek, rambutnya yang awut-awutan. Dia membuat Aldi semakin lelah. "Mas, ayo makan! Aku sudah masak. Kali ini Mas pasti suka." Dia bergerak lincah mengambil piring. Saat dia membuka tudung saji, Aldi mencegahnya. "Aku sudah makan, kamu saja. Besok tak usah masak lagi, buang-buang duit beli bahan dapur, satu pun tak ada yang enak." "Nanti aku akan belajar lagi, Mas," ucapnya semangat. Dia tak tersinggung sama sekali. "Sampai kapan mau belajar, ini sudah enam bulan, menikah denganmu adalah takdir paling sial, minggir!" Aldi mendorong Ranti kasar. Wanita itu hampir terjengkang, tapi dia tak peduli, tudung saji kembali dibuka. Goreng ikan Nila, sambal terasi, dia tau betul makanan ini enak kerena telah dicobanya. "Ah, sayang, aku saja yang habiskan." *** Aldi mematikan HP-nya. Suara dengkuran Ranti terdengar mengganggu. Aldi mendorong punggung Ranti menjauh, dia tak Sudi dekat-dekat dengan wanita itu. Aldi bosan, sampai kapan akan seperti ini, dulu dia tak punya uang untuk membayar utang pada keluarga Ranti, sehingga dia menyetujui pernikahan dengan wanita d***u itu, sekarang dia sudah punya uang, sayangnya seluruh keluarga Ranti telah meninggal dunia saat kecelakaan mobil sewaktu pergi kondangan. Aldi memandang jijik wanita yang bahkan mulutnya menganga ketika tidur. Jangankan untuk menyentuh Ranti, berdekatan dengannya saja dia tidak mau. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD