Dua

1051 Words
"Mas. Tadi Mbak Susi nanya, kok aku belum hamil," kata Ranti sambil meletakkan segelas teh di depan Aldi. Hari ini hari Minggu, artinya hari paling sial bagi Aldi karena akan berada di rumah cukup lama dengan Ranti. "Terus kamu jawab apa?" "Nggak ada, aku cuma senyum. Memangnya gimana cara agar anak ada di perut, apa turun dari langit?" Byur! Aldi tak sengaja menyemburkan air dari mulutnya. Ranti wanita dewasa dua puluh delapan tahun, yang bahkan tak mengerti bagaimana proses bayi tercipta. Wanita dewasa yang tak tak bisa membedakan mana telur ayam dan mana telur bebek. "Anak tercipta kalau laki-laki dan perempuan tidur berdua." Ranti tampak berpikir. "Kita selalu tidur berdua. Tapi belum ada anak." "Wanita bodoh macam kamu mana ngerti, ngertinya cuma nyinyir, sudah ah, sana, jangan ganggu aku." Dengan patuh, Ranti pergi, dia menuju halaman rumah dan duduk berayun di sana. Rumah besar ini adalah rumah keluarga Ranti. Tepatnya mantan majikan Aldi. *** Seperti biasa, Aldi akan membatasi mereka dengan guling, laku mendorong punggung Ranti menjauh darinya. Entah sampai kapan pernikahan ini, Aldi tak sabar ingin bercerai dengan wanita d***u itu. Ranti memang tidak sama dengan wanita dewasa pada umumnya, entah apa yang salah, yang jelas Aldi mendengar dulu dia berhenti sekolah karena selalu tinggal kelas. Anak-anak seusia dengannya tak mau berteman, sehingga orang tuanya membatasi pergaulan dan melengkapi fasilitas bermain di rumah. Ranti bisa mengerjakan pekerjaan sederhana, bersih-bersih sekedarnya, memasak sekedarnya, dan semua sekedarnya. Dia tak pernah memiliki inisiatif sendiri, semua pekerjaan harus diarahkan dulu. "Enggh!" Ranti bergumam. Matanya masih terpejam, kakinya gesit menendang selimut. Gaun tidur tersibak, walaupun dia wanita bodoh, dia memiliki kulit yang halus dan tubuh yang cukup bagus. Aldi mengambil selimut itu dan menutup Ranti kembali. Tidak, dia tak boleh menyentuh wanita itu, dia tak ingin terikat lebih jauh, apa lagi sampai memiliki anak, amit-amit, Aldi tak ingin memiliki keturunan yang bodoh. Setidaknya, anaknya nanti secantik dan sepintar Siska. Aldi tersenyum, tak sabar ingin berjumpa gadis manis itu besok di kantor. Siska wanita muda yang manis dan menyenangkan, dia begitu peka, otaknya cerdas. Dia bisa diandalkan dalam segala hal. Intinya semua kriteria wanita ideal ada pada Siska. Aldi melirik Ranti, dia mendengus bosan. *** "Mas," "Hmm," "Kata Mbak Susi, sesekali aku ikut pengajian saja sama ibu-ibu yang lain. Kata Mbak Susi, biar aku ada temannya, nggak di rumah terus. Kata Mbak Susi, kalau keluar rumah kita bisa nambah pengalaman." "Kata Mbak Susi terus, siapa dia? Ibumu?" bentak Aldi, dia tidak mau dibuat malu oleh tingkah istrinya yang d***u, sejak menikah dengan Ranti, dia menarik diri dari masyarakat. "Bukan, ibu kan udah nggak ada," jawabnya santai. "Pergi sana! Nengok kamu bikin aku nggak selera." "Aku belum selesai ngomong." "Apalagi?" Aldi semakin kesal. "Kemaren orang Bank ke sini." Aldi memucat, dia bahkan tak jadi menyuap roti tawar ke mulutnya. "Terus?" "Katanya Mas Aldi ada utang." Aldi diam saja. "Kalau nggak dibayar dalam waktu lima hari rumah ini mau disita. Gitu katanya," Ranti bercerita sambil tersenyum konyol, padahal yang dia kabarkan ini adalah berita yang mengejutkan. Memang, Aldi menggadaikan rumah ini beberapa bulan yang lalu untuk membeli mobil, cicilannya besar, dan dia baru diangkat jadi kepala cabang. Sebelumnya gajinya cuma tiga juta, dan dia telah tiga bulan tak membayar cicilan Bank. "Terus apa kamu bilang?" "Nggak ada. Iya iya saja." "Bagus." "Mas, kalau rumah kita disita, kita tinggal di mana?" "Aku akan membayarnya, tenang saja." "Baiklah, aku hari ini masak enak. Ayam goreng tepung, tunggu! Mas bawa bekalnya ya." "Tidak usah, memangnya aku anak TK." Sebenarnya dia berniat makan siang dengan Siska. "Enak, Lo, Mas. Mbak Susi mengajariku membuatnya." "Kau makan saja sendiri!" "Mas, kok marah-marah terus?" "Wanita bodoh kayak kamu ini bikin tensiku naik. Sana! Jauh-jauh." Senyum konyol Ranti lenyap, matanya berkaca-kaca. "Aku rindu ayah ibu," dia terisak. "Ayah ibumu sudah di dalam tanah, gila kamu. Semua orang yang berada di sekeliling kamu, terkena sial, tau?" Aldi bangkit, mengambil tasnya, tak peduli dengan Ranti yang memeluk lututnya di atas meja makan. Senyum Aldi langsung cerah saat melihat Siska telah menunggu di depan kossannya. Gadis itu, begitu cantik. "Sudah lama nunggunya?" "Baru beberapa menit, Pak." "Kok, Pak, sih? Mas, dong." "Eh, iya Mas." "Nanti kita makan siang bareng, ya?" "Jangan Mas, saya nggak enak sama kawan-kawan di kantor." "Tenang saja, aman kok, nanti saya suruh orang ngantar kami, kita jumpa di restoran kemaren, oke?" "Baiklah!" "Pinter," kata Aldi tersenyum sambil mencubit hidung Siska gemas. *** "Mau makan apa?" Aldi tersenyum manis, Siska tersipu, sebuah kebanggaan baginya bisa dekat dengan bos besar yang perhatian dan ganteng. "Terserah aja, Mas." "Loh, kok terserah, sih? Mas pesan menu spesial di resto ini ya." "Boleh, deh." Aldi memberikan buku menu pada pelayan. Siska meminum air putihnya dengan anggun. Aldi memandangnya takjub. Gadis ini sangat cantik. "Udah punya pacar, Sis?" Awalnya Siska kaget, lalu tersenyum canggung. "Belum," jawabnya menunduk. "Ah, masa? Gadis secantik kamu nggak punya pacar." "Benar, belum, Mas." Hati Aldi bersorak gembira, kesempatan. Dia melihat Siska juga ada hati padanya. Yang jelas, orang kantor taunya Aldi masih lajang, sayang kesempatan disia-siakan. "Jadi pacar Mas mau nggak?" Siska mengangkat wajahnya, ada raut tak percaya. Siapa yang akan menolak laki-laki setampan Aldi. "Eh, saya, nggak bisa jawab." "Mas kasih kamu waktu berpikir." Siska mengangguk. Aldi tersenyum cerah, misi pertama berhasil, misi ke dua, tinggal menyingkirkan wanita bodoh yang ada di rumah. *** Aldi sampai di rumah jam delapan malam, sepulangnya dari kantor, Aldi dan Siska tak langsung pulang ke rumah masing-masing, mereka sempat nonton dulu. Aldi merasa mood-nya hancur, wanita pemilik senyum bodoh itu membuka pintu dengan semangat. "Mas, lembur?" "Sana!" Aldi mendorong bahu Ranti sampai wanita itu terdorong mundur beberapa langkah. Bodohnya, dia masih mengejar Aldi dengan semangat. "Mas, aku udah lapar, aku nunggu Mas, ayo kita makan," katanya semangat, dia tak peduli Aldi semakin menatapnya sinis. "Aku sudah makan, jangan menungguku pulang." Aldi membentak, Ranti mengerjap kaget. "Mas, kata Mbak Susi," "Diam," bentak Aldi lagi. "Bisa kau diam? Aku pusing dengan wanita bodoh sepertimu. Mulai malam ini, kita tidur terpisah, aku sudah muak denganmu, wanita bodoh yang tak bisa apa-apa, hanya bisa menyulitkan ku, hanya bisa memberiku sial, aku ingin kita bercerai, kau mengerti? Hah? Orang bodoh sepertimu mana ngerti, yang kau tau makan dan tidur, seperti kerbau." Blam! Pintu dibanting kasar. Ranti terdiam, matanya memanas, ratusan kali dia dikatakan bodoh, tapi tak apa-apa, tapi yang terakhir kali ini, membuatnya menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD