Laki-laki Bergutrah Hijau

2789 Words
Malam ini hawa terasa cukup panas. Tanpa sadar aku terbangun di atas sebuah sajadah berwarna hijau muda pemberian Almarhum kakek dengan wajah lumayan basah diguyur keringat. "Astaghfirullah!" gumamku beristigfar, rupanya aku ketiduran selepas melakukan wirid ba'da sholat Isya tadi. Aku sangat kelelahan dan capek luar biasa hari ini. Tadi malam, jam dua malam baru bisa pulang ke rumah setelah melakukan diskusi intens dengan beberapa teman kuliah antar prodi sambil nyari referensi untuk penyelesaian tesis yang sedang kukerjakan. Biasanya aku memang menyempatkan sholat berjamaah di Musholla ketika Shubuh, Maghrib dan Isya. Akhir-akhir ini Dzuhur dan Ashar juga selalu tidak punya waktu luang berjamaah karena sibuk di luar untuk urusan tesis ini, tapi kalau sempat—pasti aku akan coba nyari Mesjid buat menunaikan sholat berjamaah. Selain mengejar S2, sekarang ini terkadang aku juga disibukkan oleh aktifitas mencari nafkah untuk tambahan hidup seperti memberi kuliah atau menjadi penceramah di mesjid-mesjid dan instansi. Aku juga rutin menulis essai, makalah, naskah ontologi dan kemudian mengirimkannya. Aku sendiri telah menelurkan beberapa buku yang syukur Alhamdulillah beberapa diantaranya ada yang menjadi bestseller. Karya tulisku yang telah diterbitkan dan dibukukan seperti Ilmu Antara Mekkah dan Madinah : Esoterism Of Hadist, Al Furqan : Torah and Qur'anic Essenstial dan juga Intens Bersinergi Dengan Al-Qur'an : Manusia Paripurna. Alhamdulillah selama ini aku memang produktif menulis dan semua tulisanku sebagian besarnya adalah lewat pendekatan yang bersifat interdisipliner—sesuai dengan minat studi dan disiplin ilmu yang kutekuni di akademi yakni perbandingan agama. Aku suka aktifitas tulis menulis sebagaimana Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam sendiri pernah bersabda : "Ikatlah ilmu dengan tulisan". Berangkat dari semangat dalam hadist Nabi itulah, maka aku menyemai ilmu dengan aktifitas tulis menulis dan oleh karena itu pula syukur kepada Allah hal ini bisa jadi lumbung penghasilan bagiku. Aku bisa membiayai kuliahku sendiri saat ini serta sudah bisa menaik-haji kan ayah setahun yang lalu. Ayahku adalah seorang mantan pengayuh becak yang biasa mangkal di Pasar Teluk Dalam Banjarmasin. Saat ini beliau tinggal bersama bibiku, adik paling bontot ayah di Kalimantan Tengah. Beliau sedang mengurus cucu-cucu beliau, anak dari adik sepupuku disana. Sementara ibuku, meninggal ketika aku duduk di kelas 4 SD karena penyakit Leukimia. Dan aku saat ini masih tinggal sendiri di kota Banjarmasin demi menyelesaikan kuliah. Menyewa sebuah rumah petak di daerah Handil Bhakti dengan uang sewa enam ratus ribu perbulannya, cukup murah. Dan akhir-akhir ini aku memang luar biasa sibuk, tidak punya waktu luang, lagi gencar-gencarnya menyelesaikan tesis untuk magisterku. Aku ingin cepat-cepat lulus dan kalau bisa sih, ingin segera mengejar gelar doktor. Aku mengambil program studi pascasarjana Akhlak dan Tasawuf di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin. Sebelummya aku juga menyelesaikan sarjana di fakultas yang sama untuk jurusan studi agama-agama (Comparative Studies of Religions) dan lulus dengan Summa Cumlaude. Indeks prestasi kumulatif atau IPK ku adalah 4.00, merupakan yang tertinggi. Aku merampungkan S1 dengan skripsiku saat itu yang berjudul "Kajian Hermeunetik Frasa Hudan Dalam Al Baqarah 38 dan intertekstualitasnya dengan Kitab Kabbalist, Sefer HaRazim Hamalakh." Untuk tesis S2 ku sendiri sekarang ini secara khusus aku mengambil topik ontologi konsep kosmik dalam ketiga puluh sembilan jilid kitab Al Futuhat Al Makkiyah, sebuah karya Magnum Opus dari sufistik terkenal abad ke-12 Syeikh Al Akbar Ibnu Arabi. Setelah terbangun dari tidur singkatku barusan, aku langsung saja merapikan sajadah, tasbih, lalu mulai berganti pakaian. Waktu telah menunjukan pukul delapan lewat lima belas menit malam. Aku baru saja ingat ini malam kamis. Malam dimana aku biasanya rutin ke tempat guruku, KH. Abdulhaq, untuk bermudzakarrah langsung dengan beliau. Aktifitas ini memang telah menjadi kebiasaan dan rutinitasku tiap dua kali dalam seminggu, belajar langsung di rumah beliau yakni pada rabu malam dan malam minggu atau pada sabtu malam. Sembari berganti pakaian koko dari yang warna putih yang biasa aku pakai untuk ibadah sholat—ke baju koko berwarna biru gelap—aku memikirkan kembali tentang mimpi yang baru saja aku alami. Padahal tadi ... rasanya aku hanya tertidur sebentar, mungkin sekitar dua puluh menitan, tapi wajahku sudah basah oleh aliran keringat. Aku kembali mengingat-ingat mimpi yang terasa nyata barusan. Dalam mimpi itu, aku serasa melihat sosok yang gagah, berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak juga tidak rendah. Wajahnya tidak terlalu nampak, namun yang kuingat hanya cahaya terang, sangat terang! Cahaya yang memancar dari wajahnya begitu terasa hangat dan terlalu indah untuk dipandang, bersinar memukau bak berlian murni bermandikan rembulan nan sempurna, terlihat nampak esensi keindahan luar biasa dari setiap jengkal cahaya di wajahnya. Saat itu, aku ingat lelaki itu memakai gutrah berwarna hijau. Gutrah adalah penutup kepala khas orang-orang arab dan timur tengah pada umumnya. "Apa tadi itu Baginda Rasulullah?" gumamku bertanya-tanya dan berasumsi. Toh mimpi tersebut terjadi tepat selepas aku menunaikan sholat Isya. "Ah, tidak mungkin!" Aku nafikan kembali pikiran itu. Bukannya tidak percaya terhadap cerita dimana Rasulullah kadang bisa menemui umat kesayangannya via mimpi. Sudah banyak contohnya. Almarhum Habib Munzir Al Musawwa Rahimahullah misalnya, konon hampir tiap malam beliau bermimpi bertemu sang kekasih hati, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Aku tidak pernah skeptis maupun meragukan sedikit pun tentang keistimewaan semacam ini. Namun aku hanya berpendapat tidak mungkin orang sepertiku mendapat kebaikan sebesar itu, dijumpai oleh sang manusia paripurna, paling sempurna ... Nabi Muhammad sang kekasih ilahi, pujaan hati tiap insani. Aku rasa mimpi tadi hanya sebatas bunga tidur biasa yang tidak memiliki arti apa-apa. Akan tetapi sulit bagi pikiranku untuk tidak memikirkannya. Pria bergutrah hijau tersebut tidak bicara apa-apa. Dia hanya menatapku seraya tersenyum simpul biasa. Apa ada maksud dari mimpiku itu? Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku memimpikan suatu mimpi yang begitu akrab, mimpi yang begitu hangat, terasa nyata dan sulit dilupakan bagi kedua mata ini yang sesungguhnya tidak pernah terbuka ketika melihat dan merasakannya. Kulupakan sejenak tentang mimpi itu, aku kemudian langsung bersiap untuk keluar rumah, berangkat menuju rumah tuan guru. Waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh tujuh menit. Biasanya aku tidak pernah setelat ini. Selepas Isya jam delapan lewat sepuluh aku biasanya sudah berada di rumah beliau dan pulang pukul sepuluh malam tepat. Aku juga memperhatikan kesehatan dan kemaslahatan tubuh guruku itu yang sudah lumayan tua dan sepuh, usia beliau kira-kira sekitar 68 tahun saat ini. Dua jam mudzakarrah bersama beliau, itu lebih dari cukup! Sebenarnya aku ingin satu jam saja biasanya tapi kata beliau tidak apa-apa. Dua jam penuh yang berharga bagiku. Total kurang lebih empat jam setiap minggunya—aku seorang thalib yang fakir ilmi ini berkesempatan menimba ilmu dari salah satu sumber ilmu. Alhamdulillah terima kasihku kepada Allah SWT. Sebagai tholibul ilmi aku selalu bersyukur masih diberi kesempatan dalam pencarian tiada akhir akan ilmu-ilmu agama. Sebagaimana doa yang sering kupanjatkan selepas sholat Shubuh seperti yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’a, wa rizqon thoyyiba, wa ‘amalan mutaqabbala. “Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan rizki yang baik.” Aku lalu keluar seraya menutup dan mengunci pintu rumahku. Ketika sedang mengunci pintu, tiba-tiba ada suara seorang perempuan menyapaku. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan berjilbab merah muda tersenyum ke arahku. "Mau ke tempat gurumu ya, kak Rani?" sapanya dengan ramah dengan suara rendah. "Iya. seperti biasa, ini kan rabu malam Zah." Jawabku tersenyum membalas senyumnya. Perempuan itu bernama Zahra Fitria, tetanggaku sebelah rumah sekaligus juniorku di Almamater. Ia sekarang sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan Psikologi Islam. Zahra ini merupakan putri kedua dari H. Iskandar Mukhtar, guru Mts sekaligus guru ngajiku sewaktu kecil dulu. Jujur saja kukatakan bahwa aku pun menaruh perasaan kepada gadis manis bernama Zahra ini. Dia anak yang sholehah, baik, sopan, dan berparas cantik. Siapa laki-laki yang tidak akan jatuh hati dengan wanita muslimah berkualitas seperti Zahra? Sebagai tetangga, kami memang cukup akrab. "Aku senang dengan pemuda rajin sepertimu kak Rani." Puji Zahra. Senyum indah dan kata-katanya barusan, membuatku malu namun juga tak kupungkiri memberi kesan bahagia di hati. Zahra sebagaimana anak-anak lain di kampus, juga memanggilku dengan panggilan Rani. Namaku adalah Ahmad Rizalul Qur'ani, dan bagiku aneh saja ketika dipanggil Rani oleh kebanyakan orang, bukankah umumnya itu nama bagi wanita atau perempuan? Penyebutan namaku menjadi "Rani" ini anehnya sudah terjadi semenjak aku berada di bangku sekolah dasar, lalu berlanjut ke SMP dan juga kemudian SMA. Kan bisa saja aku dipanggil Ahmad, Rizal (ini yang paling potensial sebenarnya) atau Alul, tapi kenapa malah dipanggil Rani? Entah apakah aku harus marah dengan orang-orang yang selama ini memanggilku Rani dan apakah marahku itu karena namaku sengaja diubah menjadi nama anak perempuan atau marah karena mereka kurang menghargai dan kurang ajar terhadap nama Qur'ani itu sendiri. Malah ketika SD dahulu, aku pernah berkelahi dengan salah seorang teman sekelas hanya karena masalah nama ini. Dia mengejek aku memiliki nama perempuan. "Kak Rani kapan-kapan bisa ya, mudzakarrah bareng sama Zahra terkait ulumul Qur'an." Ucap Zahra tak segan. Ya Allah! Getaran kuat apa ini? Hati dan perasaan terasa semakin membuncah senang tak terkira. Padahal biasanya cukup sering kok aku mengobrol dengan Zahra, tapi entah kenapa malam ini rasanya agak berbeda. Mungkin karena sudah agak lama aku tidak pernah bicara berdua dengannya lagi seperti ini dikarenakan kesibukanku beberapa minggu terakhir. "Maaf Zahra, bukannya nggak mau, tapi mudzakarrah itu ibarat katarsis dalam perspektif Psikoanalisis. Pendekatan dan pembelajaran yang menyirami jiwa yang haus dahaga—layaknya seorang pasien yang membutuhkan dorongan dan pemantik dari seorang terapis, nah terapis tersebut adalah sang Mursyid itu sendiri—sementara aku kan belum setara Mursyid." Jawabku sembari melempar senyum padanya. "Bagiku, kakak adalah tipe lelaki yang bisa menjadi Mursyid bagi keluarga kok. Imam yang baik juga." Sahutnya. Kembali, kata-kata dan pujian Zahra tersebut menerbangkanku ke langit malam. Pujian dan ucapan manisnya tak ubahnya sebuah pisau belati yang amat tajam nan berbisa. "Cepat kak pergi, nanti telat loh." Kata Zahra mengingatkan. "Lah, benar. Aku jadi lupa kalau harus buru-buru." Gumamku sembari menepok jidat lalu sebentar memanaskan mesin sepeda motor. "Hati-hati ya kak Rani," kata Zahra sembari duduk di tepi teras rumahnya yang tepat berada di sebelah rumah petakku. "Senang bicara dengan kakak lagi, soalnya akhir-akhir ini ... kakak terlalu sibuk sih." Timpalnya, aku hanya mengangguk dan kembali melempar senyum terbaikku. Setelah itu aku langsung bergegas menaiki sepeda motorku, sebuah motor matic berwarna putih dengan stiker lafadz Allah dan Nabi Muhammad di masing-masing kaca spionnya. Perjalanan dari Handil Bhakti ke Pelambuan kecamatan Banjar Barat lumayan cukup jauh. Paling cepat memakan waktu tiga puluh sampai empat puluh menit, itupun kalau ngebut. Aku lalu pamit ke Zahra dan pergi menuju rumah tuan guru. Senang rasanya dapat bicara dengan Zahra lagi malam ini. Kusadari bahwa waktuku memang tersita banyak sekali untuk mengejar penyelesaian tesis kali ini. *** Akhirnya aku pun sampai di rumah guruku tepat pukul sembilan kurang tujuh menit. KH. Abdulhaq langsung keluar rumah untuk menyambutku dengan senyuman menghiasi wajah teduh beliau. Beliau sudah hapal betul bunyi sepeda motorku ini. Beliau keluar rumah dengan tampilan apa adanya, hanya memakai celana cingkrang putih dan kaos oblong berwarna putih polos biasa. "Masuk Ahmad!" KH. Abdulhaq mempersilahkanku. Aku segera meraih tangan beliau lalu kucium dengan penuh takzim. Inilah yang dinamakan adab seorang murid. Beliaulah satu-satunya orang yang memanggilku dengan panggilan Ahmad ketika seantero bumi termasuk keluarga dan orangtuaku sendiri bersepakat memanggilku Rani. Beliaulah yang memahami betul kesakralan sebuah nama yang dimiliki seseorang. Lebih tepatnya beliau inilah yang memberiku nama yang kusandang saat ini. KH. Abdulhaq selain adalah guruku, juga sudah lama menjadi guru dari ayahku bahkan sebelum aku lahir. Ketika aku lahir, secara khusus ayahku meminta beliau untuk memberikan sebuah nama untukku. Dan Ahmad Rizalul Qur'ani ini adalah nama kebanggaanku yang merupakan pemberian dari beliau. "Tumben sekali kamu jam segini baru datang. Kukira malam ini kamu tidak datang nak Ahmad." Ucap beliau. "Maaf guru, tadi aku ketiduran selepas sholat Isya." Jawabku sedikit meringis sambil tersenyum. "Oh, begitu. Tidak apa-apa, ayo silahkan masuk!" Aku pun duduk bersila dihadapan beliau dan seperti biasa memulai sesi dialog kami, diskusi dan abreaksi atau mudzakarrah bersama guruku, KH. Abdulhaq. Aku selalu kagum dengan tutur kata dan penjabaran beliau dalam mengajar dan menjabar ilmu. Penyampaian beliau lugas dan syarat makna. Setiap kata yang terlontar dari mulut beliau, laksana mutiara hikmah yang menempa hati dan sanubari. Apa yang beliau katakan, tidak pernah lepas dari framing Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Hanya ada kitab suci Al-Qur'an sebagai dalil primer di setiap pengajaran beliau selain daripada hadist Nabi tentu saja sebagai pendampingnya. KH. Abdulhaq adalah seorang pakar Ulumul Qur'an, Ahli Lughah Arab, ahli tafsir dan seorang sufi yang menurutku luar biasa. Metode tafsir dan pandangan-pandangan beliau selalu esoterik dan impresif. Beliau juga memiliki banyak jemaah lintas usia. Pengajian atau majelis rutin beliau bersama para jemaah lain diadakan pada selasa malam atau malam rabu di rumah beliau. Kadang kalau sempat, aku juga biasa menghadiri majelis beliau namun aku lebih senang bermudzakarrah secara pribadi seperti ini, lebih intens. Tarekat beliau ini tidak terafiliasi dengan tarekat besar sufi manapun seperti Naqsyabandiyah ataupun Qodiriyah, bisa dikatakan sebuah tarekat independen dan tersendiri. Walaupun begitu, transmisi sanad keilmuan KH. Abdulhaq juga jelas bahkan tersambung sampai ke Sunan Kalijaga dan sampai pada para Imam cucu dan cicit Nabi seperti Muhammad Al Baqir, Ali Zainal Abidin, Husein bin Ali, Ali bin Abi Thalib dan akhirnya ke Baginda Nabi besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Aku menaruh takzim dan kekaguman yang besar terhadap KH. Abdulhaq. Bagaimana akhlak bicara beliau, kelugasan ilmu beliau dan sudut pandang episteme beliau terhadap berbagai fenomenologi ayat baik kauniyah maupun kauliyah. Hati ini serasa sejuk, tenang dan senang setiap kali memandang wajah beliau. Aku berpikir, ini baru kerinduan dan kasih sayang terhadap salah seorang dari orang soleh yang Arifbillah saja. Lantas, bagaimana beruntung dan berkhidmatnya para sahabat dahulu kala yang bisa merasakan sezaman dengan baginda Rasul. Bisa melihat, memandang dan belajar langsung dengan junjungan mulia, kekasih Allah ta'ala. Pada mudzakarah kali ini, aku dan guruku digiring pada pembahasan tentang Al-Ism atau nama dari sang khalik, yaitu Allah Swt. Beliau mengatakan bahwa dalam frasa bismillah yang menjadi mukkadimah dari ke 114 surah Al-Qur'an kecuali Surah Al Barrah atau At Taubah karena merupakan surah perang, terdapat rahasia agung tentang penyertaan Tuhan dan penjagaan Tuhan terhadap hamba-hambaNya. "Bismillah ... adalah suatu pernyataan tentang pengikutsertaan nama-Nya dalam setiap aspek yang dilakoni manusia. Ma'Asmihi ... beserta nama-Nya." Papar KH. Abdulhaq dengan gurat serius di wajah. "Apakah itu manifesto dari suatu tingginya kedudukan seorang hamba guru? Qaus as-Su'udi. Ekspresi tentang mikro yang satu kesatuan dan merupakan bagian dari yang makro atau wahidiyyah (The Oneness) secara definitif?" tanyaku. "Ahadiyyah (the one and only) memiliki realitas yang jamak sebagai eksistensi yang sebenarnya tunggal." Balas KH. Abdulhaq. "Bedakan ahadiyyah dan wahidiyyah. Hanya mereka yang mampu Ma'asmihi bersama ilahi yang akan mendapat Furqon, Cahaya, dan Sakinah." Tambah beliau. "Sakinah ... apa kesejatian dari kata itu guru?" tanyaku dengan penuh penasaran. "Penjagaan! Yang mendatangkan ketenangan, dan bala tentara." Jawab beliau singkat. "Penjagaan? Jadi berhubungan dengan terma beserta nama yang sedang kita bahas?" "Tentu saja! Kita tidak sedang talaqqi Qur'an dan hafalanmu telah khatam. Tapi, cobalah untuk membaca surah At Taubah ayat 40 Rani." Pinta beliau. Akupun membaca surah At Taubah dengan ayat yang beliau pinta untuk dibacakan. Setelah aku selesai membacanya, beliau kemudian bertanya. "Apa arti La Tahzan dalam ayat itu?" "Jangan bersedih dan berduka! Sebagaimana juga kata Yahzanun." Jawabku datar. "Benar! Nabi kita, menenangkan sahabat beliau Abu Bakar, yang saat itu gundah gulana, dengan kata-kata tersebut. Jangan bersedih, Allah beserta kita. Lalu seketika Allah jadikan Sakinah (ketenangan) ke dalam hati mereka." Ayat tersebut mengisahkan tentang pelarian Nabi Muhammad bersama sahabat beliau, Abu Bakar yang saat itu bersembunyi di dalam gua. Dan musuh telah berada di bibir gua. Apa yang dirisaukan dan disedihkan oleh sahabat mulia Abu Bakar bukanlah terkait keselamatan dirinya semata melainkan hanya keselamatan sang junjungan tercinta. Beliau teramat takut waktu itu, takut bagaimana jika Rasulullah kenapa-napa. Tetapi Allah Swt akhirnya menolong mereka, dengan penjagaan bala tentara-Nya yang tak terlihat. "Kata Junuduus, Junuudal atau bala tentara yang tak terlihat (para malaikat) hanyalah indikator dari hadirnya Sakinah Tuhan di tengah-tengah mereka. Pribadi sakinah, adalah pribadi yang terpelihara dan terjaga, karena pribadi inilah yang mampu menghadirkan esensi ketuhanan dan ketenangan dalam dirinya." KH. Abdulhaq kembali menerangkan. Aku jadi teringat akan frasa Shekinah glory dalam yudaisme. Shekinah merupakan representasi dari kehadiran ilahiyah bagi mereka. Kehadiran ilahi yang selalu menjaga dan menyertai bangsa mereka, baik ketika masih menjadi suku nomaden tanpa tanah (landless) maupun sesudah mereka memasuki tanah kanaan, tanah perjanjian. Shekinah sendiri erat kaitannya dengan legenda The Ark Of Covenant atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai Tabut Perjanjian. Sebuah benda bertuah dan dikeramatkan oleh Bani Israil. Dibuat dan diinstruksikan sendiri oleh Nabi Musa as. "Dengan kata lain, mereka yang telah bersama asma Allah, akan mendapat penjagaan, ketenangan dan kemuliaan, karena mereka telah bersama Allah?" tanyaku. "Itulah artinya Bismillah, dengan nama Allah! Nama, tidak akan pisah dari sang pemilik nama. Bersama nama-Nya, sama dengan bersama-Nya." Kata KH. Abdulhaq sembari melemparkan senyum lebar. Terlihat gigi-gigi beliau yang sudah tidak banyak lagi. Mungkin hanya tinggal beberapa saja. Maklum, kan beliau sudah tua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD