Bab 8: Benang yang Terkubur

1706 Words
Malam itu datang tanpa suara, tanpa denting jam, tanpa angin yang berbisik. Tapi di dalam kamar sempit yang jadi markas mereka sebuah ruangan pengap di lantai tujuh rumah susun tua yang bocor di musim hujan dan panas seperti oven di musim kemarau lampu neon tetap menyala. Cahayanya putih, dingin, menusuk mata. Seperti tatapan hakim yang sudah memutuskan hukuman mati sebelum sidang dimulai. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang berani. Gambar itu Dr. Satria, berdiri tenang di laboratoriumnya, tangan terangkat memegang jarum suntik, sementara tikus putih kecil itu terbaring diam di bawah cahaya lampu operasi sudah mengendap di otak mereka. Bukan cuma dilihat. Tapi terpatri. Seperti lukisan dinding di gua purba: sebuah bukti bisu tentang kekejaman yang tak butuh alasan, tak butuh emosi, tak butuh penonton. Hanya butuh korban. Bagi Bara dan Gilang, itu adalah pengakuan tanpa kata. Pengakuan bahwa monster itu nyata. Bahwa ia berjalan di antara manusia, mengenakan jas putih, tersenyum di depan kamera, dipanggil “Dokter”, dipuji “jenius”, dihormati “profesional”. Tapi di balik itu, ia adalah seorang pembunuh yang merancang kematiannya sendiri dengan presisi, dengan seni, dengan kebanggaan. Sayangnya, pengakuan itu tak berarti apa-apa di depan hukum. Tak ada sidang yang bisa digelar hanya karena “kita lihat dia lakukan itu”. Tak ada jaksa yang mau menuntut berdasarkan rekaman teropong. Tak ada hakim yang mau menjatuhkan vonis karena “rasanya dia yang lakukan”. Gilang-lah yang pertama meledak. Bukan dengan teriakan, bukan dengan tinju ke dinding. Tapi dengan gerakan. Ia bangkit dari kursi plastiknya yang sudah retak, lalu mondar-mandir di ruangan selebar tiga langkah itu. Kakinya menghentak lantai semen yang retak-retak, seperti orang yang sedang mengukur panjang penjara barunya. Napasnya pendek, dadanya naik-turun, matanya merah. Kemarahan yang tertahan itu membuatnya seperti bom yang dipasang di ruang tamu tinggal menunggu detonator kecil untuk meledakkan segalanya. “Kita punya monsternya,” geramnya, suaranya serak, lebih ditujukan ke langit-langit kamar daripada ke Bara. “Kita lihat langsung. Wajah aslinya. Senyum palsunya. Tangan dinginnya. Tapi kita tidak bisa menyentuhnya. Dia dilindungi oleh alibi yang sempurna. Reputasi yang tak tergoyahkan. Dan sistem ini sistem yang dulu kita pikir kita bela sekarang malah jadi perisainya. Kita tahu siapa dia. Tapi kita tidak bisa membuktikan apa-apa” Ia menendang kaki meja kayu yang sudah lapuk. Suaranya keras, membuat tumpukan kertas, foto, dan catatan yang sudah kusut berhamburan ke lantai. Beberapa jatuh ke genangan air bekas kebocoran atap. Gilang tidak peduli. Ia menatap Bara, menuntut respons. Menuntut kemarahan yang sama. Atau setidaknya, keputusasaan. Tapi Bara diam. Ia tetap duduk. Punggungnya bersandar ke dinding yang lembap. Matanya menatap kosong ke noda-noda hitam di dinding bekas rokok, bekas paku, bekas waktu yang lewat tanpa ampun. Di kepalanya, pikiran berputar cepat. Bukan tentang bagaimana cara menangkap Satria. Tapi tentang bagaimana cara menghancurkan bentengnya. Gilang ingin menyerbu. Menyeret Satria keluar dari kliniknya, menodongkan pistol, memaksanya mengaku. Tapi Bara tahu, itu bunuh diri. Satria bukan preman kampung. Ia bukan koruptor yang bisa disuap atau diancam. Ia adalah arsitek kejahatan. Setiap langkahnya dihitung. Setiap jejaknya dihapus. Ia tidak akan kalah dalam pertarungan frontal. Jadi, satu-satunya cara menang adalah menyerang dari tempat yang tidak ia duga. Dari masa lalunya. Dari tempat ia merasa paling aman karena ia pikir tak ada yang bisa menjangkau ke sana. “Kalau kita tidak bisa membuktikan apa yang dia lakukan sekarang…” Bara akhirnya bicara. Suaranya pelan, tenang, tapi tajam seperti pisau bedah. Memotong kemarahan Gilang tanpa perlawanan. “...maka kita cari tahu apa yang pernah ia lakukan di masa lalu.” Gilang berhenti berjalan. Ia menoleh. Matanya menyipit. “Apa maksudmu?” “Profesor Anwar bilang, orang seperti dia… tidak jadi monster karena kecelakaan. Variabel asing itu sudah ada sejak awal. Sejak kecil. Artinya, ia tidak tiba-tiba jadi pembunuh saat jadi dokter. Ia selalu seperti itu. Hanya saja, dulu ia lebih pandai menyembunyikannya. Pasti ada retakan. Ada jejak. Ada saksi mungkin teman sekelas, guru, tetangga, pembantu yang pernah melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak wajar. Kalau kita bisa temukan titik awal itu… kita bisa bangun polanya. Kita bisa pahami logikanya. Dan dari situ, kita bisa temukan titik lemahnya.” Gilang menatap Bara lama. Lalu, pelan-pelan, sesuatu berubah di matanya. Bukan lagi kemarahan buta. Tapi fokus. Seperti sniper yang baru menemukan targetnya. “Gali,” katanya, suaranya kini tajam, dingin, terkendali. “Gali semua. Aku mau tahu kapan pertama kali dia pipis di celana. Merek popok apa yang dipakainya. Siapa yang gantiin. Gali sampai ke akar-akarnya. Sampai ke tulang-belulang masa kecilnya.” Dan begitulah, perburuan mereka berubah bentuk. Dari mengintai bayangan, menjadi menggali kuburan. Dari mengikuti jejak darah, menjadi menyusuri arsip debu. Selama dua hari berikutnya, mereka menyisir kehidupan Dr. Satria Wibisono, lapis demi lapis, seperti mengupas bawang yang membuat mata pedih. Hasilnya? Awalnya, mengecewakan. Bahkan… mengerikan. Satria Wibisono adalah poster anak ideal. Nilai sempurna sejak SD. Juara olimpiade matematika nasional saat SMP. Juara biologi internasional saat SMA. Prestasi demi prestasi, medali demi medali. Tapi catatan perilakunya? Bersih. Tidak pernah terlambat. Tidak pernah melawan guru. Tidak pernah ribut dengan teman. Bahkan tidak pernah lupa bawa buku. Komentar guru-gurunya seragam: “Anak yang sangat cerdas, pendiam, mandiri, dan patuh.” Tapi justru di situlah masalahnya. Tidak ada teman dekat. Tidak ada foto di buku tahunan di mana ia tertawa. Tidak ada klub basket, tidak ada ekskul teater, tidak ada pramuka. Hanya klub sains. Hanya angka. Hanya data. Ia seperti hantu yang meninggalkan jejak emas cemerlang, tapi tak berjiwa. Mereka gali lebih dalam. Orang tuanya seorang arsitek ternama dan seorang ahli biokimia tewas dalam kecelakaan mobil tunggal saat Satria berusia 16. Rem blong, kata laporan polisi. Kasus ditutup dalam dua minggu. Satria lalu tinggal dengan pamannya seorang pensiunan dosen sampai akhirnya masuk fakultas kedokteran dengan beasiswa penuh. Hidupnya rapi. Tragis. Sempurna. Terlalu sempurna. “Ini bukan kehidupan,” gumam Bara, matanya lelah menatap puluhan tab browser yang terbuka di laptopnya. “Ini naskah. Ditulis oleh orang yang ingin menutupi sesuatu. Setiap detailnya terlalu pas. Terlalu… diskenario.” Ia tidak mencari noda lagi. Ia mencari anomali. Sesuatu yang keluar dari pola. Dan ia menemukannya. Di tengah daftar peserta proyek riset genetika tingkat nasional tahun ketiga kuliah kedokteran nama Satria Wibisono muncul. Bersama tiga nama lain. Dua di antaranya kini jadi dokter ternama di Jerman dan Singapura. Tapi yang ketiga… aneh. Dr. Lena Armita. Bara menelusuri nama itu. Lulus c*m laude, sama seperti Satria. Tapi setelah itu? Jejaknya menguap. Tidak terdaftar di IDI. Tidak ada praktik. Tidak ada publikasi ilmiah. Tidak ada media sosial. Tidak ada foto. Tidak ada wawancara. Seolah setelah wisuda, ia lenyap ditelan bumi. Satu-satunya orang brilian di angkatannya yang tidak mengejar karier. Yang tidak ingin dikenal. Yang memilih menghilang. Sebuah benang yang putus. Tapi mungkin… benang yang paling penting. “Bang,” panggil Bara, suaranya bergetar sedikit. “Aku nemu sesuatu. Atau… seseorang. Yang hilang.” Sebelum Gilang sempat merespons, telepon di meja berdering. Jalur resmi. Nomor kantor. Nomor yang seharusnya tidak mereka jawab lagi karena secara resmi, mereka sudah ditarik dari kasus ini. Itu Ipda Sari. Dari forensik. “Kompol,” suaranya tegang, hampir berbisik. “Anda harus ke sini. Sekarang. Kami nemu… Agus Santoso.” Lokasinya di bawah jembatan layang Jatinegara. Tempat yang dikenal sebagai sarang gelandangan, pecandu, dan orang-orang yang sudah menyerah pada hidup. Bau pesing, sampah busuk, dan kencing manusia menyambut mereka begitu turun dari mobil. Di dalam rumah kosong itu yang lebih mirip gubuk dari triplek dan seng pemandangannya jauh lebih buruk. Agus Santoso terbaring di atas kasur busuk yang penuh noda. Tubuhnya penuh luka tusuk tapi tidak rapi. Tidak presisi. Seperti dilakukan oleh orang mabuk. Atau… seperti dibuat-buat agar terlihat seperti itu. Botol minuman keras berserakan. Jarum suntik bekas. Uang receh. Semua disusun sempurna untuk menceritakan satu cerita: perkelahian antar preman. Rebutan n*****a. Kasus selesai. Tapi lalu, Sari menunjuk tangan kanan Agus. Yang terkepal erat. Seperti menggenggam sesuatu sampai mati. Dengan hati-hati, ia membuka jari-jari itu. Perlahan. Dan di dalamnya… ada sebuah kancing. Kancing seragam cokelat polisi. Identik dengan yang robek dari seragam Briptu Heru korban pertama. Gilang tertawa. Tapi bukan tawa bahagia. Tawa pahit. Tawa orang yang baru saja dipermainkan. “Sempurna,” desisnya. “Dia tidak hanya membunuh kambing hitamnya. Dia membungkus mayatnya dengan pita merah, menaruh kartu ucapan ‘terima kasih’, dan mengirimkannya langsung ke meja kita. Kasus selesai. Selamat bekerja lagi, Pak Polisi.” Di luar sana, seluruh institusi sedang bersorak. Kapolres akan tersenyum di depan kamera. Media akan menulis headline “TEROR BERAKHIR”. Masyarakat akan lega. Tapi bagi Gilang dan Bara, ini bukan akhir. Ini adalah pesan. “Aku masih di sini. Aku yang mengatur cerita. Aku yang memilih kapan babak ini berakhir. Dan kalian? Kalian hanya penonton yang duduk di barisan paling belakang.” Kembali ke markas. Ruangan itu terasa lebih sunyi. Lebih dingin. Lebih berat. Papan tulis yang dulu penuh coretan, foto, dan tali merah penghubung, kini kosong. Seperti kuburan tanpa nisan. “Seluruh tim ditarik,” kata Gilang, melemparkan print-out pesan singkat dari atasannya ke meja. “Kasus resmi ditutup. Kita diminta kembali ke tugas rutin besok pagi.” Ini akhir. Secara resmi. Secara hukum. Secara birokrasi. Tapi Bara tidak peduli. Pikirannya kembali ke satu nama. “Lena Armita,” ia berbisik. “Dia satu-satunya yang tidak masuk akal dalam kehidupan Satria yang ‘sempurna’. Dia pernah bekerja dengannya. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Jika ada orang yang pernah melihat di balik topeng itu… dialah orangnya.” Gilang berdiri. Berjalan pelan ke papan tulis yang kosong. Ia ambil spidol hitam yang tintanya hampir habis. Lalu, di tengah papan, ia tulis dua kata: LENA ARMITA? Tanda tanya itu besar. Tebal. Seperti jeritan. Bara menatap nama itu. Ada perasaan aneh menjalar di dadanya. Bukan takut. Bukan harap. Tapi campuran keduanya. Seperti orang yang tahu bahwa menarik benang ini akan membuka pintu tapi tidak tahu, apa yang akan keluar dari balik pintu itu. Mereka bukan lagi polisi. Mereka bukan lagi penegak hukum. Mereka adalah penjelajah waktu. Arkeolog gelap. Yang menggali kuburan masa lalu untuk menemukan mayat yang masih bernapas. Benang yang mereka cari telah terkubur dalam di bawah lapisan prestasi, di bawah lapisan duka, di bawah lapisan kebohongan yang dibangun bertahun-tahun. Dan sekarang, tugas mereka bukan lagi menangkap pembunuh. Tapi menarik benang itu sekuat tenaga sampai seluruh rajutan kebohongan itu robek. Tidak peduli, monster apa yang akan ikut terseret keluar bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD