Panggung utama telah bergeser. Perburuan terhadap monster Jakarta kini tidak lagi terjadi di g**g-g**g sempit yang gelap atau ruang interogasi yang pengap. Ia telah berpindah ke layar kaca, menjadi sinetron kriminal nasional yang disaksikan jutaan pasang mata. Wajah Agus Santoso, si kambing hitam, terpampang di setiap program berita. Setiap warung kopi, setiap pos ronda, setiap grup percakapan di ponsel kini ramai topik pembicaraan teori-teori liar tentang keberadaannya. Ada yang bilang ia bersembunyi di pedalaman Kalimantan, yang lain bersumpah melihatnya di kapal penyeberangan ke Sumatera. Agus Santoso telah bertransformasi dari seorang preman biasa menjadi sesosok hantu, momok nasional.
Di tengah hiruk pikuk sirkus media itu, Kompol Gilang Perkasa dan Bripda Bara Wijaya justru menarik diri ke dalam keheningan. Secara resmi, Gilang sedang menjalani "cuti administratif" setelah perdebatannya yang panas dengan Kapolres mengenai kasus Agus Santoso. Ia dianggap terlalu obsesif, insubordinat, dan tidak mau mengikuti alur. Secara tidak resmi, ia dan Bara telah menjadi unit ghost, beroperasi sepenuhnya di luar radar. Perburuan mereka kini bersifat personal dan ilegal.
Markas mereka adalah sebuah kamar sempit di lantai tujuh sebuah rumah susun sederhana di kawasan Tanah Abang. Kamar itu panas, berbau apek, dan satu-satunya perabot di dalamnya adalah dua kursi lipat, sebuah meja reyot, dan peralatan pengintaian yang mereka pinjam secara diam-diam dari gudang barang bukti. Dari jendela kamar itu, dengan bantuan teropong berkekuatan tinggi, mereka memiliki pemandangan langsung ke sasaran mereka: sebuah unit apartemen mewah di seberang jalan, di lantai dua puluh lima sebuah gedung pencakar langit yang berkilauan. Apartemen Dr. Satria Wibisono.
"Lihat mereka," desis Gilang pada hari pertama pengintaian, menunjuk ke jalanan di bawah di mana beberapa mobil tim buser berseliweran. "Mengejar anjing kampung ke seluruh negeri, sementara serigala alpha-nya duduk nyaman di sarangnya, menertawakan kita."
Bara tidak menjawab. Matanya terpaku pada lensa teropong, mengamati kehidupan sang predator di dalam habitatnya. Dan apa yang ia lihat selama dua hari berikutnya adalah sebuah rutinitas yang begitu sempurna hingga terasa tidak manusiawi.
Dr. Satria hidup seperti sebuah program komputer. Ia bangun tepat pukul lima pagi. Melakukan yoga dengan teknik seorang master selama tepat empat puluh lima menit. Menyiapkan sarapannya oatmeal dan buah-buahan yang ditakar Dengan akurat. Membaca jurnal medis internasional selama satu jam. Berangkat ke rumah sakit tepat pukul tujuh. Pulang tepat pukul delapan malam. Membaca buku-buku filsafat atau sejarah bukan novel atau fiksi selama dua jam. Tidur tepat pukul sebelas.
Tidak ada televisi. Tidak ada musik. Tidak ada tamu. Tidak ada panggilan telepon pribadi yang berlangsung lebih dari dua menit. Tidak ada satu pun barang di apartemennya yang tampak diletakkan secara acak. Semuanya dalam posisi simetris, bersih, dan fungsional. Itu bukan sebuah rumah. Itu adalah sebuah laboratorium tempat ia mengobservasi dirinya sendiri.
"Dia tidak hidup, Bang," ujar Bara pada malam kedua, punggungnya terasa kaku karena terlalu lama duduk. "Dia hanya... bergerak. Menjalankan serangkaian perintah."
"Semua psikopat terobsesi dengan kedisiplinan," balas Gilang. "Itu cara mereka mengontrol dunia yang menurut mereka kacau. Dan cara mereka menyembunyikan kekacauan di dalam diri mereka."
Pada sore hari ketiga, saat Gilang sedang keluar untuk membeli makanan, sesuatu yang aneh terjadi. Bara sedang mengamati Satria yang sedang membaca di kursinya yang menghadap jendela. Tiba-tiba, Satria menutup bukunya. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan menatap lurus ke luar. Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, tatapannya seolah menembus jarak ratusan meter itu, menembus kaca jendela rusun, dan menusuk langsung ke mata Bara.
Bara refleks menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa tertangkap basah. Apakah Satria tahu? Apakah selama ini ia juga sedang diamati? Apakah ini semua bagian dari permainannya? Bara memberanikan diri untuk mengintip lagi. Satria sudah berbalik, kembali ke kursinya seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi Bara tidak bisa menghilangkan perasaan dingin itu. Perasaan bahwa ia bukan sedang melihat ke dalam sebuah akuarium. Ia sedang ditatap balik oleh mahluk di dalamnya.
Saat Gilang kembali dengan sekantong nasi bungkus, Bara menceritakan kejadian itu.
"Dia tahu," kata Gilang tanpa ragu. "Dia mempermainkan kita. Dia menikmati ini. Menikmati perhatian kita." Gilang tampak lebih frustrasi dari sebelumnya. Pengintaian ini terasa seperti membuang-buang waktu, sebuah jalan buntu yang hanya memperkuat betapa tak tersentuhnya sang dokter.
Telepon di saku Bara bergetar. Nama "Nadia" muncul di layar. Ia sedikit terkejut, karena biasanya ia yang menelepon lebih dulu. Ia memberi isyarat pada Gilang dan sedikit menjauh untuk menjawab.
"Halo, Nadia? Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya, nada suaranya otomatis berubah menjadi lebih lembut.
"Semua baik," jawab suara di seberang. "Nenek baru aja menang acara kuis di TV, beliau senang sekali. Aku cuman... ingin memastikan kamu sudah makan atau belum."
Pertanyaan sederhana itu membuat Bara tertegun sejenak. Di tengah dunia yang penuh dengan perburuan dan kematian, sebuah pertanyaan kecil tentang makanan terasa seperti sauh yang menariknya kembali ke realitas manusia biasa. "Aku... belum. Sebentar lagi," jawabnya.
"Makanlah. Kamu gak bisa nangkep orang jahat dengan perut kosong," kata Nadia. Ada sedikit kehangatan dalam nada datarnya. "Udah dulu ya." Telepon ditutup.
Bara tersenyum tipis. Ia kembali ke posisinya di dekat jendela, merasa sedikit lebih ringan. Namun, perasaan itu segera lenyap, digantikan oleh kengerian yang murni.
Melalui teropongnya, ia melihat Satria kini tidak lagi membaca. Ia duduk di mejanya, dan di atas meja itu kini ada sebuah akuarium kaca kecil. Di dalamnya, seekor tikus putih kecil berlari-lari panik. Satria, dengan sarung tangan bedah dan ekspresi wajah yang sama datarnya seperti saat ia membaca buku, sedang 'berinteraksi' dengan mahluk itu.
Ia tidak memukulnya. Ia tidak menyiksanya dengan kasar. Apa yang ia lakukan jauh lebih mengerikan.
Dengan sebuah pinset panjang, ia akan menjatuhkan sebutir pelet makanan ke dalam akuarium. Saat si tikus mendekat, ia akan menyentuhnya dengan sebuah alat kecil yang mengeluarkan sengatan listrik ringan. Si tikus akan melompat kaget, mencicit kesakitan, lalu mundur. Satria akan mengulangi proses itu berulang-ulang. Memberi harapan, lalu memberinya rasa sakit. Ia tidak melakukannya dengan amarah atau kepuasan s***s. Ia melakukannya dengan keingintahuan seorang ilmuwan. Ia sedang mengamati, mencatat, mempelajari batas antara harapan dan penderitaan pada mahluk hidup.
Bara merasakan perutnya mual. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ia menyaksikan Satria mengambil si tikus keluar, meletakkannya di atas sebuah nampan logam. Dengan sebuah pisau bedah kecil, ia membuat sebuah sayatan kecil di punggung mahluk itu. Bukan untuk membunuhnya, hanya untuk melukainya. Ia kemudian mengamati dengan saksama bagaimana si tikus gemetar kesakitan, bagaimana darahnya merembes pelan. Ia sedang mempelajari anatomi penderitaan.
"Bang..." bisik Bara, suaranya tercekat. "Kau harus lihat ini."
Gilang, yang tadinya sedang membuka bungkus nasinya, segera mengambil alih teropong. Ia mengamati pemandangan itu selama satu menit penuh tanpa berkata apa-apa. Tangannya yang memegang teropong tidak bergetar sama sekali. Tapi Bara bisa melihat urat di lehernya menegang.
Gilang akhirnya menurunkan teropongnya. Wajahnya pucat, matanya berkilat dengan amarah yang dingin. Ia tidak perlu mengatakan apa-apa. Mereka berdua telah melihatnya. Mereka telah melihat retakan pertama di dalam akuarium kaca itu. Mereka telah melihat wajah asli sang monster saat ia sedang sendirian di sarangnya, saat ia berpikir tidak ada yang melihat.
"Profesor Anwar benar," akhirnya Gilang berkata, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia bukan manusia."
Bara kembali menatap gedung apartemen mewah itu. Gedung yang seharusnya menjadi simbol kesuksesan dan kehidupan modern. Kini di matanya, gedung itu tak lebih dari sebuah menara gading tempat sesosok mahluk asing, spesies yang berbeda, tinggal. Ia mengamati dunia dari balik kacanya, mempelajari kelemahan mangsanya, dan sesekali, untuk mengasah instingnya, ia akan berlatih pada mahluk-mahluk kecil yang tak berdaya.
Perburuan nasional terhadap Agus Santoso kini terasa seperti sebuah lelucon tragis. Seluruh negeri sedang disibukkan oleh pertunjukan wayang kulit, sementara dalang yang sesungguhnya duduk tenang di singgasananya, tak tersentuh, mengamati kekacauan yang ia ciptakan, dan menunggu waktu yang tepat untuk pertunjukan utamanya yang berikutnya.