BAB 6: Frekuensi Yang Salah

1414 Words
Kehidupan di dalam sangkar emas memiliki ritmenya sendiri. Pagi datang tanpa sinar matahari langsung, terhalang oleh gedung-gedung pencakar langit lainnya. Siang terasa panjang dan senyap, hanya diisi oleh suara televisi yang menyiarkan sinetron-sinetron yang ditonton nenek Nadia. Malam membawa serta kerlip lampu kota yang tampak begitu dekat namun tak terjangkau, seperti bintang-bintang buatan manusia. Bagi Bara Wijaya, tiga hari di dalam rumah aman itu adalah sebuah pelajaran tentang penantian. Menanti sesuatu yang mereka semua harapkan tidak akan pernah datang. Ia telah membangun sebuah rutinitas. Pagi hari ia akan memeriksa setiap sudut apartemen, memastikan sistem keamanan berfungsi. Siang hari ia akan duduk menemani nenek Nadia, mendengarkan cerita-cerita lamanya tentang Solo di tahun 70-an, sebuah tugas yang ia lakukan dengan kesabaran tulus. Sore hari, saat si nenek tidur siang, adalah waktu untuk Nadia. Mereka tidak banyak bicara. Terkadang mereka hanya duduk di dekat jendela, menatap lalu lintas di bawah yang tampak seperti semut-semut sibuk. Hari ini, Nadia sedang tidak berlatih. Ia duduk di meja makan, mengerjakan tugas sekolahnya dengan konsentrasi penuh. Bara memperhatikannya sejenak. Di balik ketangguhannya, ia hanyalah seorang gadis yang dunianya direnggut paksa. "Kenapa kamu mau jadi polisi?" tanya Nadia tiba-tiba, tanpa mengangkat wajahnya dari buku fisika. Bara sedikit terkejut. "Entahlah," jawabnya jujur. "Kurasa karena ini cara termudah untuk... menolong orang lain. Saat ada masalah, orang-orang memanggil polisi. Aku ingin menjadi orang yang datang saat dipanggil." Nadia akhirnya mendongak, ada sedikit sarkasme di matanya. "Terus setelah kamu datang? Apakah kamu bisa memperbaiki semuanya? Mengembalikan apa yang sudah hilang?" Pertanyaan itu menohok Bara. "Tidak," akunya pelan. "Aku tidak bisa mengembalikan apa yang hilang. Tapi mungkin aku bisa mencegah orang lain kehilangan hal yang sama." Nadia menatapnya lama, seolah sedang mengukur kedalaman kata-katanya. "Kamu benar-benar percaya itu?" "Ya aku harus," jawab Bara. "Kalau nggak, untuk apa semua ini?" Percakapan mereka terputus oleh suara nenek Nadia yang memanggil dari ruang tengah. Sebuah acara kuis di televisi akan segera dimulai. Kehidupan normal yang rapuh mencoba untuk terus berjalan, bahkan di tengah kepungan bahaya. Bara merasa ada ikatan aneh yang mulai terbentuk di antara mereka bertiga. Ia bukan lagi hanya seorang petugas yang menjalankan tugas. Ia telah menjadi bagian dari ekosistem kecil yang rapuh ini. Sebuah tanggung jawab yang terasa jauh lebih berat daripada lencana di seragamnya. Di belahan kota yang lain, di dalam gedung kaca TV-Nusa yang megah, Riana Prameswari sedang menatap sebuah paket tanpa nama di atas mejanya. Paket itu tiba satu jam yang lalu, dikirim oleh kurir ojek online yang identitasnya tidak terlacak. Tidak ada alamat pengirim. Hanya ada secarik kertas yang ditempel di atasnya, bertuliskan: "Untuk disiarkan. Tanpa diedit." Insting jurnalisnya berteriak. Ini adalah bom. Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka paket itu. Di dalamnya, hanya ada sebuah USB drive berwarna hitam polos. Timnya segera memeriksa isinya di komputer yang terisolasi. Hanya ada satu file audio di dalamnya, berformat .wav. Dan satu file teks berisi transkrip. Saat Riana membaca transkrip itu, lalu mendengarkan beberapa detik pertama dari audionya, darahnya seolah membeku. Ini adalah materi yang bisa menghancurkan karir seorang jurnalis, atau sebaliknya, melambungkannya hingga ke stratosfer. Ini adalah sebuah pelanggaran etika yang luar biasa, namun juga sebuah berita eksklusif yang tak ternilai harganya. Dilema itu berkecamuk di benaknya hanya selama beberapa menit. Ambisi menang. Malam itu, pukul sepuluh, siaran nasional TV-Nusa yang seharusnya menayangkan sebuah acara bincang-bincang politik tiba-tiba terputus. Layar menjadi hitam selama beberapa detik, sebelum logo 'Breaking News' muncul dengan musik yang dramatis. Wajah Riana Prameswari memenuhi layar, tampak serius dan tegang. "Pemirsa," mulainya. "Apa yang akan Anda saksikan atau lebih tepatnya, dengarkan berikutnya adalah materi yang sangat mengganggu. Kami di redaksi TV-Nusa telah menerima sebuah rekaman audio dari sumber yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan berantai yang saat ini meneror Jakarta. Setelah melalui perdebatan internal yang panjang, kami memutuskan untuk menyiarkannya secara utuh, karena kami percaya publik berhak mengetahui tingkat kebrutalan dan ancaman yang sedang kita hadapi..." Di rumah aman, Bara, Nadia, dan neneknya sedang menonton televisi saat siaran itu terputus. Mereka bertiga menatap layar dengan bingung. Lalu, suara itu terdengar. Pertama, suara langkah kaki yang tergesa-gesa di atas kerikil. Lalu suara Briptu Heru yang terengah-engah. "Siapa kau?! Jangan mendekat!" Nenek Nadia memekik pelan. Bara langsung meraih remote untuk mematikan TV, tapi Nadia menahannya. "Jangan. Aku harus dengar." Rekaman itu berlanjut. Suara perkelahian singkat, suara Heru yang merintih kesakitan. Lalu sunyi. Setelah beberapa detik yang terasa abadi, sebuah suara lain muncul. Suara yang dalam, tenang, dan telah diubah secara digital hingga terdengar seperti mesin tanpa emosi. "Selamat malam, Jakarta. Selamat malam, Kompol Gilang Perkasa," kata suara itu. "Anda mencariku di tempat yang salah. Kau pikir aku monster biasa yang bersembunyi di kegelapan? Aku ada di mana-mana. Aku melihatmu. Aku melihatmu sibuk bermain detektif sementara kau membiarkan anak buahmu yang lemah mati sendirian." Jantung Bara berdebar kencang. Ini adalah suara si pembunuh. "Kau pikir dengan menyembunyikan seorang gadis kecil di dalam sangkar, kau bisa melindunginya?" suara itu melanjutkan, dan kini nadanya terasa ditujukan langsung pada mereka di apartemen itu. "Kau hanya menunda takdirnya. Janji-janji kosong yang kau buat di masa lalu akan kembali menagihmu, Kompol Gilang. Kau lemah. Sama seperti ayahmu. Sama seperti semua domba di kota ini." Rekaman itu berakhir dengan suara tawa yang dingin dan terdistorsi, sebelum layar kembali ke wajah Riana yang pucat. Di apartemen itu, nenek Nadia sudah tak sadarkan diri di sofa. Nadia berdiri kaku, wajahnya sekeras batu, tangannya terkepal erat. Bara segera mematikan televisi dan menelepon Gilang, namun teleponnya sibuk. Seluruh kota, seluruh negeri, baru saja mendengarkan detik-detik terakhir kehidupan seorang polisi dan mendengar langsung suara iblis yang merenggutnya. Ini bukan lagi pembunuhan. Ini adalah terorisme psikologis. Kepanikan dan kemarahan meledak di markas. Gilang menghancurkan sebuah monitor dengan kepalan tangannya. Si pembunuh tidak hanya telah membunuhnya, ia telah menguliti Briptu Heru di depan publik, mempermalukan seluruh institusi kepolisian. Di tengah kekacauan itu, tim digital forensik menemukan sesuatu. "Bang! Ada data tersembunyi di dalam file audio itu!" seru seorang teknisi muda. "Terenkripsi, tapi aku berhasil membukanya. Ini... sepertinya set koordinat GPS." Harapan baru seketika menyala. Ini mungkin jebakan, tapi ini satu-satunya petunjuk yang mereka miliki. Puluhan anggota tim bersenjata lengkap segera meluncur ke lokasi: sebuah kompleks gudang tua yang sudah lama ditinggalkan di daerah Cakung. Mereka menyerbu gudang yang ditunjukkan oleh koordinat itu. Di dalamnya, mereka tidak menemukan seorang pun. Tapi mereka menemukan sebuah sarang. Dindingnya dipenuhi kliping koran tentang kasus "Jagal" yang lama dan yang baru. Foto-foto para korban, termasuk Briptu Heru, terpajang seperti trofi. Dan di tengah ruangan, di atas sebuah meja reyot, tergeletak sebuah pisau berburu yang gagangnya berlumuran darah kering. "Periksa pisaunya!" perintah Gilang. Tim identifikasi bekerja cepat. Dan mereka menemukannya. Sebuah sidik jari parsial, namun cukup jelas, tercetak dalam darah di gagang pisau itu. Sidik jari itu segera dikirim dan dicocokkan dengan database kependudukan dan catatan kriminal nasional. Lima belas menit kemudian, hasilnya keluar. Jantung seisi markas seolah berhenti berdetak menanti nama yang akan muncul. "hasilnya keluar!" seru operator. "Sidik jari cocok. Atas nama... Agus Santoso. Kelahiran 1985. Residivis kasus p**********n dan perampokan. Keluar dari Cipinang enam bulan lalu. Status saat ini tidak diketahui." Layar menampilkan foto Agus Santoso. Wajah seorang preman pasar. Kasar, dengan tatapan mata yang kosong dan bodoh. Profilnya sama sekali tidak cocok dengan predator jenius yang selama ini mereka bayangkan. Sebagian besar petugas bersorak lega. Mereka punya wajah. Mereka punya nama. Musuh mereka kini memiliki wujud. Perintah pengejaran nasional segera dikeluarkan. Tapi Gilang hanya menatap foto itu dengan pandangan kosong. Bara, yang baru saja tiba di markas setelah memastikan kondisi di rumah aman stabil, juga merasakan hal yang sama. Ini salah. Semuanya terasa salah. "Dia memberi kita kambing hitam," bisik Gilang, pada dirinya sendiri. "Ini jebakan, Bang," tambah Bara. "Pembunuh yang kita hadapi adalah seorang grandmaster catur. Agus Santoso ini, dari profilnya, bahkan tidak bisa bermain halma." "Aku tahu," geram Gilang. "Tapi Kapolres dan semua orang di atas sana sudah menelan umpannya. Mereka butuh penangkapan. Mereka butuh monster yang bisa mereka tunjukkan pada publik." Gilang menatap kembali papan tulisnya yang penuh teori dan diagram rumit. Di tengah, masih tertancap foto Dr. Satria yang menatap dingin. Dan kini, di sampingnya, tertempel foto Agus Santoso yang menyeringai bodoh. Dua wajah, dua kemungkinan. Yang satu terlalu pintar untuk ditangkap, yang lain terlalu bodoh untuk menjadi dalang semua ini. Ia sadar si pembunuh telah berhasil dengan gemilang. Ia tidak hanya telah menyebarkan teror melalui siaran nasional. Ia telah membuat seluruh kepolisian Republik Indonesia kini sibuk menyetel radio mereka ke frekuensi yang salah, mengejar suara statis dari seorang preman pasar, sementara ia, sang predator sejati, terus menyiarkan melodi kematiannya dalam keheningan, tanpa seorang pun mendengarkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD