Langit Jakarta hari itu berwarna abu-abu pekat, seolah ikut berkabung. Di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, hujan gerimis turun tanpa henti, membasahi ratusan payung hitam yang mengelilingi sebuah liang lahat yang baru digali. Tanah merah yang basah menanti untuk menelan salah satu putra terbaik korps bhayangkara.
Briptu Heru dimakamkan dengan upacara kehormatan kepolisian. Suara tembakan salvo memecah keheningan, burung-burung gagak berterbangan dari pohon kamboja tua. Bendera Merah Putih yang menutupi peti matinya dilipat dengan rapi dan diserahkan kepada ibunya, seorang wanita tua yang tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan kerabat.
Bara berdiri di barisan belakang, seragam dinas upacaranya basah kuyup. Ia menatap foto Briptu Heru yang diletakkan di atas nisan kayu sementara. Heru tersenyum lebar di foto itu, senyum yang sama yang ia berikan saat mentraktir Bara gorengan dua hari lalu. Kini, senyum itu hanyalah kenangan yang menyakitkan.
Kompol Gilang Perkasa berdiri di depan liang lahat, matanya tersembunyi di balik kacamata hitam. Ia seharusnya memberikan pidato perpisahan. Namun, saat ia membuka mulut, tidak ada kata-kata puitis yang keluar.
"Heru..." suara Gilang serak, patah-patah. Ia menelan ludah, mencoba menahan emosi yang mendidih di dadanya. "Heru tidak mati karena sakit. Dia tidak mati karena kecelakaan. Dia mati karena dia menjalankan tugasnya melindungi orang lain. Dia mati karena saya..." Gilang berhenti. Ia tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Rasa bersalah mencekiknya. Ia mundur selangkah, membiarkan kapelan mengambil alih doa.
Amarah adalah racun yang bekerja paling baik saat disajikan dalam keheningan. Dan saat rombongan pelayat mulai membubarkan diri, meninggalkan gundukan tanah merah yang masih basah, Bara bisa merasakan racun itu menyebar di antara mereka.
Dua jam kemudian, di Markas Polres Jakarta Pusat, keheningan itu terasa jauh lebih memekakkan daripada suara tembakan salvo tadi. Tidak ada lagi candaan kasar, tidak ada lagi tawa yang meledak di kantin, tidak ada lagi suara radio yang diputar keras-keras.
Gedung itu telah berubah menjadi rumah duka raksasa. Setiap petugas bergerak dengan efisiensi yang suram, wajah mereka mengeras menjadi topeng profesionalisme, namun mata mereka menyiratkan hal yang sama: kemarahan, ketakutan, dan rasa haus akan balas dendam yang primitif. Mereka telah kehilangan salah satu dari mereka. Briptu Heru bukan lagi sekadar nama dalam sebuah berkas kepegawaian; ia telah menjadi martir. Darahnya menuntut bayaran.
Di dalam ruangannya, Kompol Gilang menerima gelombang pasang kemurkaan Kapolres. Pintu tertutup yang tebal tidak cukup untuk meredam suara bentakan dan gebrakan meja yang menggema hingga ke koridor.
"BAGAIMANA BISA?!" teriak Kombes Haryo. "Seorang anggota tewas dieksekusi seperti binatang tepat di bawah hidung kita! Media mencabik-cabik kita, Gilang! Mereka bilang polisi tidak becus melindungi dirinya sendiri, apalagi masyarakat!"
Gilang hanya berdiri diam, menerima setiap kata sebagai cambukan fisik. Ia tidak membela diri. Ia tidak mencari alasan. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah kesalahannya. Mutlak. Ia terlalu fokus mengejar sang hantu, Dr. Satria, di menara gadingnya, hingga ia gagal melihat serigala yang menyelinap masuk ke dalam kandangnya sendiri. Ia telah meremehkan lawannya. Sebuah kesalahan fatal yang dibayar dengan nyawa anak buahnya.
Saat rapat darurat Tim Khusus digelar setelahnya di ruang arsip yang sempit itu, atmosfernya telah berubah total. Jika sebelumnya ada semangat pemburu, kini yang ada hanyalah paranoia yang merayap seperti jamur di dinding lembap.
Ipda Sari duduk dengan mata merah bengkak. Aiptu Burhan meremas-remas topinya dengan gelisah. Kursi Briptu Heru dibiarkan kosong, sebuah lubang hitam yang menyedot energi semua orang.
"Bagaimana si pembunuh tahu?" tanya Burhan tiba-tiba, suaranya pelan namun tajam. "Bagaimana dia tahu lokasi mobil Heru yang sedang menyamar? Mobil itu tidak ditandai. Heru parkir di tempat tersembunyi."
Pertanyaan itu menggantung di udara.
"Dan bagaimana dia tahu tentang hubungan kasus ini dengan tragedi keluarga Kalila sepuluh tahun lalu?" tambah Sari, suaranya bergetar. "Detail soal Nadia yang selamat di bawah tempat tidur... itu tidak pernah masuk berita. Itu ada di berkas rahasia yang hanya bisa diakses oleh penyidik internal."
Kecurigaan mulai menyebar seperti virus. Setiap orang melirik rekannya dengan tatapan baru. Tatapan yang penuh tanya.
Apakah ada pengkhianat di antara mereka? Seekor tikus di lumbung padi? Apakah salah satu dari orang-orang di ruangan ini membocorkan informasi kepada Dr. Satria? Atau lebih buruk, apakah si pembunuh memiliki akses ke dalam sistem kepolisian mereka?
Kepercayaan, fondasi dari setiap tim, mulai retak. Dan Gilang tahu, jika retakan itu melebar, mereka akan hancur sebelum sempat membalas dendam.
"Cukup!" bentak Gilang, menghentikan spekulasi liar itu. "Jangan biarkan dia menang dua kali. Dia ingin kita saling curiga. Dia ingin kita terpecah. Kita tidak akan memberinya kepuasan itu."
Gilang menatap Bara yang duduk diam di sudut. "Prioritas kita sekarang hanya satu. Nadia Kalila. Dia target berikutnya. Dan kali ini, aku tidak akan gagal melindunginya. Tidak untuk kedua kalinya."
Gilang berjalan mendekati Bara. "Kita pindahkan gadis itu," perintahnya, suaranya rendah dan berbahaya. "Sekarang juga. Ke Safe House Delta. Protokol Senyap. Tidak ada radio, tidak ada laporan tertulis. Hanya kau dan aku yang tahu lokasinya."
Rumah kecil di Cikini itu terasa seperti pulau karang yang dikepung lautan badai. Di dalamnya, Nenek Sumi, seorang wanita tua yang rapuh dengan rambut memutih sempurna, menangis tanpa suara di sudut sofa tua. Tangan keriputnya memeluk erat sebuah album foto usang, satu-satunya harta yang ia selamatkan saat banjir lima tahun lalu.
Sementara Nadia sendiri, dengan ketenangan yang menakutkan bagi seorang remaja berusia 16 tahun, sedang memasukkan beberapa potong pakaian dan buku pelajaran ke dalam tas ransel sekolahnya. Ia tidak menangis. Ia bergerak efisien, melipat baju, mengecek kelengkapan alat mandi, seolah ia sudah mengantisipasi hari pengungsian ini sepanjang hidupnya. Seolah ia tahu bahwa kedamaian hanyalah jeda singkat sebelum perang dimulai lagi.
"Nenek tidak mau pergi, Nak Polisi," isak Nenek Sumi saat Gilang menjelaskan situasinya dengan nada mendesak. "Ini rumah kami satu-satunya. Peninggalan orang tuanya Nadia. Di sini ada kenangan Bapak dan Ibunya. Kalau kami pergi, siapa yang jaga rumah ini?"
Gilang, yang kesabarannya setipis tisu setelah kematian Heru, menghela napas kasar. Ia hendak membuka mulut untuk memberi perintah tegas, mungkin sedikit membentak agar si nenek mengerti bahaya yang mengancam.
Tapi Bara mendahuluinya.
Bara melangkah maju dan berlutut di depan Nenek Sumi, mensejajarkan matanya dengan mata wanita tua itu. Sebuah tindakan yang membuat Gilang mendengus tak sabar di belakangnya.
"Nek," panggil Bara lembut, suaranya hangat dan menenangkan, kontras dengan dinginnya situasi. Ia menyentuh tangan si nenek pelan. "Saya tahu ini berat. Meninggalkan rumah rasanya seperti meninggalkan separuh jiwa. Tapi ini hanya sementara, Nek. Anggap saja kita sedang liburan sebentar. Menginap di hotel."
"Tapi..."
"Kami hanya ingin memastikan Nenek dan Nadia bisa tidur nyenyak malam ini," potong Bara halus. "Tanpa takut ada orang jahat yang mengintip. Hanya sampai kami berhasil menangkap orang itu. Setelah itu, saya janji akan antar Nenek pulang ke sini lagi. Boleh ya, Nek? Demi Nadia. Dia butuh Nenek sehat dan aman."
Bara tidak membentak, tidak menggunakan otoritas seragamnya. Ia meminta sebagai seorang cucu kepada neneknya. Dan kelembutan itu, entah bagaimana, berhasil menembus dinding ketakutan dan kekeraskepalaan si nenek.
Wanita tua itu menatap wajah Bara, mencari kebohongan, tapi hanya menemukan ketulusan. Ia mengangguk pelan, air matanya masih mengalir tapi isaknya mereda. "Baiklah, Nak. Demi Nadia."
Sementara itu, Nadia mengamati interaksi itu dari ambang pintu kamar. Ia menatap Bara yang sedang membantu neneknya berdiri, lalu menatap Gilang yang bersiaga di dekat jendela dengan pistol di pinggang.
Dua polisi. Dua dunia yang berbeda. Yang satu adalah badai yang siap menghancurkan apa saja demi tujuan, yang lain adalah tempat berteduh di tengah hujan.
"Di mana pun kami tinggal," ujar Nadia tiba-tiba, suaranya datar memecah keheningan, menatap lurus ke arah Gilang. "Dia akan tetap menemukan kami, bukan?"
Itu bukan pertanyaan retoris. Itu sebuah pernyataan fakta yang dingin.
"Tidak jika aku yang menjagamu," jawab Gilang keras kepala.
Nadia tersenyum tipis, senyum yang terlalu tua untuk wajah mudanya. "Kita lihat saja nanti, Pak Polisi."
Rumah aman (Safe House) itu adalah sebuah apartemen tipe studio di lantai 18 salah satu gedung tinggi tanpa nama di Jakarta Barat. Lokasinya dirahasiakan, disewa atas nama perusahaan cangkang milik intelijen.
Jendelanya dilapisi kaca film tebal anti-peluru, dan hanya ada satu akses masuk yang dijaga oleh dua petugas berpakaian preman di koridor. Tempat itu bersih, perabotannya modern dan minimalis, namun terasa steril dan dingin. Tanpa foto, tanpa hiasan dinding. Sebuah sangkar emas yang mewah tapi hampa jiwa.
Setelah memastikan Nadia dan neneknya mapan di dalam, dan kulkas terisi penuh makanan, Gilang menarik Bara keluar ke balkon kecil yang menghadap langit kelabu Jakarta.
"Kau tetap di sini malam ini," perintah Gilang sambil menyalakan rokok, tangannya sedikit gemetar. "Tidur di sofa ruang tamu. Pastikan mereka tidak kekurangan apa pun. s*****a standby di bawah bantal. Jangan tinggalkan pos ini apa pun yang terjadi, bahkan jika gedung ini kebakaran. Mengerti?"
"Siap, Bang. Abang mau ke mana?"
Gilang menghembuskan asap rokok panjang ke udara. Matanya menatap kejauhan, ke arah lampu-lampu kota yang mulai menyala. "Mengejar hantu yang lain," jawabnya samar. "Ada satu kartu liar yang belum aku mainkan."
Tanpa penjelasan lebih lanjut, Gilang membuang puntung rokoknya yang baru setengah dihisap dan menghilang di balik pintu lift.
Perjalanan Gilang membawanya jauh dari pusat kota, ke sebuah kompleks universitas tua di pinggiran Depok yang bangunannya mulai dimakan lumut. Ia berjalan cepat menaiki tangga gedung Fakultas Biologi yang sepi karena libur semester, menuju lantai paling atas.
Tujuannya adalah sebuah laboratorium kecil di ujung koridor yang berdebu. Ruangan itu berantakan, penuh dengan tumpukan jurnal ilmiah setinggi pinggang orang dewasa, mikroskop-mikroskop model lama, dan toples-toples kaca berisi spesimen yang diawetkan dalam cairan formalin kuning.
Di sana, di tengah kekacauan "ilmiah" itu, duduk seorang pria kurus berambut putih acak-acakan seperti Einstein yang salah gaul. Ia mengenakan jas lab yang penuh noda bahan kimia.
Profesor Anwar Ibrahim. Seorang ahli genetika dan neurobiologi brilian yang karir akademisnya hancur lebur dua puluh tahun lalu karena teori-teorinya yang dianggap terlalu radikal, tidak etis, dan berbahaya.
"Gilang," sapa Profesor Anwar tanpa mendongak dari mikroskop elektronnya. Suaranya serak seperti gesekan kertas pasir. "Anak dari Hardiman Perkasa. Sudah kuduga kau akan datang suatu hari nanti. Bau kegagalan dan keputusasaanmu tercium sampai ke sini."
Gilang tidak tersinggung. Ia sudah biasa dengan gaya bicara profesor gila ini. "Apa kabar, Prof? Apa yang membawamu kemari? Hantu lamamu, atau kau sudah menemukan monster peliharaan baru?"
"Keduanya," jawab Gilang, langsung duduk di kursi kayu yang reyot. "Aku sedang memburu seorang predator, Prof. Cerdas, teliti, metodis. Dan yang paling menakutkan... dia tanpa emosi. Dia punya alibi yang sempurna secara fisik, tapi aku tahu itu dia. Aku bisa merasakannya di tulangku."
Profesor Anwar akhirnya memutar kursinya. Matanya yang tajam dan liar di balik kacamata tebal menatap Gilang dengan minat seorang ilmuwan yang menemukan sampel menarik.
"Tanpa emosi, katamu?" kekeh sang profesor. Ia berdiri, berjalan ke sebuah lemari pendingin, dan mengeluarkan sebuah toples kaca besar. Di dalamnya, mengapung sebuah otak manusia utuh berwarna abu-abu pucat.
"Lihat ini, Gilang," kata Anwar, mengetuk kaca toples itu. "Ini adalah otak seorang pembunuh berantai yang dieksekusi mati tahun 80-an. Secara anatomi, sama persis dengan otakmu atau otakku. Beratnya sama, strukturnya sama. Tapi..."
Profesor Anwar meletakkan toples itu di meja tepat di depan wajah Gilang.
"...kabel di dalamnya salah sambung. Ceritakan padaku tentang target barumu ini."
Gilang menceritakan segalanya. Tentang Dr. Satria Wibisono. Tentang operasi bedah yang presisi, tentang sikapnya yang dingin saat melihat mayat pasiennya, tentang logika alibinya yang tak tertembus, dan tentang ketiadaan absolut dari empati di matanya.
Profesor Anwar mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk antusias, seolah sedang mendengar dongeng favoritnya. Setelah Gilang selesai, ia berjalan ke sebuah papan tulis hitam yang penuh dengan rumus kimia dan diagram double helix DNA.
"Selama bertahun-tahun, psikolog dan sosiolog bodoh itu percaya bahwa kejahatan adalah produk murni dari lingkungan," Profesor Anwar mulai berceramah, kapur tulisnya menari-nari cepat. "Kemiskinan, orang tua yang kasar, trauma masa kecil. Itu semua omong kosong romantis! Itu hanya pemicu, Gilang. Bahan bakarnya sudah ada sejak lahir."
Ia menggambar sebuah lingkaran merah besar di tengah diagram rantai DNA.
"Aku percaya ada faktor X. Sebuah variabel asing dalam kode genetik kita. Mutasi langka. Bayangkan ini adalah genom manusia normal. Kita diprogram untuk punya rasa takut, rasa bersalah, dan empati. Itu mekanisme evolusi supaya kita bisa hidup berkelompok."
Profesor Anwar berbalik, matanya menyala gila. "Tapi di antara miliaran kode ini, ada satu kombinasi spesifik, sebuah sekuens yang jika aktif, akan mematikan bagian amygdala dan korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas moralitas. Orang-orang ini, yang jumlahnya mungkin kurang dari satu persen populasi, terlahir cacat secara emosional. Mereka tidak bisa merasakan apa yang kau rasakan. Tidak ada rasa takut. Tidak ada rasa kasihan. Tidak ada cinta."
"Psikopat," desis Gilang.
"Istilah yang terlalu kasar dan tidak akurat," koreksi Profesor Anwar. "Aku lebih suka menyebut mereka Predator Alfa. Mereka tidak gila, Gilang. Justru sebaliknya, mereka terlalu rasional. Mereka adalah puncak evolusi efisiensi. Bayangkan betapa hebatnya dirimu jika kau tidak pernah merasa ragu? Jika kau tidak pernah merasa bersalah setelah menyakiti orang lain? Dunia bagi mereka hanyalah papan catur raksasa, dan manusia lain hanyalah bidak yang bisa dikorbankan."
"Bisakah orang seperti itu... berpura-pura menjadi manusia normal?" tanya Gilang. Pertanyaan ini adalah kunci dari segalanya. Kunci untuk mematahkan alibi "dokter baik hati" milik Satria.
Profesor Anwar tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi kuning. Senyum predator.
"Pertanyaan yang cerdas! Jawabannya: Ya. Dan mereka adalah aktor terbaik di dunia. Lebih hebat dari pemenang Oscar manapun."
Profesor itu mendekatkan wajahnya ke wajah Gilang. "Mereka mengamati kita sejak bayi. Mereka melihat ibunya tersenyum, mereka belajar cara menarik otot wajah untuk meniru senyum itu. Mereka melihat orang menangis di pemakaman, mereka belajar cara mengeluarkan air mata buatan. Mereka mempelajari 'kebaikan' dan 'sopan santun' seperti kau menghafal rumus matematika. Itu bukan perasaan, Gilang. Itu algoritma. Itu adalah kostum manusia yang mereka pakai untuk berburu di tengah-tengah domba."
Penjelasan itu menghantam Gilang seperti palu godam.
Kamuflase yang sempurna. Dr. Satria Wibisono, sang dokter penyelamat, pahlawan rumah sakit, adalah kostum terbaik yang pernah diciptakan oleh seorang monster.
Malam sudah sangat larut, jarum jam mendekati angka dua pagi. Di lantai 18 apartemen Safe House, Bara masih terjaga. Matanya merah dan perih, tapi ia tidak berani tidur. Ia duduk di sofa ruang tamu, pistol Glock 17 miliknya tergeletak di meja kopi, siap diraih dalam sedetik.
Suasana apartemen itu sunyi, hanya terdengar dengung pelan kulkas dan suara napas teratur Nenek Sumi dari kamar tidur.
Tapi Nadia belum tidur.
Bara melihat pintu kamar terbuka sedikit. Di ruang tengah yang remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu jalan dari jendela besar, Nadia berdiri mematung.
Gadis itu mengenakan kaos oblong kebesaran dan celana training. Ia tidak sedang menangis atau meratapi nasib. Ia sedang bergerak.
Nadia melakukan gerakan bela diri silat mungkin, atau karate. Gerakannya patah-patah namun bertenaga. Pukul. Tangkis. Hindar. Tendang. Napasnya teratur. Keringat membasahi pelipisnya. Ia sedang berlatih. Di tengah malam buta, di tempat persembunyian, gadis remaja ini sedang mempersiapkan diri untuk perang.
Bara memperhatikannya dengan hati teriris. Seharusnya anak seusia Nadia sedang memikirkan PR Matematika atau gebetan di sekolah, bukan memikirkan cara mematahkan leher orang.
Bara berdeham pelan, memberi tanda kehadirannya agar tidak mengejutkan gadis itu.
Nadia berhenti seketika, kuda-kudanya masih terpasang kuat, matanya waspada menatap Bara.
"Kau tidak perlu melakukan ini sepanjang malam, Nad," kata Bara lembut, tetap duduk di sofa. "Istirahatlah. Ada aku dan dua petugas di depan pintu. Kau aman."
Nadia menurunkan tangannya perlahan, menyeka keringat di dahinya. "Kalian tidak bisa berada di setiap sudut, setiap saat," jawabnya dingin. "Heru... Briptu Heru juga polisi. Dia bersenjata. Dan dia tetap mati."
Kata-kata itu menampar Bara. Nadia benar.
"Saat dia datang," lanjut Nadia, berjalan mendekati jendela kaca besar, menatap kegelapan Jakarta di bawah sana, "pada akhirnya hanya akan ada aku dan dia. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Aku harus siap. Kali ini aku tidak akan sembunyi di bawah kasur."
Ada keheningan panjang di antara mereka. Dua anak muda yang dipaksa dewasa sebelum waktunya oleh kekejaman dunia.
"Kenapa kau berbeda?" tanya Nadia tiba-tiba, tanpa menoleh.
"Apanya?"
"Dari polisi lain. Dari Pak Gilang." Nadia berbalik, menatap Bara. "Kau tidak menatapku dengan tatapan iba yang menjijikkan itu. Dan kau juga tidak menatapku seperti barang bukti yang harus diamankan."
Bara berpikir sejenak, mencari jawaban jujur. "Mungkin... karena aku tidak melihatmu sebagai korban," jawabnya pelan. "Aku melihatmu sebagai seorang penyintas. Orang yang bertahan hidup."
Ia tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Dan mungkin juga karena aku memang bukan polisi yang tangguh. Atasanku bilang aku terlalu lembek. Tahu apa yang kulakukan pagi hari sebelum mayat di taman itu ditemukan?"
Nadia mengerutkan kening. "Apa?"
"Aku sibuk memungut telur pecah punya seorang nenek di pasar, dan merawat seekor anak burung gereja yang sayapnya patah di kantor."
Nadia terdiam. Dinding pertahanan di wajahnya sedikit retak. Matanya mengerjap, memproses absurditas itu. Polisi yang merawat burung di tengah kasus pembunuhan berantai?
Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, akhirnya muncul di sudut bibir Nadia. "Seekor burung gereja?"
"Ya. Sayapnya diperban pakai selotip medis."
"Konyol," gumam Nadia, tapi nada suaranya tidak lagi dingin. Ada sedikit kehangatan di sana. "Tapi... kurasa hal-hal kecil masih penting. Kalau kita berhenti peduli pada hal kecil, apa bedanya kita dengan monster itu, kan?"
Bara mengangguk. "Itu juga yang kupikirkan."
Pintu apartemen terbuka pelan. Gilang masuk dengan wajah lelah namun mata yang menyala dengan pemahaman baru. Ia melihat interaksi canggung antara Bara dan Nadia. Untuk sesaat, Gilang tidak melihat seorang bawahan dan saksi mata. Ia melihat dua manusia yang mencoba saling menguatkan di tepi jurang.
Bara berdiri, menghampiri Gilang di koridor dekat pintu masuk. "Bagaimana urusan Abang?" bisiknya.
"Aku mendapatkan jawabannya," kata Gilang, menatap lurus ke mata Bara. "Profesor Anwar benar. Ini bukan soal motif dendam atau uang. Ini soal nature. Sifat alami."
Gilang menceritakan secara singkat tentang teori Predator Alfa dan kemampuan mereka meniru emosi manusia.
Bara mendengarkan sambil bersandar di dinding, menatap tangannya sendiri. Tangan yang memegang pistol. Tangan yang sama yang membalut sayap burung.
Kata-kata Profesor Anwar tentang "kamuflase sempurna" dan "meniru kebaikan" berputar di kepalanya seperti kaset rusak.
Bara tiba-tiba merasa mual. Ia teringat bagaimana ia tersenyum pada Nenek Sumi tadi sore. Bagaimana ia bersikap lembut pada Nadia. Apakah itu tulus? Apakah kebaikannya benar-benar berasal dari hati nuraninya? Atau... apakah dia juga hanya sedang memainkan peran?
"Bang," bisik Bara, suaranya bergetar. "Kalau mereka bisa meniru kebaikan dengan begitu sempurna... bagaimana kita bisa membedakan mana yang manusia asli dan mana yang monster berkostum manusia?"
Gilang menepuk bahu Bara keras. "Itu masalahnya, Ra. Kita tidak bisa. Sampai topengnya retak."
Di luar jendela, kilat menyambar membelah langit malam, menerangi wajah Bara yang pucat. Garis batas yang dulu begitu jelas dalam hidupnya hitam dan putih, baik dan jahat kini telah lenyap, larut dalam bayang-bayang abu-abu yang menakutkan. Dan di dalam bayangan itu, Bara merasa ada sesuatu yang sedang menatap balik ke arahnya.