Tiga hari berlalu sejak pertemuan dingin di Rumah Sakit Medistra. Tiga hari yang terasa seperti tiga abad bagi Tim Khusus. Markas mereka, ruangan arsip sempit di lantai tiga itu, kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah kapsul waktu yang kedap udara, terisolasi dari kewarasan dunia luar.
Di dalamnya, oksigen seolah telah digantikan oleh campuran beracun dari aroma kopi hitam yang mengental, asap rokok yang menyesakkan, dan bau keputusasaan yang mulai membusuk.
Papan tulis putih yang memajang foto Dr. Satria Wibisono kini penuh dengan coretan spidol merah. Garis-garis waktu, diagram alur, dan catatan kaki memenuhi setiap inci ruang kosong. Namun, semuanya berujung pada jalan buntu. Alibi dokter bedah saraf itu kokoh laksana benteng beton. Tim telah memeriksa ulang setiap detail log operasi, mewawancarai setiap perawat, dokter anestesi, hingga petugas kebersihan yang berada di lantai bedah malam itu. CCTV rumah sakit juga telah diputar ulang ratusan kali hingga mata Briptu Heru berair.
Hasilnya nihil mutlak.
Selama dua belas jam di rentang waktu pembunuhan Ardianto, Dr. Satria Wibisono tidak pernah melangkah keluar dari Ruang Operasi 3. Ia terekam kamera, terlihat oleh saksi mata, dan tercatat dalam sistem digital. Ia seolah berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan: menyelamatkan nyawa di meja operasi, dan mencabut nyawa di Taman Suropati. Sebuah paradoks fisika yang mustahil dipecahkan oleh logika polisi.
Kompol Gilang Perkasa menjadi semakin buas seiring berjalannya waktu. Kurang tidur dan tekanan dari atasan membuatnya seperti singa terluka yang terperangkap dalam kandang sempit. Amarahnya yang tak punya target pelampiasan membuatnya menyalak pada setiap kesalahan kecil.
"Cari lagi!" bentaknya pada Ipda Sari yang melaporkan hasil forensik yang tidak konklusif. "Kau bilang kau ahli forensik? Temukan sesuatu! Serat kain, debu, ketombe, apa saja! Setan pun pasti meninggalkan jejak jika dia menginjak bumi!"
Setelah Sari pergi dengan wajah ketakutan, Gilang kembali mondar-mandir di depan papan tulis. Ia menatap foto Satria dengan intensitas kebencian yang murni, seolah berharap bisa membakar wajah sombong itu hanya dengan kekuatan tatapan matanya. Frustrasi adalah musuh terbesar seorang penyidik, dan saat ini, frustrasi telah menjadi penghuni tetap di ruangan mereka, duduk manis di setiap kursi kosong.
Di tengah badai emosi Gilang yang meledak-ledak, Bara memilih strategi berbeda. Ia menenggelamkan diri dalam keheningan. Ia duduk di sudut ruangan, membiarkan dirinya terserap oleh cahaya layar laptop.
Sesuatu tentang buku tua di rak Satria terus mengusiknya. Judul itu terpatri di otaknya seperti luka bakar: Die Kunst der Chirurgie im Mittelalter. Seni Bedah Abad Pertengahan.
Bara bukan ahli bahasa, tapi ia punya ketekunan. Ia menghubungi seorang teman lamanya yang bekerja sebagai arsiparis di Perpustakaan Nasional. Butuh waktu dua hari untuk melacak salinan digital dari buku langka tersebut yang tersimpan di database perpustakaan universitas di Berlin. Dan butuh satu hari lagi bagi Bara untuk menerjemahkan bab-bab yang relevan menggunakan kamus daring dan intuisi.
Matanya yang perih karena kurang tidur tiba-tiba membelalak. Jantungnya memukul rongga d**a dengan keras.
Ia menemukannya.
Di Halaman 204, dalam bab yang membahas teknik-teknik amputasi dan pengikatan arteri sebelum era klem logam ditemukan, terdapat sebuah diagram ilustrasi tangan. Diagram itu menunjukkan cara membuat simpul rumit untuk menghentikan pendarahan pada pembuluh darah besar. Simpul itu dirancang untuk tidak pernah lepas, bahkan ketika licin oleh darah.
Nama simpul itu dalam bahasa Jerman kuno tertulis tebal: Metzgerknoten.
Terjemahan harfiahnya: Simpul Tukang Daging.
Bara memperbesar gambar diagram itu dan mensejajarkannya dengan foto simpul merah dari TKP Taman Suropati. Cocok seratus persen. Lilitannya, simpul kuncinya, sudut ikatannya. Identik.
"Bang," panggil Bara pelan. Suaranya serak karena jarang digunakan seharian ini.
Gilang tidak menoleh. Ia sedang meremas gelas plastik kopi yang sudah kosong hingga gepeng. "Apa lagi? Kau mau bilang kita harus istirahat? Karena aku bersumpah, Ra, kalau aku mendengar kata 'istirahat' lagi, aku akan menembak kakiku sendiri."
Bara mengabaikan ancaman itu. Ia berdiri, membawa laptopnya ke meja Gilang. "Bukan istirahat. Tapi bukti. Lihat ini."
Bara memutar layar laptopnya menghadap Gilang. "Ini buku yang kulihat di rak kantor Satria. Bab tentang teknik hemostasis kuno. Simpul ini... Metzgerknoten."
Gilang membungkuk, matanya menyipit membaca teks terjemahan kasar yang Bara buat. Napasnya tertahan. Wajahnya yang tadi merah karena amarah, perlahan berubah menjadi topeng ketegangan yang dingin.
Ini dia.
Hubungan yang selama ini hanya berdasarkan insting liar dan firasat, kini memiliki fondasi. Sekecil apa pun itu, ini adalah jembatan yang menghubungkan signature pembunuh dengan pengetahuan spesialis yang sangat langka yang dimiliki tersangka.
"b******n itu..." desis Gilang, suaranya bergetar oleh campuran kemarahan dan kekaguman yang enggan. "Dia punya alibi fisik yang sempurna, tapi dia meninggalkan jejak intelektualnya di sana. Dia sedang mengejek kita, Ra. Dia memamerkan perpustakaannya di depan hidung kita."
Gilang menegakkan tubuh, menatap foto Satria di papan tulis dengan pandangan baru. "Dia tahu kita tidak bisa menyentuhnya dengan hukum konvensional. Dia menantang kita untuk masuk ke dalam permainannya."
Keyakinan Gilang pada teori utamanya kini menjadi absolut. Satria adalah pelakunya. Titik. Pertanyaannya bukan lagi 'siapa', melainkan 'bagaimana' dia melakukannya tanpa meninggalkan ruang operasi?
Tepat saat ketegangan di ruangan itu memuncak, telepon internal di meja Gilang berdering nyaring, memecah konsentrasi mereka. Bukan dering telepon merah prioritas, melainkan telepon kabel biasa yang suaranya cempreng menyebalkan.
Gilang mengangkat gagang telepon dengan kasar. "Gilang. Reserse. Bicara cepat atau matikan."
Ia mendengarkan sejenak, keningnya berkerut dalam. "p*********n rumah? Korban melawan? Di Cikini?" Nada suaranya penuh ketidaksabaran. "Dengar, Sentra Pelayanan, kenapa kasus kelas teri seperti percobaan perampokan ini kau lempar ke mejaku? Aku sedang memburu pembunuh berantai, demi Tuhan!"
Gilang hendak membanting telepon itu, tapi suara di ujung sana mengatakan sesuatu yang membuatnya membeku. Tangannya berhenti di udara.
"Tunggu..." Gilang mendekatkan lagi gagang telepon ke telinganya. Matanya menatap Bara, tapi pikirannya melayang jauh. "...Korbannya anak SMA? Sendirian di rumah? Menggunakan pemukul kasti?"
Keheningan menggantung selama beberapa detik. Minat Gilang yang tadinya padam kini mulai menyala kembali, didorong oleh intuisi polisi tuanya yang tak pernah salah.
"Baik. Kirimkan alamat lengkapnya. Kami meluncur ke sana. Jangan biarkan siapa pun menyentuh TKP."
Gilang menutup telepon, lalu menyambar jaket kulit dan kunci mobilnya. "Ayo, Ra. Ada kasus p*********n di Cikini. Pelaku mencoba masuk, tapi korban seorang siswi SMA berhasil menghajar balik sebelum pelaku kabur."
"Apa hubungannya dengan kita, Bang?" tanya Bara bingung sambil membereskan laptopnya.
"Mungkin tidak ada," jawab Gilang sambil berjalan cepat keluar pintu. "Tapi lokasinya hanya dua kilometer dari Taman Suropati. Dan instingku bilang, di kota ini, tidak ada yang namanya kebetulan."
Jalanan Cikini yang basah memantulkan lampu-lampu jalan yang temaram. Rumah itu kecil, bergaya arsitektur lama yang sederhana, terletak di sebuah jalan buntu yang tidak terlalu ramai. Sebuah mobil patroli dari Polsek Menteng sudah terparkir di depannya dengan lampu rotari yang berputar pelan.
Saat Gilang dan Bara melangkah masuk melewati garis polisi, mereka disambut oleh pemandangan kekacauan. Ruang tamu berantakan. Vas bunga pecah berserakan di lantai, pecahan kaca jendela belakang berkilauan di bawah lampu dapur, dan ada bercak darah segar di karpet darah yang menurut laporan bukan milik korban.
Di sofa ruang tengah, seorang gadis remaja duduk diam ditemani oleh seorang Polwan yang sedang memberikan segelas teh hangat. Lengan kiri gadis itu dibalut perban tebal, dan ada lebam ungu yang mulai terbentuk di tulang pipinya. Rambutnya acak-acakan, seragam sekolahnya kotor dan robek di bagian bahu.
Tapi yang paling menarik perhatian Bara bukanlah luka-lukanya, melainkan sorot matanya.
Tidak ada air mata. Tidak ada histeria khas remaja yang baru saja mengalami trauma. Mata gadis itu kering, tajam, dan waspada. Sorot mata seorang petarung yang baru saja memenangkan ronde pertama, tapi tahu bahwa pertandingan belum usai. Seperti api kecil yang menolak untuk mati ditiup badai.
"Nadia Kalila?" sapa Gilang pelan, berlutut di depan gadis itu agar sejajar.
Gadis itu menoleh. "Bapak detektif yang bertanggung jawab?" tanyanya. Suaranya tenang, terlalu tenang untuk anak seusianya. Terdengar jauh lebih dewasa.
"Benar. Saya Kompol Gilang. Ini rekan saya, Bripda Bara. Bisa ceritakan apa yang terjadi, Nak?"
Nadia menarik napas panjang, meletakkan gelas tehnya. Ia menceritakannya dengan runtut, logis, dan tanpa emosi berlebih.
"Listrik padam sekitar pukul tujuh malam. Saya pikir korsleting biasa. Saya ke dapur mau ambil senter, tapi saya dengar suara kaca jendela belakang dicongkel. Saya tidak berteriak. Saya tahu kalau saya teriak, dia akan panik dan langsung menyerang."
Bara mendengarkan dengan takjub. Ketenangan gadis ini luar biasa.
"Saya ambil pemukul kasti bekas ayah saya di gudang. Saya tunggu di balik kulkas, dalam gelap. Saat dia masuk... saya pukul. Sekeras mungkin. Saya dengar tulang retak, mungkin tangannya. Dia kaget. Dia sempat memukul balik saya, lalu kabur lewat jendela yang sama."
"Kau berani sekali," puji Bara tulus, tak bisa menahan rasa kagumnya.
"Bukan keberanian, Pak," jawab Nadia datar, menatap Bara sekilas. "Itu persiapan. Saya sudah menunggu hal seperti ini terjadi selama sepuluh tahun."
Gilang terdiam. Kata-kata itu memicu sesuatu di ingatannya. Ia menatap wajah gadis itu lebih lekat. Bentuk wajahnya, matanya yang keras kepala, nama itu... Nadia Kalila... Jalan Cikini...
Tiba-tiba, sebuah memori menghantam Gilang seperti truk yang melaju kencang.
Sepuluh tahun lalu. Malam hujan deras seperti ini. Sebuah rumah mewah di Jalan Raden Saleh yang dirampok. Suami-istri ditemukan tewas mengenaskan dengan luka gorok di leher. Dan di kamar anak, di bawah tempat tidur, seorang detektif muda menemukan seorang gadis kecil berusia enam tahun yang memeluk boneka beruang, gemetar hebat tapi tidak bersuara. Menahan napas agar monster di luar tidak mendengarnya.
"Ya Tuhan..." bisik Gilang, suaranya tercekat. Ia mundur selangkah, wajahnya pucat pasi.
Nadia menatap Gilang lurus-lurus. "Bapak ingat sekarang?"
Gilang mengangguk kaku. Rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam kini menyeruak ke permukaan. Kasus itu adalah salah satu kegagalan terbesarnya. Kasus yang tidak pernah terpecahkan. Dianggap perampokan salah sasaran, meski ada keanehan pembunuhnya sempat membuat teh di dapur setelah membantai korbannya. Gaya santai yang psikopat.
"Kau..." Gilang menelan ludah. "Kau anak kecil yang kuberi boneka beruang pengganti waktu itu. Anak dari keluarga Pramono."
Mata Nadia yang tadinya tegar kini sedikit berkaca-kaca, retak sedikit oleh nostalgia pahit. "Bapak janji akan menangkap orang yang membunuh Mama dan Papa. Sepuluh tahun, Pak. Saya menunggu."
"Dia kembali untukku, bukan?" tanya Nadia lagi, suaranya bergetar untuk pertama kalinya. "Orang yang sama. Saya bisa mencium baunya. Bau rokok cengkeh dan... antiseptik."
Gilapan di mata Gilang berubah menjadi kobaran api neraka. Kasus ini tiba-tiba menjadi seratus kali lebih personal. Ini bukan lagi hanya tentang menangkap pembunuh berantai untuk negara; ini tentang menebus dosa masa lalunya.
"Dengar, Nadia," kata Gilang, mencengkeram bahu gadis itu pelan namun tegas. "Aku minta maaf karena aku gagal waktu itu. Tapi demi nyawaku, kali ini aku tidak akan gagal. Aku bersumpah."
Gilang berdiri, berbalik pada Polwan di situ. "Pastikan dia aman. Aku akan kirim satu unit patroli khusus untuk standby di depan rumah ini 24 jam. Pasang CCTV di setiap sudut malam ini juga."
Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, menelepon seseorang. "Briptu Heru? Di mana posisimu? Bagus. Segera merapat ke Cikini. Bawa peralatan instalasi panic button dan kamera pengawas portabel. Aku butuh kau mengamankan rumah seorang saksi kunci. Prioritas VVIP. Lakukan sekarang."
Gilang menutup telepon, menatap Nadia satu kali lagi. "Kau aman sekarang, Nak."
Sebuah janji yang diucapkan terlalu cepat.
Malam semakin larut, dan hujan kembali turun membasahi Jakarta, seolah kota itu sendiri sedang menangis meratapi nasib anak-anaknya.
Di markas Tim Khusus, jam dinding menunjukkan pukul 23.45. Suasana terasa semakin suram. Hubungan antara kasus baru Satria dan masa lalu Nadia terasa begitu kuat, namun tetap tidak bisa dibuktikan secara forensik.
"Bau antiseptik..." gumam Bara, mengulang kesaksian Nadia. "Itu cocok dengan profil dokter, Bang."
"Dan rokok cengkeh," tambah Gilang getir. "Satria tidak merokok. Setidaknya tidak di depan umum. Tapi mungkin itu cara dia menyamarkan bau rumah sakit."
Gilang melirik jam tangannya dengan gelisah. "Heru belum melapor balik. Seharusnya dia sudah selesai memasang alat di rumah Nadia dua jam yang lalu."
"Mungkin sinyal susah karena hujan, Bang," hibur Bara, meski hatinya juga mulai merasa tidak enak. Briptu Heru adalah orang yang teliti. Dia selalu melapor setiap kali selesai tugas.
"Coba hubungi dia lagi," perintah Gilang.
Bara mencoba menghubungi ponsel Heru. Terdengar nada sambung, lalu masuk ke kotak suara. Ia mencoba menghubungi radio patroli mobil Heru. Hening. Hanya suara statis yang berdesis kosong.
Perasaan dingin merambat di punggung Bara. "Tidak ada jawaban, Bang."
Tepat saat itu, telepon darurat di meja Gilang berdering. Dering panjang yang memekakkan telinga di ruangan sunyi itu.
Hati Bara mencelos. Ia tahu ini bukan pertanda baik. Dering telepon tengah malam tidak pernah membawa kabar gembira.
Gilang mengangkatnya. "Kompol Gilang."
Wajah Gilang berubah. Dari cemas menjadi kengerian mutlak. Warna darah surut dari wajahnya, meninggalkannya seputih kertas.
"Di mana?" tanya Gilang singkat, suaranya parau. "...Bajingan! Kami segera ke sana!"
Gilang membanting gagang telepon hingga retak. Ia menyambar pistolnya, mengokangnya dengan tangan gemetar.
"Ada apa, Bang?" Bara ikut berdiri, jantungnya berpacu liar.
"Patroli yang lewat menemukan mobil dinas Heru terparkir di sebuah g**g sempit, dua blok dari rumah Nadia," kata Gilang, matanya nanar. "Mobilnya kosong. Mesin masih menyala. Pintu terbuka."
"Dan Heru?"
Gilang tidak menjawab. Ia hanya berlari keluar ruangan. Bara mengejarnya, berdoa dalam hati agar firasat buruknya salah.
Tapi doa di Jakarta malam ini tampaknya tidak didengar.
Gang itu sempit, becek, dan berbau sampah busuk yang menyengat. Lokasinya tersembunyi di belakang deretan ruko tua yang sudah tutup, hanya diterangi oleh lampu neon kuning yang berkedip-kedip sekarat dari sebuah warung.
Garis polisi sudah terpasang saat mereka tiba. Hujan deras menyamarkan air mata, tapi tidak bisa menyamarkan bau anyir darah yang begitu pekat di udara.
Beberapa polisi patroli yang ada di sana menepi saat melihat Gilang datang, memberi jalan dengan kepala tertunduk. Bara bisa melihat wajah-wajah mereka yang pucat dan ketakutan. Beberapa bahkan tampak menahan muntah.
Bara melangkah di belakang Gilang, sepatunya mencipratkan lumpur kotor. Ia menguatkan hatinya. Ia sudah melihat mayat di Taman Suropati. Seberapa buruk ini bisa terjadi?
Ternyata, jauh lebih buruk. Karena kali ini, ia mengenal wajah itu.
Di ujung g**g buntu, bersandar pada dinding bata yang lembap, Briptu Heru terduduk kaku.
Rekan satu tim mereka. Pria jenaka yang baru tadi pagi mengeluh soal cicilan motornya. Pria yang mentraktir Bara gorengan kemarin sore. Kini, ia tak lebih dari sebuah boneka daging yang rusak.
Posisi mayatnya diatur dengan teatrikal yang mengerikan, sama seperti korban sebelumnya. Kaki lurus ke depan, punggung tegak.
Satu tangannya tangan kanannya diangkat ke atas, jari telunjuknya menuding lurus ke langit yang gelap. Tangan kirinya memegang sebuah benda di dadanya.
Dan di lehernya... Bara harus menutup mulutnya agar tidak berteriak... di leher Heru terikat simpul sutra merah yang sama. Simpul Tukang Daging. Mengikat erat, mencekik sisa-sisa kehidupan yang sudah lama pergi.
Gilang jatuh berlutut di lumpur. Kakinya tidak kuat lagi menopang tubuhnya. "Heru..." bisiknya, suara yang hancur berkeping-keping.
Bara mendekat dengan gemetar. Ia melihat benda yang dipegang oleh tangan kaku Heru. Itu adalah sebuah foto tua ukuran 4R yang sudah dilaminating. Foto TKP dari kasus pembunuhan orang tua Nadia sepuluh tahun lalu.
Di atas foto itu, tertulis satu kata besar menggunakan spidol merah darah, tulisan tangan yang rapi dan elegan:
L E M A H
Dunia Bara berputar. Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah pesan.
Si pembunuh tidak hanya membunuh Heru karena ia menghalangi jalan. Tidak. Ia menculik Heru, membawanya ke sini, dan mengeksekusinya sebagai sebuah pertunjukan.
Ia sedang berkomunikasi langsung dengan Gilang. Ia mengatakan bahwa ia tahu setiap langkah mereka. Ia tahu mereka mengirim Heru untuk melindungi Nadia. Ia tahu mereka sedang menggali kasus lama.
Gilang mengepalkan tangannya di atas tanah berlumpur, mencengkeram kerikil tajam hingga telapak tangannya berdarah. Napasnya memburu, campuran antara isak tangis dan geraman binatang buas.
"AAAAAAAARRGGGHHH!!!!" Gilang berteriak ke langit, sebuah teriakan frustrasi dan kesedihan yang menyayat hati, kalah oleh suara guruh yang menggelegar di atas mereka.
Ini adalah deklarasi perang total.
Sang predator sedang memberitahu mereka bahwa ia tidak takut. Ia tidak bersembunyi. Ia sedang bermain-main dengan makanan sebelum memakannya. Ia baru saja merenggut salah satu "keluarga" mereka tepat di bawah hidung mereka sendiri.
Bara menatap mata kosong mayat Heru yang melotot, lalu tanpa sadar menoleh ke arah jalan besar di kejauhan, ke arah di mana rumah Nadia berada. Gadis itu... dia dalam bahaya yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
Gema di g**g sempit itu bukan hanya gema dari masa lalu. Itu adalah lonceng kematian yang berdentang untuk masa depan mereka semua. Dan malam ini, di bawah guyuran hujan Jakarta yang dingin, Bara menyadari satu hal yang mengerikan: Mereka bukan pemburu. Selama ini, mereka hanyalah mangsa yang berlarian di dalam labirin sang monster.