BAB 3: Suhu Nol Derajat
Keesokan paginya, Markas Polres Jakarta Pusat tidak lagi terasa seperti kantor polisi, melainkan seperti sarang lebah yang baru saja disodok tongkat besi. Berita tentang penemuan mayat di Taman Suropati telah meledak dini hari tadi, menyebar lebih cepat daripada virus flu di musim hujan.
Halaman depan kantor yang biasanya hanya diisi oleh pedagang asongan dan pemohon SIM yang mengantuk, kini berubah menjadi lautan manusia. Para wartawan dari berbagai stasiun televisi dan portal berita berkumpul di depan gerbang hitam yang tertutup rapat, mirip sekawanan burung pemakan bangkai yang mencium aroma darah segar. Mereka berdesak-desakan, menodongkan lensa kamera tele dan mikrofon panjang ke arah celah pagar, siap menerkam siapa saja yang berseragam cokelat.
Di dalam gedung, udaranya terasa berat dan menyesakkan, sarat dengan aroma kopi basi, keringat dingin, dan ketegangan yang nyaris bisa diraba dengan tangan. Telepon di setiap meja berdering tanpa henti, menciptakan kakofoni yang memusingkan kepala. Kasus ini bukan lagi sekadar kasus kriminal biasa; dalam semalam, ia telah bermetamorfosis menjadi hantu nasional yang bangkit dari kubur sejarah kelam ibu kota.
Bripda Bara Wijaya berjalan menunduk menyusuri koridor, berusaha tidak menarik perhatian. Namun, tatapan mata rekan-rekannya terasa menusuk. Ada bisik-bisik di belakang punggungnya, campuran antara rasa ingin tahu dan cibiran. Gosip bahwa dia polisi "lembek" yang suka menolong kucing telah berada di TKP bersama Kompol Gilang semalam sudah menyebar.
Langkah Bara terhenti di depan pintu ganda ruang rapat utama. Di dalamnya, atmosfer terasa jauh lebih dingin daripada suhu pendingin ruangan yang disetel maksimal.
Papan tulis putih besar yang membentang di dinding depan kini penuh sesak. Foto-foto TKP yang mengerikan ditempel berjejer: mayat yang didudukkan seperti patung berdoa, senyuman yang dijahit paksa, dan tentu saja, foto close-up jari telunjuk dengan simpul merah darah itu.
Kapolres Jakarta Pusat, Komisaris Besar (Kombes) Haryo Sudibyo, duduk di ujung meja panjang dengan wajah semasam cuka. Pria berperut buncit dengan kumis tebal yang biasanya ramah itu kini tampak seperti bom waktu. Tekanan dari Mabes Polri, bahkan mungkin dari pihak Istana, jelas membebaninya.
"Saya tidak mau mendengar alasan," suara Kombes Haryo menggelegar, memantul di dinding ruangan yang hening. Ia menggebrak meja dengan telapak tangannya yang besar. "Berita pagi ini kacau balau! Media menggoreng isu 'Jagal Bangkit Kembali'. Masyarakat panik. Balai Kota menuntut jawaban. Dan kita? Kita bahkan belum punya nama korban!"
Ia menatap tajam ke arah Gilang Perkasa yang berdiri tenang di samping papan tulis, kontras dengan kepanikan di sekelilingnya.
"Kompol Gilang," lanjut Kombes Haryo, nadanya menurun namun penuh penekanan berbahaya. "Tim Khusus secara resmi dibentuk detik ini juga di bawah komando Anda. Saya beri Anda akses penuh ke sumber daya, forensik, intel, apa saja. Tapi ingat satu hal: Gagal bukan pilihan. Jika ini benar-benar 'dia' atau penirunya, saya mau kepalanya di atas meja saya sebelum mayat berikutnya jatuh."
Gilang mengangguk kaku. Wajahnya setenang permukaan danau di pagi hari, namun semua orang di ruangan itu tahu ada badai yang bergolak di bawah permukaan. "Siap, laksanakan, Komandan."
Gilang melangkah maju, mengambil tongkat penunjuk. Dengan suara yang jelas dan mantap, tanpa sedikit pun keraguan, ia memaparkan temuan awal. Ia menjelaskan tentang posisi tubuh korban yang teatrikal, tentang luka tusuk tunggal yang presisi memotong ventrikel jantung, dan akhirnya, ia berhenti sejenak. Ia membiarkan keheningan menggantung sebelum menunjuk foto simpul merah di papan tulis.
"Simpul ini," kata Gilang pelan, "adalah pesan. Ini bukan simpul yang bisa Anda temukan di buku pramuka. Ini adalah variasi dari Hangman's Knot yang dibalik, teknik kuno yang digunakan penjagal abad pertengahan."
Suasana ruangan mendadak senyap, seolah oksigen tersedot keluar. Para perwira menengah yang lebih tua, mereka yang sudah bertugas sejak tahun 90-an, saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka ingat betul teror yang dibawa oleh simpul itu puluhan tahun silam. Teror di mana mayat-mayat ditemukan setiap minggu dengan bagian tubuh yang hilang.
Seorang perwira senior dengan pangkat AKP, Prasetyo, mengangkat tangan. Ia dikenal sebagai rival Gilang di divisi Reserse. "Izin bicara, Ndan. Kita jangan gegabah menyimpulkan ini 'Jagal'. Bisa saja ini orang gila yang kebetulan tahu cara mengikat tali. Kalau kita bentuk Tim Khusus berdasarkan hantu masa lalu, kita akan terlihat bodoh."
Gilang menatap Prasetyo dingin. "Detail simpul ini tidak pernah dirilis ke publik, Pras. Tidak pernah. Hanya penyidik inti tahun 1998 dan pelaku yang tahu. Kecuali kau membocorkannya saat mabuk, satu-satunya penjelasan adalah pelakunya memiliki akses ke pengetahuan itu."
Prasetyo terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.
"Untuk itu, saya butuh tim kecil. Efisien. Tanpa birokrasi," lanjut Gilang, mengabaikan Prasetyo. "Saya pilih Briptu Heru sebagai analis data digital. Ipda Sari untuk kepala forensik lapangan. Aiptu Burhan untuk intelijen jalanan."
Gilang berhenti lagi. Matanya yang tajam menyapu seisi ruangan, melewati wajah-wajah perwira senior yang penuh harap, lalu berhenti telak pada sosok paling muda yang duduk meringkuk di barisan belakang.
"Dan Bripda Bara Wijaya," umum Gilang lantang. "Dia akan menjadi asisten lapangan langsung saya."
Keputusan itu menghantam ruangan seperti granat asap. Bisik-bisik protes langsung pecah. Beberapa perwira senior bahkan berdecak tidak percaya. Memilih seorang Bripda ingusan yang baru lulus dua tahun lalu, yang terkenal karena kelembutan hatinya yang 'tidak pantas' bagi seorang reserse, untuk kasus sebrutal ini terasa seperti sebuah lelucon buruk.
"Tunggu dulu," potong AKP Prasetyo, tertawa sinis. "Wijaya? Si 'Polisi Hello Kitty' ini? Anda bercanda, Gilang? Dia akan pingsan kalau melihat darah lebih dari secangkir. Ini kasus pembunuhan berantai, bukan penyelamatan kucing di atas pohon."
Kombes Haryo juga mengangkat alis tebalnya, tampak ragu. "Gilang, argumen Prasetyo ada benarnya. Wijaya masih terlalu hijau. Mentalnya belum teruji. Anda yakin tidak mau mengambil Letnan Ardi atau yang lain?"
Bara merasakan wajahnya panas. Ia menunduk, meremas tangannya sendiri di bawah meja. Ia ingin menghilang. Ia tahu mereka benar. Ia tidak pantas berada di sini.
"Saya tidak butuh tukang pukul, Komandan," jawab Gilang tegas, memotong keraguan itu. Suaranya mengatasi bisik-bisik di ruangan. "Saya punya banyak tukang pukul di gedung ini. Yang saya butuhkan adalah mata yang baru. Mata yang belum tumpul oleh rutinitas dan sinisme. Mata yang masih bisa melihat hutan, bukan hanya pohon-pohonnya. Bripda Bara memiliki intuisi yang kalian semua sudah lama lupakan: empati."
Tidak ada yang membantah lagi setelah itu. Jika Gilang Perkasa sudah membuat keputusan, bahkan Tuhan pun mungkin harus berpikir dua kali untuk mengubahnya. Perintah itu bersifat final.
Bara mengangkat wajahnya perlahan, menatap Gilang. Ada campuran rasa takut dan beban berat yang tiba-tiba menimpa pundaknya. Ia tahu, detik ini juga, dunianya yang sederhana dan aman telah resmi berakhir.
Dua jam kemudian, mereka menempati sebuah ruangan arsip berdebu di lantai tiga yang disulap mendadak menjadi markas Tim Khusus. Ruangan itu sempit, tanpa jendela, dan berbau kertas tua yang membusukbau sejarah yang tidak menyenangkan.
Papan tulis dari ruang rapat sudah dipindahkan ke sana. Tumpukan kardus berisi berkas asli "Kasus Jagal 1998" yang kertasnya sudah menguning tergeletak di atas meja, seolah menantang mereka untuk membukanya.
"Kenapa saya, Bang?" tanya Bara akhirnya, memecah keheningan. Ia berdiri canggung di dekat pintu, merasa seperti anak kecil yang masuk ke ruang guru.
Gilang tidak menoleh. Ia sedang sibuk menancapkan sebuah foto close-up wajah korban semalam di papan tulis. "Karena kau mengajukan pertanyaan yang benar," jawabnya tanpa basa-basi.
Gilang berbalik, menatap Bara dengan intensitas yang membuat lutut lemas. "Semalam, saat semua orang sibuk muntah atau memalingkan muka melihat mayat itu, kau justru memperhatikan detail di sekelilingnya. Kau bertanya tentang 'kenapa dia didudukkan', bukan 'siapa yang membunuhnya'. Kau masih punya rasa kemanusiaan, Ra. Di kasus seperti ini, di mana kita menghadapi monster yang tidak punya hati, empati bisa menjadi kompas... atau bisa juga menjadi racun yang membunuhmu pelan-pelan. Aku bertaruh pada kemungkinan yang pertama."
Bara tertegun. Ia tidak merasa punya kemampuan spesial itu. Ia hanya merasa sedih melihat mayat itu diperlakukan sedemikian rupa.
"Sekarang, lihat ini," perintah Gilang. Ia menunjuk foto korban. "Tim forensik berhasil mengidentifikasi korban satu jam yang lalu lewat sidik jari. Namanya Ardianto. 35 tahun. Pengangguran. Tidak punya catatan kriminal. Hidup sebatang kara."
Gilang menempelkan sebuah dokumen medis di samping foto Ardianto.
"Tapi enam bulan lalu, Ardianto tercatat sebagai pasien BPJS kelas 3 di Rumah Sakit Medistra. Ia menderita Trigeminal Neuralgia, penyakit kelainan saraf wajah yang rasa sakitnya sering disebut sebagai 'penyakit bunuh diri' karena saking sakitnya. Dia sembuh total setelah menjalani operasi bedah mikro yang rumit."
Tangan Gilang bergerak menancapkan sebuah foto lain. Foto yang diambil secara diam-diam (candid) dari jarak jauh. Foto seorang pria berjas putih, berkacamata frameless, dengan wajah yang tampan namun dingin.
"Dan satu-satunya dokter di Jakarta, bahkan mungkin di Indonesia, yang mampu melakukan operasi rumit itu dengan tingkat keberhasilan 100% adalah dia," kata Gilang, mengetuk foto itu keras-keras. "Dr. Satria Wibisono."
"Hubungannya apa, Bang? Dokter menyembuhkan pasien, itu wajar," tanya Bara, mencoba memahami logika lompatan itu.
"Hubungannya adalah luka tusuk di jantung Ardianto," jawab Gilang cepat. "Luka itu terlalu bersih. Tidak ada keraguan, tidak ada goresan meleset. Pisau masuk di antara tulang rusuk, memotong katup jantung, dan keluar tanpa merusak tulang belakang. Itu bukan tusukan preman. Itu tusukan seseorang yang hafal anatomi tubuh manusia sebaik dia hafal namanya sendiri. Ditambah lagi..."
Gilang mengambil spidol merah, melingkari tanggal di dokumen medis dan tanggal kematian korban.
"Tanggal operasi Ardianto: 12 Mei. Tanggal kematian: 12 November. Tepat enam bulan. Presisi waktu. Presisi eksekusi. Ini bukan kebetulan."
"Kita akan menangkapnya?"
"Belum. Kita belum punya bukti fisik yang mengikatnya. Kita hanya punya dugaan gila," Gilang menyambar jaket kulitnya. "Tapi kita akan mengguncang kandangnya. Kita lihat apakah serigala di dalamnya akan menggeram atau tetap tidur."
Saat mereka berjalan keluar menuju parkiran, sebuah televisi di lobi yang menyiarkan berita siang menarik perhatian mereka. Wajah Riana Prameswari muncul di layar besar, melaporkan langsung dari depan garis polisi Taman Suropati dengan latar belakang hujan gerimis.
"...sumber terpercaya kami di internal kepolisian mengonfirmasi adanya kesamaan spesifik modus operandi dengan kasus 'Sang Jagal' yang meneror Jakarta di akhir tahun 90-an," lapor Riana dengan suara lantang dan artikulasi sempurna. "Tanda tangan khas ditinggalkan di tubuh korban. Sebuah pesan dari masa lalu. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa pelaku pembunuhan ini, melainkan apakah Polri mampu melindungi warganya dari kebangkitan seorang monster legendaris?"
Gilang mengumpat kasar. "b*****t. Wanita itu..." desisnya, rahangnya mengeras. "Dia punya mata-mata di gedung ini. Berita soal 'tanda tangan' itu seharusnya rahasia tingkat satu. Dia baru saja memancing kepanikan massal demi rating."
Bara menatap layar TV itu cemas. "Ini akan membuat pelaku tahu kita mengejarnya, Bang."
"Atau lebih buruk," sahut Gilang sambil membuka pintu mobil patroli. "Ini akan membuat pelaku merasa bangga karena karyanya diakui."
Perjalanan menuju Rumah Sakit Medistra di Jakarta Selatan terasa seperti perjalanan antar-dimensi. Mereka meninggalkan area Jakarta Pusat yang kumuh, macet, dan penuh polusi, menuju kawasan elit di mana jalanannya lebar, trotoarnya bersih, dan pohon-pohonnya terawat rapi.
Rumah Sakit Medistra sendiri adalah sebuah monumen kemewahan modern. Gedung kaca setinggi dua puluh lantai itu menjulang angkuh, memantulkan sinar matahari siang yang terik.
Jika Polres adalah representasi dari segala yang rusak, kacau, dan putus asa, maka tempat ini adalah kuil bagi keteraturan, kebersihan, dan harapan orang kaya. Lantai marmernya berkilauan memantulkan bayangan mereka. Dindingnya putih bersih tanpa noda. Udaranya sejuk, beraroma citrus dan antiseptik mahal yang menenangkan saraf.
Orang-orang di sini berjalan dengan langkah teratur, berbicara dengan suara pelan dan sopan. Tidak ada teriakan pesakitan, tidak ada bau rokok kretek.
Kedatangan Gilang dan Bara dengan jaket kulit lusuh, celana jeans pudar, dan sepatu boots yang berdebu terasa seperti membawa masuk virus penyakit ke dalam lingkungan steril ini. Beberapa perawat dan pengunjung melirik mereka dengan tatapan risih, seolah kehadiran polisi adalah pertanda buruk.
"Saya ingin bertemu Dr. Satria Wibisono," kata Gilang pada resepsionis di lobi utama. Nada suaranya tidak meminta, melainkan memerintah.
Resepsionis wanita yang cantik dengan seragam rapi itu tersenyum profesional, senyum yang tidak mencapai mata. "Maaf, Pak. Apakah sudah ada janji temu? Jadwal Dr. Satria sangat padat. Beliau sedang persiapan operasi sore."
Gilang mengeluarkan lencananya, membantingnya pelan di atas meja marmer itu. Bunyi logam beradu dengan batu membuat resepsionis itu terlonjak kaget.
"Ini janji temunya," kata Gilang dingin. "Katakan padanya, Reserse Kriminal ingin bicara soal 'karya seni'-nya di Taman Suropati. Sekarang."
Wajah resepsionis itu memucat. Dengan tangan gemetar, ia meraih gagang telepon.
Lima menit kemudian, mereka diantar ke lantai khusus bedah saraf. Mereka menemukan Dr. Satria Wibisono bukan di ruang praktek, melainkan di ruang observasi di lantai 15. Dinding ruangan itu terbuat dari kaca tebal yang menghadap langsung ke ruang operasi di bawahnya.
Satria berdiri tegap membelakangi pintu, kedua tangannya di dalam saku jas putih panjangnya yang bersih tanpa noda. Ia sedang menatap ke bawah, mengamati tim dokter lain yang sedang membedah batok kepala seseorang. Posturnya tegak, kaku, namun memancarkan aura d******i yang absolut.
"Dokter Satria," sapa Gilang. Suaranya bergema di ruangan sepi itu.
Satria tidak langsung berbalik. Ia diam beberapa detik, seolah sedang menikmati pemandangan otak manusia yang terbuka di bawah sana. Kemudian, dengan gerakan lambat dan terukur, ia memutar tubuhnya.
Bara menahan napas. Ini pertama kalinya ia melihat tersangka utama mereka secara langsung.
Wajah Dr. Satria Wibisono setajam pisau bedah yang ia gunakan. Tulang pipinya tinggi, rahangnya tegas, dan kulitnya pucat seolah jarang terkena matahari. Namun yang paling mengerikan adalah matanya. Sepasang mata gelap yang dalam, tenang, namun kosong. Tatapan itu seolah mampu memindai seseorang hingga ke tingkat seluler, menelanjangi segala rahasia yang tersembunyi.
Tidak ada senyum ramah. Tidak ada ekspresi terkejut atau takut melihat polisi. Hanya tatapan analisis yang dingin.
"Kompol Gilang Perkasa," ucap Satria. Suaranya bariton, halus, dan terkontrol sempurna. "Saya lihat berita pagi ini. Saya sudah menduga, cepat atau lambat, anjing penjaga kota akan datang mengendus ke pintu saya."
Gilang melangkah maju, mempersempit jarak, mencoba mengintimidasi. "Kami ke sini untuk bicara tentang Ardianto," ujarnya, meletakkan foto korban yang mengerikan itu di atas meja kaca yang bersih.
Satria melirik foto mayat yang tersenyum itu sekilas, tak lebih dari satu detik. Reaksinya nol. Detak jantungnya tidak terlihat berubah di urat lehernya.
"Ya. Pasien neuralgia trigeminal saya enam bulan lalu. Kasus non-kompresi vaskular yang menarik. Sayang sekali nasibnya berakhir... tragis seperti itu," komentar Satria datar.
Kata-katanya sopan, tapi nadanya kosong. Ucapannya sama datarnya seperti saat ia mungkin berkata, "Kopi ini kurang gula."
"Hanya 'sayang sekali', Dokter?" Gilang menekan, matanya menyipit. "Anda melihat mayat bekas pasien Anda dijahit mulutnya seperti boneka, dan reaksi Anda hanya 'sayang sekali'? Anda tidak merasa ngeri? Mual? Marah?"
Satria menatap Gilang lurus-lurus, lalu pandangannya beralih pelan kepada Bara yang berdiri diam di dekat pintu. Bara merasa seolah sedang diamati oleh seekor ular sanca sebelum membelit.
"Rasa ngeri, Kompol, adalah respons emosional primitif terhadap sesuatu yang tidak bisa dipahami otak reptil manusia," jawab Satria tenang, seolah sedang memberi kuliah umum. "Kematian adalah peristiwa biologis. Mekanisme berhenti bekerjanya organ. Itu bisa dipahami. Tugas saya adalah mencegahnya dengan ilmu pengetahuan, bukan meratapinya dengan puisi saat ia tak terhindarkan. Emosi adalah kemewahan yang tidak dimiliki oleh seorang ahli bedah saraf. Jika saya menangis setiap kali melihat darah, pasien saya akan mati di meja operasi."
Jawaban itu logis, tapi mengerikan. Bara merasakan bulu kuduk di tengkuknya meremang. Orang ini... dia berbeda.
"Di mana Anda pada malam kejadian? Antara pukul 10 malam sampai 2 pagi?" tembak Gilang langsung, mencoba mematahkan ketenangan dokter itu.
Satria mengangkat sebelah alisnya, sebuah gerakan mikro yang menunjukkan betapa ia meremehkan pertanyaan itu.
"Saya berada di tempat yang paling suci di gedung ini. Ruang Operasi Nomor 3," jawab Satria lancar. "Melakukan awake craniotomy untuk mengangkat tumor Glioblastoma Multiforme stadium empat pada seorang anak berusia 12 tahun. Operasi dimulai pukul delapan malam dan baru selesai pukul tujuh pagi keesokan harinya. Ada enam orang tim bedah, dua anestesiolog, empat perawat, dan CCTV yang merekam setiap detik prosedur itu. Semua tercatat dalam log server rumah sakit yang tidak bisa dimanipulasi."
Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis senyum yang tidak mencapai matanya. "Anda mau copy rekamannya? Mungkin Anda bisa belajar satu-dua hal tentang presisi."
Alibi itu sempurna. Terlalu sempurna. Dinding beton yang tak bisa ditembus. Gilang terdiam, rahangnya mengeras menahan frustrasi. Ia tahu Satria tidak berbohong soal keberadaannya, tapi instingnya berteriak ada yang salah.
Bara, yang sedari tadi hanya menjadi penonton, tiba-tiba memberanikan diri untuk melangkah maju.
"Dokter tidak merasa terganggu?" tanya Bara pelan.
Satria menoleh padanya sepenuhnya. Tatapannya menelanjangi Bara dari ujung kaki sampai ujung rambut. Melihat sepatu boots murahnya, seragamnya yang sedikit kusam, dan matanya yang penuh keraguan.
"Terganggu oleh apa, Bripda...?" Satria membaca name tag di d**a Bara. "...Bripda Bara Wijaya. Nama yang gagah untuk seseorang yang terlihat... gemetar."
Bara menelan ludah, tapi ia memaksakan diri menatap mata hitam itu. "Oleh kebetulan. Kebetulan bahwa salah satu pasien Anda dengan kondisi medis yang langka, menjadi korban pertama dari pembunuh yang meniru metode lama. Kebetulan bahwa luka tusuknya dilakukan dengan presisi ahli bedah. Dan kebetulan bahwa simpul di jari korban... mirip dengan teknik mengikat pembuluh darah, hanya saja ukurannya diperbesar."
Untuk pertama kalinya, ketenangan di wajah Satria retak sedikit. Ada kilatan ketertarikan di matanya. Bukan takut, tapi terhibur. Seperti seorang ilmuwan yang menemukan tikus percobaan yang ternyata lebih pintar dari dugaan awal.
"Kebetulan," ujar Satria pelan, seolah sedang mencicipi rasa kata itu di lidahnya. "Adalah kata yang digunakan orang bodoh untuk menjelaskan pola yang belum otak mereka pahami. Anda sepertinya memiliki mata yang lebih jeli daripada atasan Anda yang emosional ini, Bripda Wijaya."
Satria melangkah mendekat ke arah Bara. Jarak mereka hanya tinggal setengah meter. Bara bisa mencium aroma cologne mahal yang bercampur bau sabun antiseptik dari tubuh dokter itu.
"Tapi hati-hati, Bripda," bisik Satria, suaranya rendah namun menusuk. "Ketika Anda terlalu lama menatap ke dalam kegelapan untuk mencari pola, kadang kegelapan itu akan mulai melihat Anda sebagai bagian darinya. Kenaifan Anda... itu sangat rapuh. Mudah sekali dipatahkan, seperti leher burung kecil."
Bara tersentak mundur selangkah. Jantungnya berpacu liar. Bagaimana dia bisa tahu soal burung itu? Tidak, itu pasti hanya metafora. Tapi rasanya sangat spesifik.
Satria menegakkan tubuhnya, melirik jam tangan Rolex di pergelangan tangannya. "Saya sudah memberikan alibi saya. Logika membuktikan saya tidak bersalah. Jika tidak ada lagi tuduhan imajinatif, saya punya otak lain yang harus saya selamatkan sepuluh menit lagi."
Itu adalah pengusiran. Mutlak dan tak terbantahkan.
Saat mereka berjalan keluar dari kantor itu menuju lift, Gilang menendang tempat sampah aluminium hingga penyok. Suaranya menggema di lorong sepi.
"Sombong sekali b******n itu!" geram Gilang. "Dia tahu kita tahu. Dan dia menikmatinya. Dia sedang bermain catur, sementara kita main ular tangga."
Bara tidak menjawab. Pikirannya berkecamuk. Saat berada di ruangan tadi, matanya sempat menyapu rak buku di belakang meja kerja Satria. Di antara buku-buku teks kedokteran modern yang tebal, terselip sebuah buku tua bersampul kulit hitam yang tampak sudah sangat kuno. Judulnya tertulis dalam tinta emas yang memudar, bahasa Jerman: "Die Kunst der Chirurgie im Mittelalter" Seni Bedah Abad Pertengahan.
Itu bukan bukti hukum. Tapi bagi Bara, itu konfirmasi.
"Bang," kata Bara saat pintu lift tertutup, memisahkan mereka dari dunia steril Dr. Satria. "Dia punya alibi yang kuat secara fisik. Tapi ada yang salah dengan jiwanya."
"Apa maksudmu?" Gilang menatap asisten mudanya itu.
Bara memeluk tubuhnya sendiri, merasakan dingin yang aneh merasuk ke tulangnya, dingin yang tidak bisa diusir oleh jaket tebal sekalipun.
"Di ruangannya tadi... suhunya normal. Tapi rasanya seperti berdiri di dalam kamar mayat. Dia tidak punya emosi, Bang. Nol. Kosong."
Bara menatap pantulan wajahnya sendiri di dinding besi lift. Wajah yang tampak ketakutan.
"Dan orang yang tidak punya emosi... mereka mampu melakukan apa saja karena mereka tidak merasa berdosa. Suhu nol derajat, Bang. Monster yang kita cari mungkin tidak bersembunyi di selokan atau g**g gelap."
Pintu lift terbuka di lantai dasar, membawa kembali kebisingan dan kekacauan dunia nyata.
"Monster itu bersembunyi di balik jubah putih seorang penyembuh," bisik Bara, suaranya gemetar. "Dan dia baru saja menandai kita sebagai mainan barunya."