Hujan turun seperti tirai tebal yang berusaha menutupi dosa-dosa kota Jakarta. Air menghantam kaca depan mobil patroli tanpa ampun, suara wiper yang berderit putus asa menjadi satu-satunya musik pengiring ketegangan di dalam kabin.
Sirene di atap meraung-raung, membelah kemacetan sore, memaksa kendaraan lain menepi dengan enggan. Tapi di balik kemudi, Kompol Gilang Perkasa diam seribu bahasa. Rahangnya mengeras, urat-urat di pelipisnya berdenyut seirama dengan detak jantung yang dipacu adrenalin. Kedua tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, seolah ingin meremukkan lingkar kemudi itu.
Bara duduk di kursi penumpang, tubuhnya terguncang setiap kali mobil menghantam lubang jalanan. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia pernah melihat mayat sebelumnya korban kecelakaan, bunuh diri, bahkan tawuran. Tapi aura kelam yang memancar dari tubuh Gilang memberitahunya bahwa apa yang menanti mereka di ujung perjalanan ini bukan sekadar mayat biasa.
Suara statis dari radio komunikasi memecah kebisuan yang mencekik.
"...korban laki-laki, identitas sementara nihil. Ditemukan oleh petugas kebersihan taman. Diulangi, posisi korban tidak wajar. Sangat... teatrikal. Tim Inafis sedang merapat..."
"Lebih cepat!" geram Gilang, menginjak pedal gas lebih dalam. Mesin mobil patroli tua itu meraung protes, tapi lajunya melesat menembus genangan air.
Saat mereka tiba di Taman Suropati, Menteng, pemandangan di sana bagaikan sebuah lukisan mimpi buruk.
Puluhan mobil polisi dengan lampu rotarinya yang berputar-putar memantulkan cahaya biru-merah di permukaan aspal basah. Garis polisi berwarna kuning menyala membentang melingkari area air mancur utama. Di balik garis itu, puluhan petugas berseragam jas hujan hitam dan tim forensik berbalut pakaian hazmat putih bergerak lambat di tengah hujan, menciptakan sebuah koreografi kematian yang sunyi.
Gilang membanting pintu mobil, langsung menerobos hujan tanpa menunggu payung. Bara berlari kecil mengikutinya, merasakan air dingin menusuk kulitnya. Udara di taman itu terasa berat. Bukan hanya karena kelembapan, tapi ada aroma lain yang tersamarkan oleh bau tanah basah dan ozon... aroma anyir logam yang membuat perut Bara bergejolak.
Dan kemudian, di antara celah bahu para petugas yang berkerumun, Bara melihatnya.
Langkah kakinya terhenti seketika. Napasnya tercekat di tenggorokan. Pelatihan di akademi kepolisian, buku-buku psikologi kriminal yang ia baca, semua teori itu menguap begitu saja.
Di sana, tepat di tengah area yang disorot lampu tembak halogen, sesosok tubuh manusia dijadikan sebuah monumen.
Korban itu adalah seorang pria. Ia tidak tergeletak tak berdaya seperti mayat pada umumnya. Tidak. Ia didudukkan berlutut, punggungnya tegak lurus sempurna menghadap ke langit kelabu yang menangis. Kedua tangannya ditangkupkan di depan d**a, jemarinya saling bertaut, membentuk pose doa yang khusyuk.
Kepalanya mendongak, mata tertutup, dan bibirnya... Bara harus menahan mual saat menyadarinya. Sudut bibir mayat itu telah dijahit dengan benang halus, ditarik ke atas membentuk sebuah senyuman abadi yang mengerikan.
Tubuh itu telah diubah menjadi sebuah karya seni brutal. Sebuah pementasan horor di panggung terbuka.
"Tuhan..." desis Bara tanpa sadar.
Sementara Bara terpaku oleh kengerian surealis itu, Gilang justru bergerak dengan fokus yang menakutkan. Ia menyambar sarung tangan lateks dari seorang petugas, mengenakannya dengan kasar, lalu melangkah melewati garis polisi. Ia mendekati 'patung' manusia itu perlahan, mengitarinya seperti seekor hiu yang menginspeksi mangsa. Matanya yang tajam memindai setiap detail, setiap inci dari pertunjukan gila ini.
"Laporan awal?" tanya Gilang tanpa menoleh, suaranya datar tapi tajam.
Kepala tim forensik, seorang pria paruh baya berkacamata tebal, mendekat dengan wajah pucat. "Nihil tanda perlawanan, Ndan. Korban sepertinya dilumpuhkan dulu sebelum... dieksekusi. Waktu kematian diperkirakan 4-6 jam lalu. Penyebab kematian utama adalah tusukan tunggal di jantung. Sangat bersih. Sangat presisi. Pelakunya tahu persis di mana letak aorta tanpa perlu meraba-raba."
Gilang berjongkok di depan mayat itu, menatap wajah korban yang tersenyum kaku padanya. "Dan itu?" tunjuk Gilang pada tangan korban.
Tim forensik mengarahkan senternya ke jari telunjuk kanan korban yang bertaut. "Ah, ya. Ini aneh. Ada seutas benang sutra merah yang diikatkan di sana."
Bara memberanikan diri mendekat, mengintip dari balik bahu Gilang. Di jari telunjuk yang pucat dan kaku itu, terikat sebuah simpul kecil yang rumit dari benang merah darah. Simpul itu memiliki pola lilitan yang unik, sesuatu yang belum pernah Bara lihat di buku panduan tali-temali manapun.
Tubuh Gilang menegang hebat. Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia tidak bergerak, tidak bernapas. Wajahnya yang keras kini memucat di bawah siraman lampu sorot. Ketakutan murni merambat di matanya.
"Tidak mungkin..." bisiknya, suaranya bergetar pelan, nyaris hilang ditelan suara hujan. "Ini... ini tanda tangan dia."
Sebelum Bara sempat bertanya, keributan pecah di batas perimeter luar.
"MINGGIR! SAYA DARI TV-NUSA! PUBLIK BERHAK TAHU!"
Seorang wanita muda berbalut jas hujan kuning mencolok sedang beradu dorong dengan dua petugas Sabhara. Di belakangnya, seorang kameramen berusaha mengambil gambar dengan lensa zoom panjang. Wanita itu, Riana Prameswari, jurnalis kriminal yang terkenal gigih dan bermulut tajam.
Melihat celah, Riana menerobos masuk sebelum bisa ditahan. Ia berlari mendekat, matanya langsung terkunci pada sosok mayat di tengah taman. Kilatan keterkejutan melintas di wajahnya, tapi insting jurnalistiknya lebih cepat mengambil alih.
"Kompol Gilang!" teriaknya, mengabaikan Bara yang mencoba menghalanginya. "Posisi tubuh itu! Simpul merah di jari telunjuk! Apakah rumor itu benar? Apakah 'Sang Jagal dari Ibukota' sudah kembali beroperasi setelah dua puluh lima tahun?"
Pertanyaan itu menghantam Gilang lebih keras daripada pukulan fisik. Ia berbalik, wajahnya merah padam oleh amarah.
"Matikan kamera itu!" raung Gilang. Ia menerjang maju, mencengkeram lensa kamera dan mendorongnya ke bawah. "Ini TKP steril! Siapa yang membiarkan dia masuk?!"
Riana tidak gentar, meski tubuhnya basah kuyup. Ia menatap Gilang tepat di mata. "Anda tidak bisa menutupi ini selamanya, Pak. Pola ini terlalu spesifik. Penjahat peniru? Atau monster aslinya yang bangkit lagi?"
"KELUARKAN DIA!" teriak Gilang pada anak buahnya.
Bara dan dua petugas lain akhirnya menyeret Riana dan krunya mundur melewati garis polisi. Wanita itu masih sempat berteriak, "Masyarakat akan tahu, Kompol! Mereka akan tahu malam ini juga!"
Suasana di TKP menjadi hening yang tak nyaman setelah kepergian wartawan itu. Hanya suara hujan yang tersisa.
Perjalanan kembali ke kantor Polres dilakukan dalam diam. Tidak ada musik, tidak ada radio komunikasi. Hanya suara napas berat Gilang yang mendominasi.
Setibanya di ruangannya, Gilang langsung membanting pintu hingga kaca jendelanya bergetar. Ia berjalan mondar-mandir seperti harimau terkurung, mengacak-acak rambutnya yang basah. Kemudian, ia berhenti di depan papan tulis putih yang penuh dengan data kasus-kasus kecil. Dengan kasar, ia menghapus semuanya dengan lengan bajunya.
Ia mengambil spidol merah. Tangannya gemetar hebat saat ia mulai menggambar sebuah bentuk. Sebuah simpul rumit. Simpul yang sama persis dengan yang ada di jari mayat tadi.
"Namanya 'Simpul Hangman Terbalik'," kata Gilang tiba-tiba, suaranya parau. Punggungnya masih membelakangi Bara. "Itu bukan simpul sembarangan. Itu simpul kuno yang dipakai algojo untuk menggantung pengkhianat, tapi dimodifikasi. Sang Jagal selalu meninggalkannya di setiap korban. Sebagai tanda kepemilikan. Sebagai ejekan buat kita, polisi yang bodoh ini."
Ia berbalik. Matanya yang merah menatap Bara dengan intensitas yang membakar.
"Kasus itu ditutup rapat. Detail soal simpul itu dirahasiakan tingkat tinggi. Tidak pernah masuk koran. Tidak pernah masuk berita. Hanya tim penyidik inti dan pelaku yang tahu."
Bara merasakan bulu kuduknya meremang. "Jadi maksud Abang... pelakunya orang yang sama?"
"Entah dia kembali," desis Gilang. "Atau ada muridnya. Atau..."
Gilang berjalan ke mejanya, membuka laci, dan mengeluarkan botol whisky murahan yang disembunyikan di balik tumpukan berkas. Ia meneguknya langsung dari botol, cairan panas itu seolah membakar tenggorokannya.
"Luka tusuk itu, Ra," gumam Gilang, matanya menerawang kosong. "Langsung menembus ruang antartulang rusuk keempat dan kelima. Memotong ventrikel kiri tanpa merusak katup jantung. Bersih. Tanpa keraguan. Itu bukan pekerjaan jagal sapi. Itu pekerjaan seniman."
Gilang meletakkan botol itu dengan keras di meja.
"Itu pekerjaan seseorang yang memegang pisau bedah setiap hari."
Sebuah nama melintas di benak Gilang. Sebuah nama yang selama ini ia awasi dari jauh, sosok jenius yang arogansinya setinggi langit, dokter bedah saraf termuda yang pernah dimiliki rumah sakit pusat. Orang yang tangannya terlalu stabil, dan matanya terlalu dingin untuk seorang penyelamat nyawa.
"...Dr. Satria Wibisono..." bisik Gilang.
Bara terdiam di sudut ruangan. Nama itu. Nama dokter bedah saraf terkenal yang sering muncul di majalah kesehatan. Sosok pahlawan medis yang dipuja banyak orang.
Malam itu, di ruangan pengap yang berbau rokok dan alkohol murah, Bara menyadari satu hal. Dunia hitam-putihnya telah runtuh sepenuhnya. Garis batas antara orang baik dan orang jahat mulai kabur. Dokter yang seharusnya menyelamatkan nyawa kini menjadi tersangka pencabut nyawa. Dan polisi yang seharusnya melindungi, kini tampak begitu ketakutan.
Bara menatap ke luar jendela, ke arah kegelapan Jakarta yang basah. Pertunjukan berdarah ini baru saja dimulai. Dan ia punya firasat buruk, sangat buruk, bahwa ia akan dipaksa naik ke atas panggung itu, entah sebagai pahlawan, atau sebagai korban berikutnya.