Chapter 1
"Van, udah stop. Lo ngapain sih buang-buang waktu buat ngejar orang yang bahkan nggak pernah peduli sama lo?" pungkas Mei kesal ketika Ivanka lagi-lagi memilih untuk pergi menemui Arthur ke rumah sakit saat jam istirahat. Padahal Arthur sendiri tidak pernah menghargai perjuangan Ivanka.
"Gue yakin banget, pak dokter pasti bakalan luluh sama gue," sahut Ivanka penuh percaya diri.
"Lo itu nggak usah terlalu berharap. Nanti ujung-ujungnya cuma sakit hati yang lo dapet. Apalagi saingan lo juga berat-berat, dan bukan orang sembarangan," ujar Mei memperingatkan.
"Mending lo cari yang pasti-pasti aja. Yang umurnya sepantaran sama lo. Dan yang masih single juga," imbuhnya.
"Dia juga single," kata Ivanka.
"Iya, tapi status dia duda. Udah punya anak satu lagi," balas Ivanka.
"Dan umurnya juga udah kepala tiga. Masa mau sama om-om? Kayak nggak ada cowok lain aja," imbuhnya ketus.
"Ya nggak pa-pa. Yang penting kan gue cinta," sahut Ivanka tak acuh.
Mei melotot tajam ke arah Ivanka.
"Heh! Lo itu kalau dibilangin, dengerin. Gue cerewet begini karena peduli sama lo." Mei menarik telinga Ivanka gemas.
"Eh! Aduh!" Ivanka meringis.
"Lo masih muda, dan perjalanan lo juga masih panjang. Jangan ngehabisin waktu lo cuma buat hal yang nggak berguna," tukas Mei.
"Ya kan gue lagi usaha. Seenggaknya lo dukung temen lo, kek," celetuk Ivanka sembari mengusap-usap telinganya yang ditarik oleh Mei.
"Dari dulu gue selalu dukung lo. Tapi kali ini gue nggak setuju sama pilihan lo. Udah cukup dua tahun lo terbuang sia-sia. Mau sampai kapan lo kayak gini terus? Iya kalau akhirnya dia luluh. Kalau enggak? Gimana, hah?" tukas Mei lugas.
"Ah, udah, lah. Gue mau pergi sekarang, bye," cetus Ivanka meninggalkan Mei.
"Habis ini ada kelasnya pak Gusti. Mau cari mati lo?"
"Gue cuma sebentar. Cuma mau lihat mukanya pak dokter doang, habis itu balik lagi," ujar Ivanka tak mendengarkan ucapan Mei.
Mei membuang napas kasar. "Benar-benar nih anak. Kalau udah jatuh cinta begonya minta ampun," tukasnya frustasi.
Setelah tiba di tempat parkir, Ivanka segera menyalakan motornya menuju rumah sakit tempat Arthur bekerja. Saat berada di perjalanan, dia terus tersenyum ketika membayangkan wajah Arthur. Bahkan, dia tertawa cekikikan sendiri di atas motor. Sampai membuat pengendara lain yang melihatnya terheran-heran, karena saat itu Ivanka tidak menutup kaca helm.
Setibanya di rumah sakit, Ivanka segera melangkah menuju ruangan kerja Arthur. Namun saat berada di tengah perjalanan, dia tiba-tiba terhenti saat melihat Arthur tengah mengobrol dengan seorang wanita yang juga memakai jas berwarna putih sama seperti yang dikenakan Arthur.
Mereka berdua terlihat akrab. Bahkan, Arthur yang biasanya bersikap datar dengan Ivanka, saat itu justru terlihat ramah ketika mengobrol dengan Sandra.
"Terima kasih untuk bekal makan siangnya," ujar Arthur dengan nada suara halus.
Sandra tersenyum lembut. "Sama-sama, Dok. Semoga Dokter Arthur suka," sahutnya.
"Maaf kalau saya ngerepotin Dokter Sandra."
"Enggak, lah. Kan saya sendiri yang ngasih," tutur Sandra tersenyum simpul.
"Oh ya, gimana kabarnya Epril? Sudah lama saya nggak pernah ketemu," imbuhnya.
"Alhamdulillah, dia baik. Sekarang kan Epril sudah sekolah, jadi sibuk belajar di rumah. Makanya dia nggak lagi ikut saya ke rumah sakit," jawab Arthur.
"Pantesan, saya nggak pernah lihat Epril lagi di sini," gumam Sandra.
"Masuk TK kecil, ya?" sambungnya.
"Iya, soalnya dia masih lima tahun," sahut Arthur.
Sandra mengangguk.
"Kapan-kapan apa saya boleh datang ke rumah ketemu Epril?" tanya Sandra.
"Iya, boleh. Saya rasa Epril akan senang ketemu Dokter Sandra," sahut Arthur tersenyum lembut sembari menatap Sandra dengan tatapan hangat.
Sandra membalas senyuman Arthur. Lalu mereka berdua melangkah pergi bersama.
Ivanka mengepalkan tangan erat sembari mengigit bibir bawahnya keras untuk menahan rasa sesak di d**a yang kian menusuk hingga ulu hati.
Dia kemudian berbalik dan berlari pergi dari rumah sakit tersebut dengan mata memerah.
Hatinya semakin terasa perih ketika mengingat Arthur selama ini tidak pernah tersenyum hangat seperti itu kepadanya. Pria itu juga selalu bersikap dingin dan datar. Bahkan Arthur tidak pernah mau menerima bekal makan siang yang dibawa olehnya. Tetapi kenapa jika wanita itu yang memberikan makanan, Arthur justru menerimanya? Kenapa ketika bersama wanita itu, Arthur bisa bersikap lembut seperti itu? Sedangkan dengannya tidak, kenapa?!!
Tanpa di sadari, buliran bening itu menetes membasahi pipi Ivanka.
"b**o! Ngapain gue nangis?" pekik Ivanka mengusap air mata di wajahnya kasar.
Setelah tiba di tempat parkir rumah sakit, Ivanka segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia juga menutup kaca helm dan menangis sekencang-kencangnya di atas motor. Seakan dia ingin mengatakan jika dia benar-benar terluka dengan sikap Arthur yang tidak adil.
Mungkin selama ini bukan Arthur yang tidak adil, tetapi ia yang tidak sadar diri dan terlalu berharap. Ia selalu berpikir Arthur akan menerima cintanya. Karena itu, ia terus mengejar Arthur dan mengabaikan penolakan pria itu. Karena mengira Arthur menolaknya karena perbedaan usia. Tetapi jika ternyata alasan Arthur menolaknya karena ada seseorang yang pria itu cintai, Ivanka sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Wanita itu tidak bisa menahan rasa sakit di hatinya lagi. Dia berulang kali memukul d**a untuk menghilangkan rasa sesak yang terus menggerogotinya.
"Ya Allah! Kenapa sesakit ini mencintai hambamu?" teriak Ivanka parau sembari menangis sesenggukan.
Karena tidak mungkin kembali ke kampus dengan keadaan mata sembab, Ivanka akhirnya memilih pulang ke rumah kos.
Sedangkan di tempat lain, Mei terus mencoba menelepon Ivanka dengan gelisah karena kelas hampir di mulai. Tetapi Ivanka justru tak kunjung kembali.
Sementara di rumah sakit, Arthur sedikit merasa heran ketika Ivanka tidak datang ke rumah sakit seperti biasanya.
"Tumben anak itu nggak datang," gumamnya.
"Biasanya suara cemprengnya sudah kedengeran sampai sini," imbuhnya sembari membuka botol air mineral.
Setelah meneguk beberapa tegukan, Arthur menyandarkan tubuhnya di punggung kursi.
"Syukurlah nggak ada dia, jadi hari ini bisa kerja dengan tenang. Semoga saja kedepannya terus seperti ini tanpa ada yang ganggu," ujarnya lega.
Arthur memang sengaja tidak pernah menanggapi Ivanka karena dia tidak berniat menjalin hubungan yang serius dengan wanita itu. Selain karena Ivanka masih muda, usia wanita itu juga terpaut jauh dengan Arthur. Dan meskipun putrinya sangat dekat dengan Ivanka. Tetapi menurut pria itu, Ivanka justru lebih cocok untuk menjadi kakaknya Epril dibandingkan menjadi ibunya.
Seakan ucapan Arthur menjadi kenyataan. Karena sejak hari itu, Ivanka tidak pernah lagi datang ke rumah sakit untuk menemui Arthur. Bahkan, wanita itu juga tidak pernah datang ke rumah Arthur meski hanya sekedar untuk bertemu dengan Epril.
TBC.