Namanya juga hidup, banyak sekali orang datang dan pergi silih berganti. Setiap kali orang datang maka yang awalnya disambut dengan suka cita akan berubah menjadi biasa saja, setiap kali orang pergi yang awalnya berat merelakan perlahan akan ikhlas pada waktunya. Tapi ada kehilangan yang abadi, kehilangan separuh hidup yang dibawa pergi oleh orang lain.
Menggantungkan hidup pada orang lain memang bukan hal yang tepat, seharusnya setiap orang bisa tegak berdiri diatas kaki dan perasaannya. Tapi bagaimanapun seorang istri tempat bergantungnya adalah suami. Seorang suami bertanggung jawab dengan kehidupan istri dan anak-anaknya begitu juga sebaliknya, saat salah satu pergi dan harus meninggakan tentu saja kehidupan seperti diatur kembali. Awalnya apapun dilakukan bersama dengan kamu tapi kemudian harus menanggung beban sendirian. Warti meronta memanggil-manggil nama Eman. Warti seolah tidak percaya bahwa laut yang kata Eman sudah bersahabat mengkhianati persahabatannya.
Warti terus berteriak sambil meronta “Lepaskan tangan saya, saya akan susul Kang Eman. Saya takut Kang Eman sendirian di tengah laut sana. Saya harus menemani Kang Eman.” Warti terus menangis dan warga mencoba menarik Warti kembali ke daratan, hanya dalam hitungan detik Warti pinsan. Warga langsung membawa Warti ke tepi laut “Bod, ini ini Emak kamu kita bawa pulang saja ya.” Salah satu warga bertanya pada Ebod. Ebod mengangguk pelan. Ebod sama sekali tidak meneteskan air mata. Ebod melihat ke arah laut, Ebod menggantungkan harapan dan dendan pada laut. “Pak, bukankah Bapak perenang yang hebat. Bapak bisa berenang puluhan meter dan Bapak sudah berenang dari Bapak masih kecil, jadi berenanglah dan sampailah ketepian. Ibu dan kita sangat merindukan Bapak, jangan terlalu lama main di lautan.” Ebod berkata dalam hati memberikan pesan pada Eman.
Jaja masih meronta menangis lebih parah dari Warti. Ebod menilai Jaja sangat sayang ada Eman sampai Jaja menangisi Eman dengan penuh penyesalan. Anehnya para pelaut lain justru membiarkan Jaja, tidak ada satu orangpun yang simpati pada tangisan Jaja. Para pelaut membiarkan Jaja tanpa menyentuhnya. Perlahan satu persatu orang di laut pergi meninggalkan Ebod dan Jaja. Ebod sama sekali tidak peduli dengan Warti yang pinsan, Ebod masih ingin berdiri melihat ke lautan luas dan berharap laut akan berbaik hati mengembalikan Eman. Jaja menghampiri Ebod, Jaja memeluk erat Ebod. “Maafkan Emang, Emang gak bisa jaga Bapak kamu. Bapak kamu jatuh ke laut dan tidak bisa mengendalikan diri. Kapal melaju begitu saja karena terawa ombak yang sangat besar. Emang dan kru kapal lain sudah berusaha menyelamankan Bapak, tapi Bapak memilih untuk melepaskan diri menyatu dengan lautan. Maafkan Mamang.” Jaja berbicara sambil menangis.
Ebod sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan, membalas pelukan atau membiarkan begitu saja. Jiwa Ebod seperti melayang, Ebod kelu dan tidak tahu harus bicara apa. Sisa-sisa tenaga Ebod gunakan untuk kaki agar kuat menopang diri dan masih sanggup berjalan meski rasanya badan Ebod ingin sekali ambruk. Ebod menarik nafas panjang dan melepaskan pelukan Jaja. Ebod berbalik arah dengan penuh rasa kecewa menjauh dari bibir laut. Ebod berjalan meninggalkan laut dengan penuh amarah. Banyak pertanyaan dikepala Ebod “Kenapa dari semua nelayan harus Bapak yang diambil oleh laut, kenapa Bapak tidak mau nurut pada Ibu saat Ibu melarang melaut, kenapa Bapak harus pergi lebih cepat, bagaimana dengan nasib Ibu dan kami.” Banyak sekali pertanyaan yang melintas di kepala Ebod saat Ebod hendak kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah banyak sekali orang yang memberikan bela sungkawa pada Warti, Ebod berdiri di luar rumah menatap penuh rasa sedih. Rumah yang dibangun dengan penuh perasaan bahagia, berpondasikan kasih sayang harus hancur dan berganti dengan gema tangis yang menyayat sampai ulu hati. “Gimana ceritanya Kang Eman bisa jatuh ke laut, apakah kalian tidak berusaha menolong Kang Eman?” Warti sudah jauh lebih tenang, Warti bertanya kronologis Eman jatuh ke laut. Semua nelayan yang pergi satu kapal bersama Eman bungkam. Tidak satu nelayanpun yang mau berbicara menjelaskan kejadian Eman.
“Saya tahu ada yang kalian sembunyikan, kalian sengaja menjeburkan Kang Eman ke laut? Kalian pasti sengaja karena tidak terima Kang Eman bisa dapat ikan banyak? Kalian sungguh kejam!” Warti marah sambil berteriak.
“Tidak ada satu orangpun diantara kami disini yang bermain dengan ombak di lautan Warti, kami sama sekali tidak iri dengan hasil tangkapan Eman karena kami bekerja sama sebagai satu tim. Apa yang terjadi pada Eman sudah takdir. Kami sudah berusaha untuk menyelamatkan Eman tapi Eman harus pergi bersama ombak dilautan.” Dasman kepala kapal memberikan jawaban pada Warti dengan nada yang sangat pelan. Tidak ada yang tahu maut dan takdir, semua sudah digoreskan oleh yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa laut yang berpuluh-puluh menjadi tempat mencari makan dan menghidupi keluarga Eman kini berubah menjadi sangat menyeramkan.
Dedi salah satu sahabat Eman hanya menunduk. Dedi jelas tahu apa yang terjadi di kapal dini hari tadi. Dedi menyaksikan dengan jelas bagaimana Eman bisa digiring ombak ke tengah lautan. Dedi ingin memberitahu semua pada Warti tapi waktunya tidak saat ini. “Saya harus beritahu Bu Warti, walau bagaimana pun apa yang terjadi pada Kang Eman adalah kelalaian salah satu anggota kapal. Apa yang menimpa Kang Eman kedepannya tidak boleh lagi menimpa orang lain, Kang Eman seperti dijadikan alat percobaan bagi semua kru kapal karena Kang Eman yang dianggap paling jago dalam berenang. Saya harus mengungkapkan semuanya supaya tidak ada korban berikutnya. Cukup Kang Eman yang menjadi tumbal dari brengseknya para nelayan terutama Jaja.” Dedi bicara dalam hati sambil melihat penuh amarah ke sekeliling nelayan.
Warti masih terus menangis, satu persatu orang datang dan pergi menguatkan Warti dan Ebod. Nisa dan Edi bangun dengan penuh tanya dan kebingungan.
“Kenapa di rumah kita banyak orang Bu?” Nisa bertanya pada Warti sambil mendekat menempel ke arah Warti. Warti tidak bisa menjawab pertanyaan dari Nisa. Warti hanya menangis sangat keras karena tidak sanggup menjelaskan pada Nisa dan Edi. Ebod sudah besar akan masuk SMA sementara Nisa akan masuk ke bangku SMP. Ebod sudah mengerti apa yang terjadi sementara Nisa dan Edi sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Warti memeluk Nisa dan Edi sangat erat sambil menangis. Nisa dan Edi hanya bengong. Semua orang yang ada di rumah Warti perlahan menyeka air mata, tidak percaya bahwa Eman orang yang sangat baik dan selalu berbuat baik pada warga kampung harus pergi dengan sangat cepat.
Ebod berjalan masuk ke dalam rumah, Ebod melihat Warti menangis sambil memeluk Nisa dan Edi. Perlahan air mata Ebod turun. Ebod menyeka air mata berharap bisa tegar dan menjadi pelindung untuk ketiga orang yang saat ini ada di hadapan Ebod. “Ibu dan Adik tenang saja, aku akan menggantikan peran Bapak. Ibu dan Adik tidak akan kekurangan materi sedikitpun, aku pastikan kita akan punya hidup yang bahagia. Nisa dan Edi akan sekolah di sekolah bagus. Jadi percayalah, kehilangan Bapak memang sangat berat tapi hidup pasti akan sangat adil. Jika ada kesedihan kehidupan pasti akan memberikan banyak kebahagian, bukan itu yang selalu Bapak bilang.” Ebod berkata dalam hati.
Hari ini Ebod, Warti dan kedua adik Ebod kehilangan sosok seorang Bapak. Tapi tepat hari ini juga lahir sosok seorang Bapak yaitu Ebod. Ebod berjanji bukan hanya akan menjadi anak dan kaka, tapi Ebod akan menggantikan peran seorang Bapak. Ebod akan bekerja dan berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarga. Ebod akan melakukan apapun agar keluarga Ebod bisa bahagia. Warti melihat Ebod berdiri di pintu, Warti menganggukan kepala meminta Ebod untuk datang. Ebod berjalan perlahan ke arah Warti. Warti memeluk Ebod, Warti tahu Ebod juga merasakan sedih yang menghujam seperti yang dirasakan oleh Warti. Tangis Ebod pecah di pelukan Warti. Warti masih sangat terluka, tapi saat ini Warti berusaha menjadi ibu yang menyejukan hati untuk semua anak-anaknya.