Untuk Apa Aku Tercipta? (Ajeng's POV)

1793 Words
Aku bangun jam 3 pagi. Jangan heran, aku sudah terbiasa bangun jam segitu, bukan tanpa alasan. Aku bangun pagi untuk menunaikan ibadah yaitu sholat tahajjud, karena aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa di dunia ini dibandingkan Sang Penciptaku. Aku berjalan pelan ke kamar mandi dan melakukan ritual wudhu. Setelah itu, aku menyiapkan sajadah dan memulai sholatku. Setelah selesai, tak lupa juga aku sempurnakan dengan membaca sedikit ayat Al-Qur'an meski aku sendiri tahu bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tentu saja aku tidak berani membesarkan suaraku ketika mengaji karena mas Barga bisa saja akan terbangun dan mungkin saja akan marah-marah tidak jelas nantinya Mungkin. Cukup lama aku bersimpuh di hadapanNya. Mulutku tak berhenti komat-kamit melantunkan ayatNya. Begitu pula dengan air mataku yang tak kunjung berhenti. Sungguh, bagai teriris sembilu. Kenapa aku tidak kunjung menemukan bahagia yang aku inginkan?. Kenapa aku harus semenyedihkan ini?. Kenapa aku harus dipermainkan oleh dua lelaki yang dengan teganya kepadaku?. Sebenarnya, masih pantaskah aku memohon padu, Ya Rabbi?. Tolong sisipkanlah sedikit saja kebahagiaan di sela sakit tak bertepi ini. Rasanya hambaMu ini sudah tak kuat lagi menerima cobaanMu, Ya Rabbi. Hamba tahu tidak ada yang mudah untuk didapatkan. Tapi, tidakkah Engkau melihat perjuangan ku sejauh ini?. Hamba juga bisa lelah. Setelah aku rasa cukup, aku membuka mukena ku dengan perasaan yang sedikit khawatir. Aku takut auratku terlihat oleh mas Barga meski sebenarnya dia adalah sah untukku. Dia sudah memiliki hak untuk melihatnya. Namun tetap saja, diantara kami berdua belum adanya rasa untuk sama-sama bersua. Tak lupa aku melipat sajadah serta Al-Qur'anku dan menaruhnya di tempat yang baik. Aku kembali memperbaiki penampilanku lewat kaca di depanku dan beranjak ke bawah. Namun sebelum itu, terlebih dahulu aku memperbaiki letak selimut mas Barga yang sedikit melorot. Aku rasa tidak perlu membangunkannya untuk sholat subuh karena untuk urusan agama, dia termasuk orang yang patuh. Itulah salah satu yang tidak aku sesalkan darinya. Mungkin, karena sependek aku mengenalnya, ia tak pernah meninggalkan solat. Aku bergegas menuju dapur dan ternyata di sana sudah ada mas Dimas, sepupu mas Barga. Pria itu sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Ia menguap lebar dengan balutan sarung ibadah. Penampilannya yang begitu sederhana, namun tersisip kesan yang berbeda darinya. Sedikit informasi, aku tidak bermaksud membeda-bedakan suamiku dengan pria lain. Namun, jujur saja, selama beberapa hari ini, aku bisa menyimpulkan kalau mas Dimas lebih patuh agama daripada mas Barga. Pembawaan mereka berdua juga sangat berbeda. Sudahlah, untuk apa aku membanding-bandingkan orang lain. Bukankah Allah sudah melarang hambanya untuk saling membedakan sesama?. Apalagi ini masalah kepatuhan pada sang illahi Rabbi, yang dimana itu merupakan rahasia pribadi hambaNya denganNya. Aku menghampiri mas Dimas yang sedang duduk di kursi, didepannya sebuah laptop dengan kabel charge yang melilitnya. Bisa aku tebak, sepertinya pria ini tengah begadang semalaman. Lihat saja, dia kembali menguap dengan besarnya. Bahkan, tercetak jelas lingkaran hitam di matanya. Apa dia tidak malu dengan kopi yang baru saja diseduhnya?. Tingkah tidak biasanya membuatku tersenyum. Aku menghampiri mas Dimas, tentu saja aku memberi jarak antar kami berdua. Aku tidak mau akan ada fitnah lagi kedepannya diantara kita berdua. Bisa saja orang akan salah menilai kami berdua. Kami melakukan tindakan A, nanti akan diceritakan telah melajukan tindakan B, nanti akan tersebar lagi hingga menjadi Z. Astagfirullah... Sepertinya mas Dimas menyadari kehadiranku. Ia tersenyum malu sambil menoleh padaku. Bukan malu dalam artian perasaan, tapi lebih tepatnya malu karena kepergok menguap dengan begitu lebar. Mungkin? tidak ada yang tahu pasti. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. "Mbak Alya kok udah bangun? mas Barga mana" Tanya mas Dimas. Sudah aku tebak kalau itulah pertanyaan yang akan keluar dari lisannya. Aku tersenyum dan menggeleng pelan. Ah, iya. Dia berbeda dengan yang lainnya. Ketika yang lain memanggil namaku dengan Ajeng, dia memanggilku dengan nama tengah. Alya, adalah bagian dari Malya. "Mas Barga masih tidur, mas" Jawabku dan duduk di dekat tempatnya duduk. Masih ada jarak satu kursi antara aku dan dirinya. "Apa maksudmu dengan aku masih tidur?" Ucap seseorang tiba-tiba menginterupsi dari belakang. Deg.... Suara itu.... Mas Barga?... Aku langsung menoleh ke arah sumber suara dan ternyata benar... *** Sepertinya rasa malu masih melekat dalam diriku sampai membuatku tidak berani untuk sekedar menatap kedua pria itu. Ya, benar. Sampai sekarang aku masih tidak sanggup menatap ataupun berpapasan dengan mas Barga juga mas Dimas. Padahal, ini sudah 2 hari berlalu. Malu sekali diriku, seakan aku berteriak kepada dunia betapa tidak perhatiannya diriku. Untung saja hari ini aku libur kerja. Aku menggunakan kesempatan itu untuk membantu ibu mertuaku di dapur. Fyi, ibu mertuaku sangat baik padaku meski terkadang dia sering menyebut mantan mas Barga dengan tidak sengaja. Namun aku mengerti akan hal itu, aku baru diantara mereka maka sudah merupakan kewajaran jika hal itu terjadi. Pagi ini, ibu mertuaku berencana membuat opor ayam. Meski terbilang makanan berat untuk sekedar sarapan, namun beliau berkata kalau mas Barga memintanya membuat menu itu. Aku tentu saja senang sekali mendengar itu. Setidaknya aku bisa ikut andil untuk membuat makanan kesukaannya. Meski aku belum bisa memberikan hak yang sepantasnya untuk suamiku sendiri, aku harap dengan ini bisa menebus sedikit dosaku yang semakin hari semakin bertambah saja. Entah apa yang akan terjadi padaku nanti karena tidak memperhatikan suami sendiri, bahkan aku terkesan menghindar darinya. "Mas Barga suka banget sama opor ya, bu?" Tanyaku. Entah mengapa, aku seakan merasa gatal untuk sekedar menanyakan perihal itu. Seakan rasa penasaranku memberontak. "Iya, Lya. Barga suka banget opor. Apalagi pas dia pacaran sama Aisyah, hampir setiap hari dia dibawakan bekal sama dia dan lauknya pasti opor ayam." Ujarnya menjawab pertanyaanku. Ternyata, oh ternyata. Jawaban yang aku harapkan memang sudah terjawab dengan jelas, namun ketika di sebutkan nama perempuan yang juga merupakan sahabatku sendiri, rasanya sesak sekali. Dear Allah, apakah nama itu harus selalu Engkau sematkan untuk membuatku semakin terluka?. Apakah diriku harus terbiasa ketika mendengar perbandingan antara ia denganku?. Apakah aku terlalu kurang untuk berdampingan dengan mas Barga meski ia belum sepenuhnya menjadi tambatan hatiku?. Dear Allah, aku tahu bahwasanya diriku memiliki banyak kekurangan. Apakah aku salah ketika meminta nama itu tidak ada diantara kami?. Jujur saja, meski aku belum sepenuhnya jatuh cinta pada mas Barga, namun aku juga ingin pernikahan ini hanya sekali dan tidak ada lagi pernikahan selanjutnya. Aku yakin, lambat laun Engkau pasti akan menimbulkan benih itu diantara kami berdua, tapi, tak cukupkah penderitaanku yang terdahulu?. Aku lelah, ingin istirahat tapi tidak tahu bagaimana sepantasnya diri ini bersikap. Dear Allah, hamba mohon, tempatkan lah diri ini di tempat terbaikMu. Jangan buat perasaan hamba seakan kehilangan kasih sayangMu lagi. *** Ketika mendengar nama itu, jujur saja pikiranku berkelana entah kemana. Tanganku yang tadinya menari-nari mengiris bahan makanan lainnya, kini jemariku lah yang menjadi korbannya. Tanpa sadar, aku mengaduh cukup keras dan membuat ibu mertuaku terpaksa menghampiriku. "Astagfirullah... kenapa tanganmu nak?" Ujarnya dan menuntunku menuju keran dekat kompor. Ia membasuh luka itu, sedangkan aku masih terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak. Dingin dari air yang menyentuh kulit terluar jariku seakan membangunkan ku untuk tetap menerima kenyataan pahit yang ada. Aku bahkan sampai tidak merespon ucapan ibu mertuaku. Aku tidak mengerti dengan diri ini, terkadang terlalu labil, terkadang terlalu dewasa. Memang benar, kenyataan tentang aku yang tidak memiliki seorang ayah selama 25 tahun melatihku menjadi pribadi yang dewasa. Mengetahui kenyataan pahit tentang pria yang ku kagumi menikahi sahabatku, itu tak cukup membuatku terlalu berlarut. Namun, ketika mendengar nama seorang perempuan yang mana aku dibandingkan dengannya atas dasar perhatian kepada suamiku sendiri, itu membuatku merasa sedih bukan main. Seharusnya aku cukup sadar, aku hanyalah pengganti, aku juga tidak terlalu mengenalnya, aku tidak terlalu mengetahui apapun tentangnya, namun ternyata sukses membuatku kehilangan arah ketika mendengar nama perempuan yang pernah bermadu kasih dengannya meski belum sampai ke jenjang pernikahan. Ya Allah, berikanlah hambaMu ini arah. Berikanlah hambaMu ini petunjuk terbaikMu supaya hamba tidak tersesat dalam mengambil keputusan. Jangan buat hamba menjadi pribadi yang tidak peduli lagi. Cukup ayah hamba saja yang menjadi alasan akan sebab tersebut. *** Setelah kurang lebih hampir 2 jam kami berkutat di dapur, memotong ini-itu, campur ini-itu, akhirnya makanan sudah siap disajikan. Aku dan ibu mertuaku menyajikannya di meja makan lengkap dengan peralatan makan lainnya. Aku melirik benda melingkar yang berisi angka-angka penunjuk waktu, sudah menunjukkan waktu yang biasa mas Barga juga ayah mertuaku untuk turun dan bersiap-siap sarapan karena setelahnya mereka harus pergi mengurusi beberapa hal yang harus mereka handle meski mereka adalah pemiliknya. Tidak berselang lama, mas Barga turun dan disusul ayah mertuaku. Persis seperti yang telah aku perkirakan. Mas Barga duduk di samping ayah mertuaku yang duduk di tempat yang seharusnya untuk kepala keluarga. Ibu mertuaku melayani ayah mertua, begitupun denganku. Namun seperti biasa, mas Barga hanya manis ketika berada di depan orang lain. Ketika hanya berdua, dia seakan tidak kenal bahkan tidak menganggap kehadiranku. Benar saja, senyumannya semanis gula menanggapi aku yang melayaninya untuk sarapan. Ia bahkan juga menyuruhku untuk duduk sarapan di sampingnya. Aku terlalu penurut untuk diajak kerja sama, sulit bagiku untuk menolak permintaannya. Namun sekali lagi aku ingatkan, ini hanyalah sebuah SANDIWARA SEMATA karena setelahnya kita seakan tidak mengenal satu sama lain. "Wow... ini rasa yang aku inginkan, ma. Mama memang sangat mengerti apa yang Barga inginkan. Tapi ada yang beda ma, rasa opor ini lebih enak dari opor bikinan mama sebelumnya." Ujar Barga menyantap opornya dengan geragas bahkan sampai membuatku tanpa sadar mengingatkannya. "Pelan-pelan, Mas. Opornya masih banyak kok di belakang. Aku buat banyak, .." Ucapku mengingatkannya untuk pelan-pelan menyantap opor yang ada di depannya. Seketika tangan mas Barga terhenti setelah mendengar ucapanku itu. Padahal, tinggal sedikit saja makanan itu akan masuk kedalam mulutnya. Ia langsung menoleh ke arahku dan saat itu aku juga tepat melihatnya. Ia menatapku dengan tatapan yang aneh sampai aku sendiri tidak bisa mendefinisikan tatapan itu. Tidak lama setelahnya, mas Barga melepas sendoknya, ia tidak jadi memasukkan suapan itu. Ia berlagak melihat jam tangan, dan mengucapkan bahwa ia sudah telat ke kantor. "Aku lupa. Aku ada rapat pagi ini." Katanya. Namun, entah darimana pemikiran kotor itu merasuk padaku. Aku malah merasa kalau apa yang mas Barga ucapkan itu bukanlah faktanya. Aku malah merasa ia selesai dengan makanan yang tadi disantapnya dengan geragas, tiba-tiba terhenti setelah mendengar ucapanku bahwa akulah yang menciptakan rasa opor itu. Entah pemikiran itu datang dari mana, tapi aku sendiri berharap bahwa itu bukanlah faktanya. Tidak lupa, sebelum berangkat ke kantor, mas Barga salim terlebih dahulu ke ayah dan ibu mertuaku. Sebagai seorang istri yang tidak dianggap oleh suami sendiri, aku mengantarnya ke depan rumah sambil tas kerja itu bertengger manis di tanganku. Baru saja kami sampai di depan pintu, mas Barga langsung balik badan dan menyergap tas itu dengan paksa. "Andai aku tahu dari awal kalau itu adalah masakanmu, mungkin aku akan memuntahkannya saat itu juga." Ujar mas Barga dan berlalu dengan cepat dari hadapanku. Jujur saja, hatiku sakit sesakit-sakitnya melebihi sakit yang diciptakan oleh ayahku sendiri. Apakah aku tercipta hanya untuk di salah-salahkan?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD