Tentang Hati yang Tersakiti (Ajeng's POV)

1082 Words
Dear My Self, Halo, namaku Ajeng Malya. Aku lahir tanggal 21 April, sama seperti salah satu pahlawan perempuan Indonesia, R. A. Kartini. Sejarah banget bukan?. Iya, sejarah banget sampai-sampai aku selau di sebut-sebut setiap hari sampai membuat kupingku terasa begitu panas. Aku sangat bersyukur bisa mencapai titik ini. Aku bahagia dengan ibuku, nenek, kakek, bibi dan paman serta teman-temanku. Ayah? jujur saja, sejak awal aku tidak memiliki seorang ayah. Bahkan sampai aku menikah sekarangpun, waliku adalah perwakilan dari kantor KUA. Namun aku bahagia karena suamiku tidak mempersalahkan hal tersebut. Aku bersyukur dia bisa menerima apa adanya atau ada apanya?. Sebentar, apa adanya atau ada apanya?. Ah, entahlah. Aku juga ragu dibagian satu ini. Untuk ayahku yang entah dimana, terima kasih telah meninggalkan kami berdua tanpa adanya engkau di sisi kami. Terima kasih telah menciptakan luka kasat maupun tak kasat mata. Terima kasih telah menciptakan banyak masalah meski aku tidak tahu bagaimana cara ibuku dan keluarga dulu. Terimakasih untuk semua, aku menjadi KUAT. Namun, aku yakin bahwa ketidakhadiranmu membuatku menjadi pribadi yang bisa menerima apa adanya seperti sekarang. Menjadi pribadi yang mandiri tanpa harus merengek di bawah tanganku. Tanpa harus menangis dan menunggumu untuk menenangkanku. Karena apa? ibuku sudah bisa melakukan semuanya. Dia, wanita terhebat. Menjadi seorang ibu dan ayah, salam satu waktu yang bersamaan.b Ayah, terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya. Sepertinya, menerima kehadiranmu kembali setelah cukup lama menghilang, rasanya sangat sulit untuk aku terima. SANGAT SULIT. Aku bahagia dengan orang yang bersamaku sekarang. AKU SANGAT BAHAGIA. Malang, 21 April 2020. ~•~ Aku menutup buku diary ku. Astaga, kenapa tepat sekali. Aku menulisnya tepat dimana hari ulang tahunku dan juga pernikahanku. Ini adalah suatu kebetulan atau apalah itu namanya. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak tahu kalau mungkin saja suamiku tahu atau tidak dengan tanggal ulang tahunku. *** Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena pernikahanku bisa berjalan dengan lancar dan sesuai rencana. Aku dan suamiku sudah sepakat untuk menggelar pernikahan dengan dua adat yang berbeda. Pernikahan di gelar di tempat yang sama namun berbeda hari. Dan kita semua sudah sepakat dengan hal itu. Tamu undangan pun datang sesuai dengan dress code yang telah kami tentukan sehingga membuat acara pernikahan kami menjadi lebih istimewa. Tapi, seharusnya aku bisa tersenyum dan tertawa lepas di pernikahanku sendiri. Iya, acara memang berjalan dengan lancar dan baik-baik saja. Namun, aku sangat menyayangkan seorang tamu yang naik ke atas panggung dan datang silahturahmi dengan kami. Seharusnya orang itu tidak datang dan membuat suasana menjadi canggung. Seharusnya orang itu tidak memunculkan dirinya dan membuat ibuku kembali menelan pil pahit kehidupan. Seharusnya orang itu tidak ada di dunia. Dan seharusnya orang itu telah lama meninggalkan dunia ini dan keluarga kami, tentunya. Karena kehadiran seorang pria yang ibu sebut bahwa dia adalah ayah kandungku, hatiku menjadi hancur berkeping-keping saat itu juga. Dan seharusnya lagi, dia tidak hadir ditengah hari bahagiaku, mungkin. Dengan senyum lebar nan air mata yang berlinang ketika melihatku, ternyata tak cukup menggoyahkan hati nuraniku yang telah ku buang untuknya. Maaf ayah, aku lebih berpihak pada hatiku yang tak ada cinta untukmu lagi. Hatiku membatu untukmu, seiring dengan lamanya engkau meninggalkan tanggung jawab mu pada kami. *** Setelah prosesi pernikahan usai, kini saatnya istirahat. Namun aku memilih untuk menyibukkan diriku dengan kejadian akhir-akhir ini. Kenapa dia hadir setelah sekian lama menghilang tanpa kabar?. Kenapa? Tik... Tik... Tik... Aku terkejut. Aku kira atap rumah mas Barga bocor sehingga membuat buku diary ku basah. Ternyata, itu berasal dari diriku sendiri. Berasal dari danau diri yang begitu peka dan sensitif terhadap hati. Menjadi biasa. Aku kira aku tidak akan menangis untuk kesekian kalinya. Aku kira ini seperti hari sebelumnya, hari dimana aku menulis diary dengan penuh perasan emosi namun tanpa air mata yang mengikuti. Dijauhi teman? Tentu saja pernah. Aku juga manusia yang tak bisa hidup sendiri. Di bully? JANGAN TANYA. Bukankah sedari awal aku bilang kalau aku ini gak punya ayah?. Mengatakan hal itu saja sudah bisa memberikan kode kalau di bully adalah makanan sehari-hari ku. Di fitnah? Beuh, itu mah makanan sehari-hari. Lauk yang paling wajib aku telan hingga tandas. Tapi, sesakit dan sesulit apapun hidupku, tidak cukup membuatku menangis selama 25 tahun ini. Hanya dia, seorang pria sang pemberi luka murka. Meski begitu, tak luput kalau engkau juga manusia. Ayah, aku tidak menyangka bahwa bagaimanapun aku mencaci dan menghinamu untuk menjauh dariku, ternyata hati kecilku masih menginginkanmu. Masih pantaskah kau ku panggil ayah?. *** Aku tertegun melihat bercak bekas air mata yang ada di buku diaryku. Setitik air asin itu tepat jatuh diantara kata benci dan rindu yang aku utarakan untuk ayahku. Hal ini membuatku semakin merasa hancur. Apakah aku akan dipermainkan lagi oleh takdir yang tidak ada habisnya? Apakah tidak cukup dengan derita 25 tahun itu?. Tuhan, cobaan apa lagi ini?. Mendengar suara pintu terbuka, aku langsung berdiri dan bergegas ke kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun ke arah si pembuka pintu. Aku tahu benar itu siapa, namun kali ini aku memilih untuk menghindar. Aku menutup pintu dan menguncinya, bersandar disana dan kembali menitikkan air mata. 'Apa lagi cobaan yang kau berikan Tuhan? HambaMu ini sudah tidak sanggup. Cukup sudah 25 tahun itu. Jangan tambah lagi dengan rasa benci juga rindu pada ayah kandungku sendiri. HambaMu ini tidak kuat. ' Ucapku dalam hati. Aku membatin seakan bersorak pada sang Ilahi yang telah memberi takdir pahit ini. *** "Kamu ngapain lama banget di kamar mandi?" Ujar mas Barga ketus padaku. "Tidak ada. Aku hanya kebelet aja tadi, ngurus sesuatu juga" Jawabku gugup. Jujur saja, aku takut dengan pandangan yang ia layangkan padaku. Tajam dan menusuk. Aku berjalan ke tempat tidur dan berbaring di sampingnya. Ini sudah 3 hari pernikahan kita, dan aku berusaha untuk bersikap senormal mungkin di dekatnya. Meski aku adalah istrinya sekarang, namun aku belum berani membuka hijabku. Aku masih ragu untuk menyerahkan diriku. Ya, benar. Ada rahasia yang belum pernah aku ceritakan pada siapapun, termasuk ibuku. Mas Barga yang sekarang notabennya adalah suamiku, sebenarnya bukanlah belahan jiwa bahkan hatiku. Mungkin orang lain menganggap kita adalah pasangan yang serasi, romantis, dan banyak lagi sebutan untuk menggambarkan kemanisan chemistry kami. Tapi, itu semua adalah kebohongan besar. Kalian tahu? Ternyata aku hanyalah seorang pengganti. Ingat, PENGGANTI. Aku hanyalah pengganti sahabatku sendiri yang ternyata kini sudah menjadi istri dari pria yang selalu aku kagumi sejak SMA silam. Pria yang aku kira menyukaiku, ternyata malah menikahi sahabatku sendiri. Kini, suamiku juga menyukai bahkan mencintai sahabatku itu. Ia merupakan orang yang sama, diperebutkan oleh dua orang yang tanpa sengaja berkaitan dengan ku. Bagai teriris sembilu, begitulah rasa ku. Sungguh takdir yang malang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD