Bagian 6

883 Words
Langit sore tampak muram. Awan menggantung berat, seolah ikut berduka atas kehilangan yang tak bisa dihindari. Warna senja lenyap ditelan kelabu. Angin bahkan enggan berhembus. Semua terasa diam, sepi, sunyi. Disa berdiri mematung di ambang pintu ruang ICU. Tubuhnya menggigil hebat meski udara tidak sedingin biasanya. Selimut rumah sakit yang menggantung di bahunya tak memberi kehangatan apa-apa. Tangan kanannya masih menggenggam tangan kakaknya yang telah dingin. Tangan yang pernah begitu hangat, begitu hidup. Wajah Dira kini terpejam tenang di balik kain putih yang menutupi wajahnya. Tenang... seolah tertidur. Tapi Disa tahu, tak akan ada yang membangunkannya. Detik itu terasa panjang dan membelenggu. Jantung Disa berdegup pelan, nyaris tak terasa. Ia tak lagi menangis. Tangisnya sudah mengering bersama napas terakhir Dira yang berhenti dalam genggamannya. “Kak…” gumamnya pelan. Napasnya berat, suaranya tercekat. “Kamu bohong… kamu janji nggak akan ninggalin aku…” Tak ada jawaban. Hanya diam. Diam yang menghantam lebih keras dari teriakan mana pun. Disa menunduk, masih memegang tangan kakaknya. Tubuhnya perlahan limbung. Dunia seperti berguncang, tapi tidak ada yang bergerak. Yang berubah hanya dirinya sendiri—remuk, rapuh, dan terlepas dari pijakan. “Aku sendirian, Kak...” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun. Seketika itu juga lututnya lemas. Ia jatuh berlutut di lantai ruang ICU, kepalanya menunduk rendah. Tubuhnya mulai bergetar hebat. Isaknya teredam di tenggorokan, seperti meledak dalam d**a namun tak bisa keluar. Tangannya mencoba menggenggam kuat tangan dingin itu. Tapi dinginnya terlalu nyata. Dingin yang menandakan bahwa tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Tidak ada lagi yang bisa ia kejar. Perasaan ditinggalkan, dihancurkan, dan kehilangan segalanya menyeruak tak terbendung. Ia bukan hanya kehilangan seorang kakak. Ia kehilangan rumah. Pelindung. Satu-satunya orang yang ia punya di dunia ini. Tangisnya akhirnya pecah. Isak itu keluar begitu saja—pelan, nyaris tanpa suara, tapi menyayat. Tak lama setelah itu, tubuhnya limbung seluruhnya, jatuh ke lantai. Pingsan. Dalam pelukan kehilangan yang terlalu besar untuk ia tanggung sendiri. Perawat yang berjaga segera bereaksi. “Cepat! Bawa dia ke ruang observasi! Cepat!” Adrian, yang sejak tadi berdiri membatu di balik tirai ICU, langsung masuk saat melihat tubuh Disa tumbang. Langkahnya tersentak. Napasnya tercekat. Matanya menatap dua sisi—Dira yang telah pergi, dan Disa yang tak sadarkan diri. Ia ingin menghampiri Disa, tapi langkahnya tertahan. “Pindahkan dia sekarang. Pastikan dia dapat perawatan,” ucap Adrian, suaranya parau. Serak. Ada sesuatu yang retak dalam nada tegasnya. Tapi ia tak bergerak mengikuti. Ia berdiri di sana, kaku, mematung, dan tatapannya kembali jatuh pada tubuh Dira. Setelah semua orang keluar, ruangan itu kembali sunyi. Hanya ada dirinya dan tubuh tak bernyawa di ranjang itu. Perlahan, Adrian melangkah mendekat. Setiap langkah seperti menapaki serpihan kaca—tajam dan menyakitkan. Ia menarik kursi, duduk di sisi ranjang. Lalu dengan hati-hati, ia menarik kain putih yang menutupi wajah Dira. Wajah itu… masih sama seperti yang ia lihat pagi tadi. Tenang, lembut, seperti sedang tidur. Tapi ada satu hal yang tak lagi sama—tak ada nyawa di balik kelopak mata yang terpejam itu. “Dira...” bisiknya lirih. Tangannya gemetar saat menyentuh kening wanita itu. Dielusnya perlahan, seolah berharap sentuhan itu bisa membawa Dira kembali. Namun hanya keheningan yang menjawab. Dan d**a Adrian mulai berguncang. Maaf. Kata itu meluncur tanpa suara dari bibirnya. Terus-menerus. Seperti mantra yang tak mampu menghidupkan apa pun, hanya menghancurkan dirinya sendiri. Ia mengusap wajah Dira. Pipinya. Hidungnya. Wajah yang dulu sering ia tatap penuh kasih, kini tak lagi membalas. Lalu jemarinya turun menyentuh perut Dira—perut yang dulu mereka tunggu-tunggu tumbuh, yang dulu menjadi alasan untuk bertahan. Tapi sekarang… hampa. Tidak ada kehidupan yang tersisa. Air mata Adrian jatuh. Panas. Berat. Ia membungkuk, menyandarkan dahinya pada perut Dira yang dingin. “Aku minta maaf...” isaknya lirih. “Maaf… karena dulu aku milik orang lain… karena aku nggak pernah benar-benar bisa memilih kamu…” Ia menggertakkan giginya, mencoba menahan tangis yang tak terbendung. Tapi air mata terus jatuh. Bahunya bergetar. “Aku tahu kamu tahu semua itu... tapi kamu tetap memilih tinggal. Kamu tetap memilih mencintai aku. Padahal kamu tahu hati aku dulu bukan buat kamu...” Tangannya mengepal. “Tapi kamu minta satu hal sebelum pergi... dan aku akan menepatinya. Aku akan menikahi Disa, meskipun dia membenciku... meskipun dia tahu semua kesalahan kita...” Ia menatap wajah Dira untuk terakhir kalinya. Mengusap rambutnya dengan lembut. “Aku nggak tahu bisa bahagiain dia atau nggak… tapi aku akan jaga dia. Aku akan lindungi dia... seperti kamu minta.” Lalu ia meraih perut Dira sekali lagi, memejamkan mata, dan berbisik, “Maaf... karena kita gagal jadi orang tua.” Adrian menunduk dalam-dalam. Pelukannya pada tubuh Dira adalah pelukan perpisahan yang paling sunyi, paling menyakitkan. Karena dalam pelukan itu ia tahu, hidupnya tak akan lagi sama. *** Tanpa banyak bicara, Adrian berbalik dan pergi. Di luar ruangan, beberapa petugas rumah sakit sudah bersiap untuk mengurus jenazah Dira. Adrian memandangi mereka sejenak, lalu memberi anggukan singkat. “Aku yang akan urus semuanya,” katanya tegas. “Siapkan prosedurnya. Pagi nanti, kami akan makamkan dia.” Langkah-langkahnya terasa berat saat mengikuti tubuh Dira yang dibawa menjauh dari ruangan. Sekali lagi, ia menatap ruang itu dari pintu. Di dalamnya ada dua perempuan: satu yang telah pergi, dan satu yang sedang kehilangan. Dan dirinya—di antara mereka—adalah lelaki yang hidup dalam penebusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD