3. Keluarga Embun

1511 Words
Malam itu, rumah Embun ramai sekali. Keluarga besar Embun menggelar karpet, tidur bersama di ruang tengah dan ruang tamu. Mereka sibuk bercengkrama sembari membungkus kado untuk dibawa besok ke rumah Arka. “Sudah malam. Kamu dan suami istirahat saja. Biar ini kami yang urus. Pengantin harus tetap cantik dan tampan di pelaminan. Jangan sampai terlihat lelah,” kata kakak perempuan Embun. “Terima kasih. Kami tidur dulu,” pamit Embun. Dia jemput suaminya di ruang tamu. Arka lega, akhirnya bisa juga beristirahat. Dia rebah sebelahan dengan istrinya. Rumah Embun jauh lebih baik dari rumah orang tuanya. Rumah Embun sudah tembok putih, lantai berkeramik, atap pun tak langsung genteng, ada langit-langit. Kamar Embun juga jauh lebih luas, ada ranjang juga kasur yang empuk. “Ini rumah serius bikinnya pakai uang kamu sendiri?” tanya Arka, pemuda itu miring, melihat istri cantiknya. Embun ikut miring juga, mengangguk melihat suaminya. “Aku di perantuan jarang jajan. Teman-Teman sering ke kafe, aku jarang. Seringnya aku nabung, soalnya Bapak sering bilang, ‘Rumah kamu gak cukup. Kalau kamu menikah, mau tinggal di mana?’” “Kerja apa, Dek, kok sampai bisa buat rumah?” tanya Arka. “Aku kerja di tim sertifikasi AMDAL, tugasku semacam analisis lingkungan dan dampaknya gitu.” “Kerja lapangan?” “Kadang di lapangan, kadang di lab, kadang di kantor buat laporan.” “Setelah ini Adek rencana kerja apa?” “Terserah, Mas. Aku sudah berhenti kerja, tapi kalau Mas ingin aku bantuin cari nafkah, ya aku biar nyari kerjaan freelance saja. Biar bisa tetap di rumah.” Arka terlihat berpikir. Masalahnya adalah, dulu saat mereka berdua akan menikah, mereka sepakat untuk berhenti kerja. Alasannya sederhana, mereka ingin tinggal di rumah yang sama. Sementara kerjaan lama Embun ada di ibu kota, dan tempat kerja Arka ada di kota sebelah. Jadilah mereka memutuskan untuk sama-sama berhenti kerja. “Jadi mulai kerasa ya, kalau sekarang sudah berumah tanga? Ada kamu yang sekarang jadi tanggung jawabku,” balas Arka. Pemuda itu terlihat berpikir, membelai-belai wajah istrinya. “Sebentar,” kata Arka. Lelaki itu mengambil ponselnya, rebahan lagi di sisi istrinya. “Adek coba kirim nomor rekening. Aku ada sisa sedikit sih. Kemarin tabungan aku kasih ke Umi semua buat nikahan, tinggal dikit nggak papa ya? Biar aku usaha cepet-cepet dapat kerja.” Embun mengangguk. Dia ambil ponselnya. Sekalian dia rubah nama kontak Arka di handphone, yang sebelumnya Mas Arka menjadi Suami Aku plus emotikon love warna merah. “Sudah, Dek. Sudah aku kirim,” kata Arka. “Terima kasih.” “Oh, Dek. Ini ada pesan dari Umi. Umi bilang suruh Adek bawa mas kawin sama seserahan emas yang satu set itu, kata Umi.” “Hm? Mau dibuat apa, Mas?” tanya Embun. “Entah juga. Umi hanya bilang begitu.” “Baiklah. Biar aku siapkan sekarang biar besok nggak lupa.” “Ya.” Embun gadis yang teliti. Keperluan untuk satu hari besok di rumah Arka sudah dia siapkan untuknya dan suami. “Sudah, Dek. Ayo tidur. Kita matikan saja lampunya.” “Ya.” Embun matikan lampu kamar, gelap gulita, dengan sedikit cahaya dari ruang tengah yang menerobos dari celah pintu kamar. Arka sudah menunggu. Menggandeng istrinya untuk naik ke kasur bersama-sama. Pasangan pengantin baru itu saling lihat, dalam temaram malam saling berbagi rasa. Arka yang pertama maju, mengecup bibir istrinya, mengulum lembut. Embun terbuai, dia semakin mendekat, dipeluk sang suami. Ciuman mereka kian hangat, basah memendam asa. *** Esok pagi-pagi sekali, Arka yang merasakan istrinya terbangun refleks menahan. “Mau ke mana?” tanyanya. “Untung aku pasang alarm, Mas. Aku lupa sudah janjian.” “Sama siapa?” “Sama tetangga. Aku pesan jajanan.” “Oh..” Langit saja masih gelap gulita, sanak famili Embun masih rata tertidur semua. Embun dan Arka menyiak di antara manusia-manusia yang tertidur, membuka pintu untuk menunggu di teras. Pagi yang sunyi. Terasa dingin saat angin menerpa. Arka mendekat ke istrinya, dia peluk istrinya. Keduanya duduk di lantai teras yang dingin. “Ingatkan aku ya, nanti kalau aku sudah kerja, aku belikan kursi untuk teras,” kata Arka. Embun bahagia menyelinap ke d**a suaminya. Dia bahagia. Sangat bahagia. Sekitar sepuluh menit mereka menunggu, sebuah mobil yang lumayan bsar datang ke rumah Embun. Mereka mengantar barang-barang hantaran yang Embun pesan. Aneka jajanan tradisional seperti jenang, gemblong, bugis, onde-onde, juga aneka buah. Semuanya sudah rapi terkemas. Arka bantu mereka menurunkan barang. “Duduk, Mbak Im. Duduk dulu,” kata Embun pada ibu-ibu tukang hantaran. Di Jawa, ‘Mbak’ adalah panggilan sopan untuk wanita yang lebih tua. “Nggih, makasih.” ‘Nggih’ atau ‘Inggih’ adalah ‘Ya’ dalam Bahasa Jawa. Arka melihat saat istrinya mengeluarkan segepok uang dari tas selempang. Embun terlihat mahir menghitung uang, cepat sekali. “Tinggal nambah tiga juta kan ya, Mbak?” tanya Embun pada ibu tukang hantaran. Mbak Im mengangguk, mengiyakan. “Sebentar. Saya buatkan nota dulu.” “Ya,” jawab Embun sopan. Selesai menata pesanan Embun di teras, Arka duduk di sebelah istrinya, diam mengamati. Arka masih diam, menunggu sampai tukang hantaran pergi. “Ini nanti mau dibawa ke rumah Mas?” tanyanya. “Iya.” Arka terlihat mengingat. Benar, semalam sepertinya mereka di dalam lebih banyak ngobrol. Hanya beberapa perempuan yang terlihat masak membuat camilan sembari membungkus kado. “Kenapa nggak buat sendiri saja jajanannya? Daripada semalam tadi hanya ngobrol kan? Mending masak bareng-bareng, lebih terasa kalau punya hajatan,” kata Arka. Embun tersenyum, melihat suaminya. “Kakak-Kakakku bilang, lebih baik beli saja. Mereka bilang lelah kalau harus masak. Banyak anak kecil juga,” balas Embun. Arka mendengus. “Mana ada anak kecil? Ponakan kamu yang paling kecil juga sudah kelas TK, bisalah diajak masak. Padahal kan bisa sewa tukang masak terus bantuin bareng-bareng, biar lebih terasa kekeluargaannya.” Embun ragu melihat suaminya, ingin menceritakan sesuatu tentang keluarganya tapi masih ragu. “Memang dulu pas acara nikahan kakak-kakak kamu beli juga ya?” tanya Arka. Embun menggeleng malu. “Nggak sih. Waktu itu kita masih sangat miskin. Jadinya semua masak sendiri. Sewa juru masak pun tak sanggup. Tanganku sampai melepuh saat ngaduk ketan.” Arka melihat prihatin pada istrinya, sepertinya sudah jelas. Bukan karena saudara-saudara Embun tak ingin masak, mereka hanya tak ingin bersusah payah untuk adiknya. Buktinya, semalam para kakak perempuan sibuk bikin jajanan untuk makan-makan sekeluarga. Arka peluk istrinya. “Tenang saja. Sekarang kamu punya Mas. Meski keluarga kamu tidak memperlakukan kamu dengan baik, tenang saja, Mas yang akan memperlakukanmu dengan baik.” Embun menangis di pelukan suaminya. “Sejak Ibu meninggal, Bapak tak mau lagi bekerja. Padahal waktu itu kami masih kecil. Aku kelas empat SD sudah harus bekerja. Sejak saat itu, keluarga kami berantakan. Kami fokus menghidupi diri sendiri.” Kerja dari SD? Sangat tidak ada di sejarah kehidupan Arka. Sampai dia lulus kuliah pun masih sering diberi ayahnya uang. Arka kecupi istrinya, dia tenangkan istrinya. Bau manis kue hantaran, juga suara-suara qira’ah menjelang shubuh terdengar, ditemani tangis Embun di pelukan suaminya. “Hiks. Hiks. Aku belajar siang dan malam, sampai-sampai aku mimisan. Semua itu, agar aku dapat beasiswa dan bisa terus melanjutkan sekolah. Aku sedih. Sedih sekali jika ingat dulu sekolah sepatu pun sobek-sobek. Teringat saat kuliah pun sering tak punya uang untuk makan dan minum.” Arka yang hidup berkecukupan tentu tak akan mengerti kehidupan pahit seperti yang dialami Embun, meski begitu, Arka tetap mencoba untuk menghibur. Lembut dan sayang sekali pada istrinya. Dalam hati ingin sekali Arka terus menjaga dan melindungi istri tercintanya. “Kamu punya Mas sekarang. Jika ada apa-apa, cerita saja sama Mas. Jika butuh sesuatu, bilang saja ke Mas. Mas pasti bantu.” Embun mengangguk, berterima kasih pada suaminya. Dia sebenarnya malu bercerita pada Arka, tapi sungguh, Embun ingin sekali bersandar pada seseorang, siapapun. Arka peluk istrinya. Dia belai-belai lembut menenangkan, membuat nyaman. Embun, “Sebelum kita sempat bertemu, Bapak memaksaku menikah dengan Mas. Aku tentu saja menolak. Kita bahkan belum pernah bertemu. Bapak hampir setiap hari menelepon, menceritakan tentang orang tua Mas yang sudah berhaji dan punya toko besar.” Arka melirik istrinya, perasaan tak enak kala mendengar mertuanya membicarakan tentang harta orang tuanya. Meski begitu, Arka tak berkomentar, tetap diam mendengarkan Embun melanjutkan ceritanya. “Aku mikirnya, Mas pasti cowok m***m, atau cacat mungkin, sangat tidak cocok dengan cerita Bapak yang bilang kalau Mas pemuda gagah, muda, dan tampan. Aku tidak percaya saja, kenapa pemuda tampan dan gagah mau menikah denganku. Padahal bertemu saja belum.” “Aku sudah lihat foto kamu,” balas Arka. “Oh ya?” Embun mengangkat wajah, melihat suaminya. “Ya,” jawab Arka. “Bapak memperlihatkan foto Adek di f*******: ke Abah. Abah ngasih lihat ke aku. Adek tipe aku banget sih. Sekali lihat aku langsung suka sama Adek.” “Oh.” Embun mengangguk malu. “Aku awalnya takut, Mas. Takut Bapak bohong. Misal Bapak ternyata kalah judi terus aku dijadikan taruhan gitu.” “Memang Bapak suka judi?” tanya Arka. Embun malu mengakui. “Ya, kadang-kadang.” Arka peluk lagi istrinya. Meski dalam pikiran berkecamuk. Dia sungguh tidak menyangka punya mertua seperti Bapak. Perasaan waswas menghampiri, takut Bapak berbuat ulah di kemudian hari. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD