3. Ansel Renard

1933 Words
Sepuluh lantai diatas Irukandji, Ossena duduk memandang wajahnya dari balik cermin meja riasnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah sisir sementara tangan kirinya mengelus rambut peraknya. Bibirnya bersenandung ringan ketika tangan kanannya menyapukan sikat lembut yang di genggamnya dari atas kepalanya hingga turun ke ujung rambutnya yang menjuntai hingga ke punggung. Gerakan tangannya terhenti ketika dirasakannya sesuatu berusaha menjangkaunya. Kemarahan. Kesepian. Teriakan. Ossena menolehkan kepalanya ke belakang hanya untuk menemukan dirinya berada sendirian di dalam kamarnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, perasaan tidak sendirian itu semakin menguat di benak Ossena. Seakan ada seseorang yang juga sama kesepiannya dengan dirinya. Lebih malah. Suara kunci yang memutar di lubang pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya. Gadis itu meletakkan sisir diatas meja riasnya dan berdiri kegirangan. Menebak-nebak siapakah yang muncul dari balik pintu untuk mengantar makanan baginya. Salah satu pelayan menara? Ishmenia? Atau Ansel kah? Ia selalu menikmati kunjungan dari Ishmenia. Sudah dianggapnya sebagai seorang ibu, wanita itu lah yang mendidik dan membimbingnya sejak kecil. Mulai dari mengajarinya membaca dan menulis, hingga bagaimana bersikap layaknya seorang gadis bangsawan. Tapi, kehadiran Ansel yang ditugaskan untuk menjaganya di Menara Hitam, diam-diam membuat Ossena mulai merindukan kehadiran ksatria itu, melebihi Ishmenia. Pintu terbuka membawa wajah cantik seorang wanita berambut merah muncul dibaliknya. "Oh...Ishmenia..." seru Ossena sambil berlari kecil menghampiri wanita itu. Berusaha untuk tidak terlihat kecewa karena bukan Ansel yang muncul. Gadis itu meraih baki yang dibawa Ishmenia dan meletakkannya ke atas meja makan kecil yang ada di dalam ruangannya. Ishmenia mengunci pintu di belakangnya dan berjalan masuk. Memakai gaun panjang yang tertutup hingga ke leher dan mengenakan sarung tangan, ia menggandeng tangan Ossena, menuntunnya kembali ke meja rias. "Selamat pagi, anakku. Duduklah, biar kusisirkan rambutmu," sapa wanita itu ringan. Ossena mendudukan tubuhnya kembali ke atas kursi dan membiarkan Ishmenia meneruskan sapuan sisir lembut itu ke rambut perak miliknya. Gerakan tangan Ishmenia sangat berhati-hati, berusaha untuk tidak menyentuh kulit gadis itu. Karena seperti Irukandji, sentuhan dari Ossena juga membawa efek samping. Jika Irukandji menghisap tenaga lawan, membunuh, melukai, membakar; Ossena kebalikannya. Ossena memberi, mempengaruhi, merubah. Tidak ada yang aneh dengan Ossena hingga gadis itu menginjak umur 12 tahun. Ketika itu, Ishmenia pernah tanpa sengaja melukai telapak tangannya. Ossena yang bersamanya buru-buru meraih tangannya, mungkin berniat membalutnya dengan sapu tangan, tanpa sadar bahwa apa yang terjadi berikutnya tidak akan bisa dilupakan oleh Ishmenia. Bukan hanya lukanya yang menutup dan sembuh dalam hitungan detik, tapi sentuhannya mampu mengorek memori masa lalunya yang sudah dengan susah payah di lupakan Ishmenia. Kematian anaknya. Yang mengherankan lagi, Ossena mampu mengubah rasa sedih yang mengikuti kenangannya itu dan menggantinya dengan kelegaan bahwa anaknya sudah ada di tempat yang lebih baik. Membuatnya percaya bahwa Ossena tidak hanya bisa membaca tapi juga mempengaruhi pikiran seseorang hanya dengan sentuhan dari kulitnya. Kekuatan yang mungkin kelak akan digunakannya untuk mengontrol mahkluk itu. "Bagaimana kabarmu pagi ini?" tanya Ishmenia sambil mulai mengepang rambut perak Ossena yang menjuntai dibalik punggung. "Mengantuk. Mimpi itu muncul lagi semalam. Membuatku susah untuk tidur." Suara Ossena yang ringan terdengar mengalun lembut bak sebuah lagu. "Mimpi tentang mahkluk yang sama?" Ossena mengangguk. Koneksi yang dimilikinya dengan mahkluk itu memang membuat Ossena sejak kecil sering memimpikannya. Yang sepertinya kini semakin sering terjadi mendekati umurnya yang ke 20 tahun. Umur dimana para peri mencapai puncak kekuatannya dan berhenti bertumbuh. Umur yang sudah dinantikan oleh Ishmenia dan Gregory Kane dengan harapan bahwa mereka akan mulai bisa mengontrol mahkluk itu dengan kemampuan Ossena. "Tahukah kau siapa mahkluk itu, Shmee? Mahkluk yang dipanggil Irukandji?" Kekagetan muncul di wajah Ishmenia ketika mendengar Ossena mampu menyebut nama mahkluk itu. Tidak disangka komunikasi mereka sudah sampai sejauh ini, pikir Ishmenia. Tapi belum saatnya ia memberitahukan tentang takdir yang menanti Ossena. Tidak sebelum ia genap berusia 20 tahun. Sebentar lagi. "Hm... hanya mimpi, anakku. Jangan khawatir tidak ada yang bisa melukaimu di sini. Ansel dan prajuritnya akan melindungimu," jawab Ishmenia. Berusaha mengalihkan perhatian Ossena, Ishmenia melanjutkan, "Yang perlu kau tahu sekarang adalah betapa aku mencintaimu. Seperti anakku sendiri." Ishmenia mengikat rambut Ossena ke dalam kepangan dan menggulungnya menjadi sebuah sanggul. Ia kemudian berdiri di belakang Ossena sambil menatap bayangan wajah gadis itu dari balik cermin. "Anak yang sangat cantik sekali. Putriku." Ishmenia berbisik sambil meletakkan kedua tangannya ke bahu Ossena. "Sekarang, bagaimana kalau kau makan sarapanmu sebelum mulai dingin?" Ossena tersenyum menatap pantulan wajah Ishmenia di cermin meja riasnya sambil mengangguk. Ia berdiri dan melangkah menuju meja kecilnya diikuti oleh Ishmenia. "Duduklah disebelahku, temani aku sambil makan, Shme," pinta Ossena sambil menarik kursi ke sebelahnya. "Hm...Tidak untuk hari ini, Ossena. Ada yang harus aku lakukan. Tapi aku akan meminta Ansel menemanimu jika kau kesepian." Wajah Ossena berbinar mendengar nama Ansel disebut. Harapannya untuk bertemu pria itu hari ini akhirnya terkabulkan. Berbeda dengan ksatria lainnya yang menganggapnya seorang tahanan, Ansel selalu memperlakukannya dengan lembut. Setiap kunjungannya , ia selalu membawakan benda-benda aneh dari luar yang tidak pernah dilihat Ossena. Bunga, daun, biji-bijian, kerang, pasir pantai. Benda-benda yang menurut pria itu tergeletak di mana-mana di luar sana. Yang tentu saja tidak terbayangkan oleh Ossena yang belum pernah menginjakkan kakinya keluar dari Menara Hitam. Terakhir kemari, Ansel membawakan sebuah buku untuknya. Sebuah dongeng, tentang peri, elf dan monster ketika semuanya masih menguasai dunia, sebelum kedatang anusia yang dengan segala kelemahannya berhasil membunuh dan menguasai bumi. Yang baru saja selesai dibacanya dan tidak sabar untuk diceritakan balik kepada pria itu. Beserta pertanyaan-pertanyaan yang dimilikinya. "Baiklah anakku, aku pergi dulu kalau begitu," pamit Ishmenia sambil mengelus pipi Ossena dengan tangannya yang bersarung tangan kulit berwarna hitam. Ossena membalas sentuhan Ishmenia dengan senyumannya, sebelum kemudian Ishmenia berlalu keluar dan meninggalkan gadis itu sendirian. Ossena menghentikan gigitan pada rotinya dan menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup ketika ia mulai mendengar derap langkah kaki seseorang semakin mendekat. Ansel!, serunya dalam hati. Suara ketukan yang disusul oleh bunyi gerendel kunci terdengar di pintu. Diikuti oleh bunyi derit kayu yang terbuka bersamaan dengan menyembulnya kepala Ansel dari baliknya. Pria itu mengembangkan senyuman teduhnya ketika menatap Ossena. Rambutnya yang hitam terurai acak-acakan menutupi sebagian dahinya. Sementara, sebuah luka memanjang terlihat di pipi Ansel, yang katanya didapat olehnya dalam pertempuran membawa bendera Illia melawan kerajaan tetangga. Beberapa saat sebelum ia ditugaskan mengawasi Menara Hitam dan Ossena "Selamat pagi, Peri O," sapanya. Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Ossena langsung tersenyum lebar melihat kedatangan Ansel. "Selamat pagi Ansel," balasnya sambil berdiri menyambut kedatangannya. "Apakah yang kau bawakan untukku hari ini?" Mata Ossena membelalak menunggu Ansel mengeluarkan sebelah tangannya yang dari tadi tersembunyi di belakang punggungnya. "Hm... coba tebak. Jika kau benar aku akan menyerahkannya padamu." Ossena tersenyum dan menjulurkan tangannya. Hendak menyentuh sisi wajah Ansel. "Aaa... tidak boleh curang!" selanya sambil memundurkan tubuhnya. Menjauhkan wajahnya dari telapak tangan Ossena yang mendekat. Tidak ingin gadis itu membaca pikirannya. "Hm... bisakah kau memberiku petunjuk kalau begitu?" Ossena berusaha mengintip ke balik tubuh Ansel yang jauh lebih tinggi dan besar dari tubuh mungilnya. "Baiklah. Rasanya manis, dan salah satu makanan favorit mu." "Ah...aku tahu!" serunya dengan mata membulat. "Permen kapas?" Ansel tertawa riang mendengar jawaban Ossena dan mengeluarkan tangan kanannya yang dari tadi tersembunyi. "Untukmu, Peri O." Ossena tertawa kecil mendengar pria itu memanggilnya Peri. Membuatnya seakan menjadi salah satu tokoh di dalam dongeng yang dibacanya. Lengannya terjulur dan meraih kantong kertas yang ada dalam tangan Ansel. Ia membuka lipatan kantong dan melongok ke dalamnya. Memasukkan tangan kanannya ke dalam kantong dan meraih sejumput permen berwarna merah muda itu dari dalamnya kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Ossena meringis merasakan kemanisan dan kelembutan makanan itu sambil menyodorkan kantong kertas itu kearah Ansel yang kemudian menggeleng. "Untuk mu saja. Aku bisa membawakannya lagi ketika aku berkunjung ke pasar bulan depan. Untuk sementara ini, hanya ini yang bisa kubawakan untukmu. Makanlah perlahan-lahan agar kau jangan sampai batuk." "Baiklah. Terima kasih Ansel." Ossena mengangguk sambil melipat ujung kantong kertas itu sebelum kemudian berjalan ke ujung kamarnya, membuka lemari penyimpanannya dan meletakkan kantong kertas itu disebelah barang-barang lain yang diberikan Ansel kepadanya. "Segera habiskan sarapanmu, jangan menunggu hingga dingin, O." "Temani aku?" tanya Ossena. Ansel mengangguk kemudian mendudukkan dirinya di kursi kosong yang ada di sebelah Ossena. Merasa sedikit gerah Ansel melepas sarung tangannya dan meletakkannya diatas meja. "Oiya, aku sudah selesai membaca buku yang kau berikan padaku," ucap Ossena. "Apakah kau suka isi ceritanya?"tanya Ansel menoleh ke arah Ossena yang duduk di sebelahnya Ossena terdiam sesaat mengingat cerita di dalam buku itu sebelum bertanya. "Mengapa manusia membunuh, An?" "Hm... Mungkin karena mereka ingin menguasai. Atau kadang karena perintah," jawabnya. Sesuatu yang dipahami seorang prajurit sepertinya. Membunuh, baginya adalah sebuah keharusan. Untuk menepati sumpah yang sudah diucapkannya ketika menjadi ksatria. Ossena mengerutkan dahinya sebelum kembali bertanya. "Dibuku mu, diceritakan bagaimana hebatnya manusia hingga bisa menjadi penguasa seperti sekarang. Menggambarkan peri, elf, dan monster sebagai binatang buas, yang sebenarnya sudah ada sejak sebelum kedatangan manusia. Tapi tidak sadarkah mereka bahwa mahkluk itu bahkan tidak bermaksud untuk melukai? Mereka menyerang karena membela diri." "Kadang, O, sesuatu yang berbeda bisa terlihat sebagai ancaman. Apalagi bagi manusia yang sebetulnya adalah mahkluk lemah. Mungkin karena itulah mereka menyerang lebih dahulu. Berjaga-jaga jika nantinya diserang. Kau paham? Seperti ketika kau melihat seekor nyamuk yang beterbangan. Walaupun belum tentu ia menggigit, tapi tetap saja kau menepuknya bukan?" Ossena menggigit bibirnya berusaha untuk memahami ucapan Ansel. Yang terasa tidak masuk akal baginya. Karena jika memang ada nyamuk yang menginginkan darahnya, Ossena dengan suka cita akan memberikan sedikit darahnya. Toh ia tidak kekurangan apa-apa dengan membantu nyamuk kecil itu. Tapi gadis itu tidak ingin menyinggung perasaan Ansel lebih jauh oleh pertanyaan nya. Karenanya ia kemudian mengubah topik percakapan. "Ceritakan padaku apa yang terjadi di luar sana, Ansel," pinta Ossena sambil menyuapkan sepotong roti dari atas piring ke dalam mulutnya. "Musim apa sekarang?" tanyanya. "Sekarang adalah bulan ke 12. Musim dingin, O." "Bulan ke 12? Ismenia mengatakan aku lahir di bulan ke 12." Ansel mengangguk. "Benar sekali. Dalam dua hari lagi kau akan berumur 20 tahun, O." "Dua puluh tahun..." gumam Ossena mengulangi ucapan Ansel. Sudah dua puluh tahun ia berada di dalam tak berjendela itu. "Oh iya... aku menanyakan tentang mimpiku pada Ishmenia. Ia mengatakan itu hanyalah mimpi. Tapi ia tidak terasa bagaikan sebuah mimpi, An. Semakin hari bayangan wajah dan suaranya terdengar semakin jelas. Seolah berada dari dekatku. Sepertinya Ishmenia menutupi sesuatu. Aku bisa merasakan ketegangan terpancar dari dirinya ketika aku menanyakan soal Irukandji." Kini Ansel yang kebingungan dengan ucapan Ossena. Tentu saja ia tahu mahkluk apa yang di sebutkan oleh gadis itu. Terantai 10 lantai dibawah mereka, mahkluk itu mungkin sedang berusaha menarik lepas belenggu yang mengikatnya. Seperti yang di lakukannya setiap hari. Tapi perintah, melarang Ansel untuk mengatakan apa-apa pada Ossena. Karenanya ia berbohong. "Mimpi bukanlah kenyataan, O. Jangan terlalu di pikirkan." "Tapi ia terasa nyata, An. Seperti dirimu saat ini. Perasaannya, kemarahannya, kesepiannya. Seolah perasaaan itu adalah milikku. Seperti ketika aku menyentuh kulit seseorang." Ossena menggenggam tangan Ansel yang ada diatas meja. Tidak bersarung tangan, gadis itu bisa merasakan semua perasaan Ansel. Mendengarkan semua pikiran pria itu. "O!" seru Ansel menarik tangannya dari Ossena. Ia buru-buru mengenakan kembali sarung tangannya. Tapi sudah terlambat. "Kau tahu siapa dia..." gumam Ossena pelan. Matanya menatap ke arah Ansel yang kini mulai berdiri. "Siapa dia, Ansel? Ia ada di menara ini juga kah? Jawab pertanyaanku!" Ossena mulai mencecar Ansel. "Ma...maafkan aku, O" jawab Ansel sambil membalikkan badan dan berjalan keluar. "Tu..tunggu. Ansel! Ansel!" Ossena berusaha mengejar Ansel untuk mendapatkan jawaban. Tapi pria itu sudah berjalan keluar kamar, menutup dan mengunci pintu. Ossena menggedor-gedor pintu tebal itu dengan tangannya yang terkepal. Berusaha membuat Ansel berubah pikiran dan menjelaskan apa yang barusan di lihatnya dalam sentuhan tangannya. Tapi Ansel hanya berdiri tidak bergeming dari balik pintu. Mendengar jeritan Ossena sambil berbisik,"Maafkan aku, O," sebelum kemudian berjalan meninggalkan kamar Ossena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD