Misi Berlanjut

1917 Words
“Han.” Teriak Daniyal memanggil seorang mahasiswi yang berada agak jauh di depannya. Daniyal sudah hafal perawakan gadis yang sudah sebulan ini dekat dengannya sehingga dia yakin jika tidak salah panggil. Benar saja, ketika gadis yang namanya dipanggil itu menoleh dan menghentikan langkahnya demi menunggu Daniyal.  "Baru sampai, Dan?” tanya Hania ketika Daniyal sudah berada di sampingnya. “Iya, nih. Alhamdulillah tadi dapat lima penumpang jadi jam enam lebih baru bisa balik ke kos.” Sejak Daniyal beli motor bebek bekas sebulan lalu dia memang mulai kembali menjadi tukang ojek seperti yang pernah ia jalani ketika masih di kampung dulu. Setiap hari selepas subuh Daniyal membawa motornya mangkal di pasar tradisional terdekat untuk mencari penumpang yang membutuhkan jasanya dengan cepat tanpa perlu order menggunakan aplikasi. Selama ia menjadi tukang ojek pangkalan sebagian besar penumpangnya adalah ibu-ibu paruh baya yang berbelanja barang di pasar untuk dijual lagi di rumahnya. Ketika pagi hari di pasar tradisional seperti itu memang penumpang lebih memilih tukang ojek yang sudah tersedia ketimbang menggunakan jasa ojek online, kondisi ini yang dimanfaatkan Daniyal untuk mendapatkan penumpang lebih cepat. “Lumayan nih hasilnya ngojek. Mau dong ditraktir, hehehe.” Goda Hania. Gadis itu tak mungkin benar-benar meminta Daniyal mentraktirnya mengingat penghasilan Daniyal dari menjadi tukang ojek tidaklah besar. “Boleh, traktir ojek ya bukan traktir makan. Hahaha.” Balas Daniyal membuat mereka berdua tertawa. Sudah empat bulan Daniyal menjalani hidup menjadi mahasiswa di universitas ini. Banyak hal yang sebelumnya hanya ia dengar tentang kampus ini benar adanya. Teman sekolahnya dulu yang kebetulan memiliki saudara atau kenalan yang kuliah di sini mengatakan jika sebagian besar mahasiswa di kampus ini adalah anak dari orang berada. Daniyal sudah membuktikan hal tersebut dengan dari penampilan dan juga kendaraan yang teman-temannya gunakan. Akan tetapi, meskipun banyak dari mereka memiliki status sosial di atas rata-rata tidak lantas membuat mereka memilih-milih teman. Itulah yang membuat Daniyal betah kuliah di sini. Bahkan saat ini dia sudah memiliki beberapa orang teman dekat dan juga seorang sahabat bernama Hania yang membuatnya nyaman untuk bercerita banyak hal. Daniyal dan Hania mulai dekat setelah beberapa kali Daniyal membantu Hania menyelesaikan tugas kuliah dan Hania yang membantu Daniyal mencarikan tempat kerja yang mau menerima mahasiswa sebagai karyawan. Bisa dikatakan jika persahabatan mereka berawal dari hubungan protokooperasi yaitu hubungan saling menguntungkan namun tanpa menuntut suatu keharusan seperti hubungan bunga dan lebah madu gitu lah. Interaksi mereka berdua dimulai pertama kali saat suatu hari duduk bersebelahan di dalam kelas. Ketika itu Pak Handi pengampu mata kuliah pengantar bisnis memberikan sebuah pertanyaan, bagi mahasiswa yang bisa menjawab dengan benar maka akan diberi tambahan nilai. Daniyal yang saat itu duduk di sebelah kanan Hania melihat beberapa kali tangan kanan Hania sedikit diangkat seakan ingin mengacungkan jari untuk menjawab pertanyaan. Namun, sampai beberapa saat Hania tak juga melakukannya hingga ada mahasiswa lain yang akhirnya menjawab pertanyaan dari dosen mereka itu. Setelah Pak Handi mengakhiri kuliah dan keluar dari kelas Daniyal bertanya kepada Hania alasan gadis itu ragu-ragu sekedar untuk mengacungkan tangannya. Saat itu Hania mengaku jika dirinya malu dan takut salah menjawab. Hania memang termasuk mahasiswa yang biasa saja dalam bidang akademik, ditambah lagi gadis itu terlalu pendiam dan kurang percaya diri sehingga sering mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas rumah maupun kegiatan diskusi di kelas.  Sejak saat itu Daniyal mulai sering duduk di dekat Hania dan memotivasi agar lebih percaya diri. Selain itu juga karena Hania adalah seorang pendengar yang baik, jadi beberapa orang yang berbicara dengannya selalu merasa dihargai termasuk Daniyal.  “Hai, aduh senengnya dua sejoli ini. Mau dong ikutan bercanda.” Tiba-tiba seorang mahasiswi yang tidak lain adalah Alin sudah berada diantara kedua sahabat itu. Dengan tidak sopannya Alin menyibak tubuh Daniyal dan Hania yang berdekatan dengan kedua tangan dan tubuhnya hingga gadis itu sekarang berada di tengah mereka berdua.  “Oh iya, Han. Tadi aku ketemu Bu Santi, kamu diminta ke ruangan beliau sebelum masuk kelas.” Kata Alin kepada Hania. Suara lembut Alin meyakinkan Hania untuk segera menuju ke ruang salah satu dosen yang akan mengajar mereka pagi itu.  “Iyakah, Lin? Ada apa ya kira-kira? Kayaknya aku ga ada urusan sama beliau. Lagipula mana mungkin Bu Santi hafal sama aku, secara aku juga ga pernah aktif di kelas beliau.” Hania bingung juga dengan ucapan Alin. Ada ketidakpercayaan sebenarnya, akan tetapi Hania tidak ingin berburuk sangka juga kepada Alin.  “Yahh, Bu Santi memang ga nyebut nama kamu sih. Beliau tadi cuma bilang untuk dipanggilkan mahasiswi yang sering jalan bareng mahasiswa yang dulu terlambat di hari pertama kelas beliau ke ruangannya. Mahasiswa yang dimaksud pasti Daniyal kan? Dan yang sering jalan bareng Daniyal cuma kamu kan?” Alin menjelaskan sambil bergantian menoleh ke arah Daniyal dan Hania saat menyebut nama kedua teman sekelasnya itu.  “Iya, sih. Tapi ini lima belas menit lagi udah masuk kuliah. Apa beliau ga terlambat masuk kelas nanti ya kalau aku menemuinya sekarang?” Hania masih ragu-ragu memenuhi panggilan Bu Santi lewat Alin itu.  “Ga tahu juga sih. Tapi mending kamu segera ke sana deh daripada nanti dikira kamu ga perhatian sama permintaan Bu Santi.”  “Iya deh. Aku ke sana sekarang. Daniyal aku ke ruangan Bu Santi dulu ya.” Pamit Hania ke Daniyal. Daniyal yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan Alin dan Hania sebenarnya meragukan ucapan Alin. Dia hendak mencegah sahabatnya itu menuruti Alin.  “Tunggu, Han!” Daniyal terlambat, Hania sudah berlari meninggalkan mereka berdua menuju ruangan Bu Santi dan tidak menanggapi panggilan Daniyal. Akhirnya pemuda itu memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kelas ketimbang berdiri di tempat yang sama dengan Alin. Akan tetapi Alin sepertinya masih ingin melanjutkan pembicaraan dengan Daniyal. Gadis itu pun mengejar dan menyesuaikan langkah agar tetap berada di sisi Daniyal. Wajah ceria Alin masih setia ia tampilkan sejak pertemuan mereka tadi.  “Eh, Daniyal. Kamu tega banget sih ninggalin aku.” Kata Alin manja yang ternyata tidak mendapat tanggapan dari Daniyal. Meskipun begitu Alin tetap mempertahankan wajah cerianya karena memang hatinya selalu bahagia.  “O iya, tadi aku dengar kalau kamu jadi tukang ojek ya?” tanya Alin kemudian. “Iya. Kenapa emang? Masalah buat kamu?” Daniyal menjawab tanpa berhenti ataupun menoleh kepada Alin. “Ga ada masalah sih buat aku. Cuma ya itu, kayaknya kampus ini memang bukan tempat yang cocok buat kamu deh. Kamu lihat sendiri kan mahasiswa sini kayak gimana? Lihat tuh penampilan mereka semuanya. Baju, tas, sepatu bahkan asesoris yang mereka pakai adalah barang branded. Kulit mereka juga bersih terawat” Kata Alin sambil menunjuk beberapa mahasiswa yang berada di dekat mereka dengan dagunya. “Sedangkan kamu? Kulit gelap, kusam terus kalau aku perhatikan sejak awal masuk kuliah selalu pakai kemeja kotak-kotak, sepatu karet, tas juga warnanya udah pudar. Emang kamu ga ada baju motif lain ya? Harusnya kamu tahu diri lho.” Telinga dan hati Daniyal terasa panas sebenarnya mendengar ucapan Alin, tapi dia mencoba untuk tidak peduli dan menganggapnya bukan hal penting. Sedangkan Alin tanpa ada rasa bersalah sama sekali saat mengatakannya bahkan dia tersenyum sangat manis.  Jika dilihat dari jauh cara Alin berbicara seperti gadis yang sedang berbincang dengan kekasihnya, terlihat lembut dan berseri. Padahal kata yang keluar dari mulutnya sepanas arang yang bisa membakar sate ayam hingga matang. Daniyal akhirnya menghentikan langkah, Alin yang menyadarinya juga ikut berhenti. Pemuda itu bukan ingin membalas ucapan gadis di sampingnya, tetapi dirinya teringat akan sahabatnya yang tadi meninggalkan mereka berdua karena menanggapi ucapan Alin. “Soal Bu Santi yang panggil Hania tadi kamu bohong kan?” tanya Daniyal menoleh dan memandang tajam ke arah Alin. Meskipun baru dua bulan mereka sekelas tapi Daniyal hampir paham bagaimana karakter Alin. Gadis itu sebenarnya cerdas, tapi sayangnya kecerdasannya sering dia manfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik.  “Eh, kamu kok nuduh aku gitu sih? Sini coba lihat muka aku, apa kelihatannya aku berbohong?” Alin bertanya balik kepada Daniyal sambil kedua tangannya memegang lengan atas Daniyal dan membalikkan tubuh pemuda itu hingga mereka berdua berhadapan sempurna.  “Aku ga percaya ya sama kamu.” Jari telunjuk Daniyal menunjuk wajah Alin ketika mengucapkannya.  “Kamu jahat!” tiba-tiba Alin berteriak kemudian berlari menuju ke kelas dengan menundukkan kepala dan menangis sehingga menarik perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Daniyal terkejut dengan reaksi Alin. Dia merasa apa yang diucapkan bukan hal menyakitkan untuk seorang Alin mengingat setajam apa ucapan yang selalu diungkapkan untuk Daniyal. Pemuda itu baru menyadari apa maksud dari sikap Alin ketika beberapa orang teman menegurnya.  “Kamu apain Alin sampai dia nangis kayak gitu?” Tanya Aldi sinis.  “Iya nih. Cowok apaan yang bisanya cuma nyakitin hati cewek?!” timpal Marco.  “Sok kegantengan banget. Ngaca dong, Alin mau ngobrol sama kamu aja udah bagus. Ini bukannya bersyukur malah bikin nangis.” Tomi tak mau ketinggalan. Ketiganya kemudian segera masuk kelas meninggalkan Daniyal dengan tatapan sinis mereka. Sebenarnya mereka bukanlah termasuk mahasiswa yang membeda-bedakan seseorang dari status ekonomi ketika berteman. Akan tetapi melihat interaksi Daniyal dengan Alin barusan membuat mereka bertiga harus berpikir ulang untuk berteman baik dengan Daniyal.  “Sial.” Ucap Daniyal lirih.   Di dalam kelas, Aldi mengajak Marco dan Tomi langsung menuju ke tempat Alin duduk karena melihat gadis itu murung. Saat ini Alin ditemani kedua sahabatnya, Salma dan Kiki.  “Kamu diapain sama Daniyal, Lin?” tanya Marco ketika sudah duduk di kursi depan Alin. Alin terlihat ragu-ragu untuk bercerita. Ada raut sedih di wajahnya. “Cerita ke kita, Lin. Sebagai teman kita pasti berusaha melindungi kalau ada yang jahat ke kamu.” Aldi berusaha menguatkan Alin juga. “Ini ada apa sih sebenernya? Alin tadi masuk sambil nangis. Terus ini kalian bertiga juga tiba-tiba jadi perhatian gini ke Alin. Emang ada masalah apa?” tanya Kiki penasaran. “Tadi tuh Alin jalan bertiga sama Daniyal dan Hania. Hania ga tau kemana ninggalin mereka berdua. Yang kita lihat sih tadi Alin ngomong baik-baik meskipun Daniyal kayaknya ga sebegitu nanggapin. Tiba-tiba Daniyal nunjuk-nunjuk Alin sambil ngomong sesuatu yang nyakitin Alin sampai dia lari sambil nangis kayak gini.” Aldi mencoba menjelaskan apa yang terjadi berdasarkan apa yang dia amati dari tempatnya berdiri bersama Marco dan Tomi tadi. “Cerita deh Lin, kamu percaya kan sama kita?” Salma ikut bicara. Karena desakan dari teman-temannya itu akhirnya Alin pun mau bercerita. “Tadi tuh Hania dipanggil Bu Santi ke ruangannya, jadi dia ninggalin kita berdua. Habis itu aku ngobrol sama Daniyal untuk memotivasi dia. Kalian tahu kan dia asalnya dari mana dan background keluarganya kayak gimana. Aku tuh cuma pingin menyemangati dia biar ga minder kuliah di sini. Eh, dia bilang kalau aku sok baik sambil nunjuk-nunjuk gitu. Dia ga salah sih sebenarnya, akunya aja yang terlalu berlebihan sampai nangis kayak gini. Maaf ya jadi bikin kalian khawatir.” Alin bercerita dengan sangat meyakinkan.  “Kamu tuh, Lin. Ngapain masih belain dia. Jelas dia salah dong. Kamu udah berniat baik malah dibilang sok baik.” Tomi ikut merasa tidak terima Alin diperlakukan seperti itu olah Daniyal. Sejenak Tomi menoleh ke arah pintu kelas dan melihat Daniyal masuk. Pandangan mereka bertemu tetapi kemudian Daniyal berbalik arah dan keluar lagi. “Tuh lihat. Dia ga berani masuk sendiri sekarang. Kamu sabar ya, Lin. Kita pasti selalu lindungin kamu.” Lanjut Tomi sambil menunjuk ke arah Daniyal yang bersandar di dinding luar kelas tapi masih terlihat dari posisi mereka duduk.  Kelima orang yang lain mengikuti arah yang ditunjukkan Tomi. Alin tersenyum terlihat lega. “Makasih ya, teman-teman. Kalian memang yang terbaik.” Teman-teman Alin pun ikut tersenyum menguatkan. Salma dan Kiki bahkan memeluk Alin dari samping.  Lagi, Alin bersorak dalam hati. ‘Jangan khawatir. Misi masih berlanjut, sayang.’        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD